Mengapa teori konspirasi begitu populer, atraktif, dan selalu laris dikonsumsi biarpun ia sangat dangkal dari sudut pandang epistemologi?
Oleh
Fidelis Regi Waton
·4 menit baca
Manusia lazimnya menagih penjelasan kausal berkaitan dengan kejadian yang menggemparkan. Seputar Covid-19 muncul pelbagai hoaks dan teori konspirasi. Kubu anti-China yang dipelopori Amerika Serikat menuding Covid-19 merupakan rekayasa genetika laboratorium biologis di Wuhan, China. Beberapa studi faktual membantah tuduhan ini dengan menempatkan virus pembunuh ini dalam konteks evolusi alam berdasarkan prinsip mutasi dan seleksi.
Garis pro-China mempropagandakan Covid-19 sebagai senjata biologis AS demi mematahkan tendensi hegemoni global ekonomi China. Iran kembali mendendangkan refrain klasik antisemitisme. Israel ditilik berada di balik krisis korona (Zionist lobby).
Banyak portal media sosial mengaitkan korona dengan trik bestialis mereduksi populasi manusia dengan dalih ekonomis. Industri farmasi juga tak luput dari obyek curiga sebagai arsitek virus demi pemasaran vaksin.
Di Belanda dan Inggris berkembang klaim Covid-19 diakibatkan radiasi teknologi 5G. De Telegraaf memberitakan, imbas anggapan ini berupa pembakaran menara jaringan telekomunikasi dimaksud.
Teori konspirasi sudah lazim dalam panorama sejarah. Mendaratnya Apollo ke-11 di Bulan dianggap difilmkan di padang gurun. Ketika wabah sampar melanda Eropa, segera dicari kambing hitam. Bangsa Yahudi terperangkap konstruksi enemy image (gambar musuh). Mereka dicurigai meracuni sumur. Tuduhan ini kelak melegitimasi kekerasan terhadap warga berdarah Yahudi.
Serangan ke menara kembar World Trade Center dilihat sebagai inside-job pemerintahan George W Bush. Perang Irak dilandasi tuduhan kolaborasi antara Saddam Hussein dan jaringan teror Al Qaeda.
Banyak yang menyangsikan penjelasan resmi atas suatu kejadian. Para dirigen teori konspirasi memanfaatkan peluang di tengah keraguan ini. Mereka menyajikan ulasan alternatif yang relatif jelas, simpel, dan instan. Prinsip Ochkham`Razor (pisau cukur Ockham) diberlakukan, artinya penjelasan paling sederhana diambil. Karena Covid-19 pertama kali menyebar di pasar hewan Wuhan, hal itu dilabel made in China.
Teori konspirasi sudah lazim dalam panorama sejarah.
Model storytelling ini begitu menarik dan cepat menyapa dan dicerna. Siapa percaya akan teori konspirasi, ia beranggapan ada segelintir orang yang diam-diam merencanakan aksi kriminal. Kiat tak bermoral ini dirakit begitu apik demi menguntungkan protagonisnya sekaligus merugikan manusia dan alam. Begitu ekspres dikumandangkan dramaturgi antagonistik teman dan musuh, baik dan jahat, kita dan mereka.
Berpikir kritis
Mengapa teori konspirasi begitu populer, atraktif, dan selalu laris dikonsumsi biarpun ia sangat dangkal dari sudut pandang epistemologi? Para konsumen hipotesis konspiratif tak selamanya orang yang masih berpikir mistis dan esoterik. Mereka yang hidup dalam masyarakat dengan taraf pendidikan tinggi dan peradaban modern tidak selamanya otomatis mendiskualifikasikan diri dari perangkap teori konspirasi.
Jawaban pertama atas popularitas teori konspirasi adalah fenomena gangguan mental. Tentu saja paranoid memiliki tingkat berbeda-beda. Psikolog Robert Brotherton dari Universitas London menemukan korelasi antara kepribadian patologis dan kepercayaan pada teori konspirasi.
Penjelasan kedua berhubungan dengan fakta irasionalitas manusia biarpun ia didefinisikan animal rationale (makhluk berakal budi). Sejarah umat manusia yang wajar dibentuk oleh progresivitas intelek. Dengan kapasitas budinya, manusia selalu berusaha menelusuri problematikanya dengan tepat dan kredibel. Sayangnya, kemampuan nalar ini bisa bergerak regresif. Orang begitu gampang termakan isu, fake news, teori konspirasi, pandangan sempit, sesat, dan dungu.
Percaya teori konspirasi pada prinsipnya sangat manusiawi. Manusia memang rentan terhadap irasionalitas dan rumor. Desas-desus dipercayai karena orang malas berpikir. Meski begitu, aspek kemanusiawian kita tak terbatas di sana. Berpikir kritis juga termasuk kapasitas kita yang manusiawi. Pendidikan formal dan nonformal bersasaran mengasah kekritisan kognisi kita. Berpikir kritis akan cepat melihat keanehan dan absurditas teori konspirasi.
Insan yang kritis tak begitu saja mengadopsi penjelasan resmi yang diterima umum (common explanation) tentang suatu kasus. Apa yang diterima umum tak selamanya harus benar. Kita tak diwajibkan percaya common explanation. Namun, setiap penjelasan yang bertentangan dengan mainstream juga bukan otomatis berarti teori konspirasi.
Pribadi yang berpikir kritis akan skeptis dan mempertanyakan kembali segala informasi yang masuk dan bukannya menelan semuanya. Ia akan melakukan check dan re-check demi mendekati argumen dan fakta yang lebih sahih. Dengan pisau kritisnya, ia sanggup membedakan antara fiksi dan fakta, opini dan laporan, hoaks dan kebenaran.
Insan yang percaya teori konspirasi tak jeli membedakan kualitas sumber informasi. Baginya, informasi medsos lebih bernilai daripada hasil riset lembaga ilmiah. Krisis Covid-19 mungkin sebagai kesempatan untuk kembali memperkuat kepercayaan kita terhadap sains.
(Fidelis Regi Waton, Pengajar Filsafat di Sankt Augustin, Jerman)