Penyebab Kenaikan Harga Gula
Menimbang kelangkaan terjadi di supermarket, dan bukan di pasar tradisional, seharusnya solusinya lebih mudah: gerojok supermaket dengan gula hingga jenuh. Harga di pasar tradisional akan mengikuti.
Seiring pandemi Covid-19, sejumlah komoditas pangan, antara lain bawang putih, bawang bombai, dan gula pasir tidak mudah ditemukan di supermarket.
Di pasar tradisional tersedia, tetapi harganya naik. Harga gula naik 21,86 persen, dari Rp 13.950 pada 2 Januari 2020 ke Rp 17.000/kg pada 21 Maret 2020. Jauh meninggalkan harga acuan Permendag No 7/2020 yang Rp 12.500/kg.
Sejak diatur lewat harga acuan pada 2016, harga gula di konsumen relatif stabil, sesekali jatuh di bawah harga acuan. Harga gula di tingkat petani malahan konsisten rendah, selalu di bawah harga pokok produksi. Pasar jenuh karena kebijakan impor gula ugal-ugalan sejak 2016.
Situasi berubah sejak 2019. Impor gula konsumsi 2019 hanya 116.080 ton, jauh dari rerata impor tiga tahun sebelumnya (2016-2018) 1.179.732 ton. Akibatnya, stok akhir gula 2019 (yang kemudian jadi stok awal 2020) rendah: 1.084.480 ton. Stok ini lebih rendah dari rerata 2017-2019: 1,690 juta ton. Data ini merujuk kalkulasi Nusantara Sugar Community (NSC), lembaga partikelir.
Meski stok awal lebih rendah dari tiga tahun sebelumnya, jumlah 1.084.480 ton ini sebetulnya mencukupi kebutuhan konsumsi langsung gula empat bulan hingga April 2020 (dengan asumsi konsumsi bulanan 251.149 ton). Pada bulan Ramadhan kebutuhan konsumsi lebih besar daripada bulan lain. Sementara musim giling tebu baru mulai Mei.
Pengalaman bertahun-tahun mengajarkan, harga akan naik jika stok nasional (di gudang pabrik gula/PG, di luar PG, dan pasar) kurang dari kebutuhan konsumsi dua bulan. Ini juga terjadi pada pangan lain.
Masalahnya, pemerintah yang biasanya rajin obral izin impor dalam jumlah besar kali ini seperti ditahan-tahan. Dalam surat Mendag kepada Presiden tentang langkah stabilisasi harga terkait Covid-19, 17 Maret 2020, disebutkan telah diterbitkan persetujuan impor 268.172 ton yang diperkirakan siap akhir Maret. Karena pandemi Covid-19, gula baru siap dipasarkan awal April 2020.
Menurut aturan, pasar gula konsumsi dipisahkan dari gula rafinasi. Gula rafinasi hanya untuk industri makanan, minuman, dan farmasi. Karena insentif ekonomi yang menggiurkan dan pengawasan lemah, perembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi selalu berulang.
Karena insentif ekonomi yang menggiurkan dan pengawasan lemah, perembesan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi selalu berulang.
Enggartiasto Lukita, Mendag (2016-2019), pernah menyebut, potensi kebocoran 0,5 juta ton. Diperkirakan, 2006-2011 rata- rata tahunan gula rafinasi yang merembes 185.104-678.818 ton atau 8,03-29,44 persen dari pasokan gula rafinasi. Jumlah rembesan ini sangat besar.
Kurang antisipasi
Uraian di atas mengindikasikan pemerintah kurang antisipasi. Termasuk antisipasi proses impor yang bakal lebih rumit dan lama karena Covid-19, terutama clearance di pelabuhan. Berdasarkan data NSC, agar harga stabil, ada kebutuhan impor gula konsumsi dua bulan atau 500.000 ton untuk stok. Sementara data Mendag, keperluan impor lebih besar lagi: 1,13 juta ton. Kalau demikian, mengapa izin impor tidak dipercepat dengan kuota lebih besar? Bukankah mesin birokrasi masih orang lama?
Keyakinan stok gula yang menipis itulah yang melatarbelakangi Satgas Pangan, lewat surat 16 Maret 2020, meminta asosiasi pedagang pasar, pengusaha ritel, dan koperasi membatasi pembelian gula keperluan pribadi maksimal 2 kg. Beleid ini diyakini bisa meredam belanja panik kebutuhan pokok. Namun, bukan mustahil publik justru merespons berbeda: meyakini stok menipis, dan berburu gula. Jika ini yang terjadi, eskalasi kenaikan harga gula akan sulit dibendung.
Agar ini tak terjadi, Mendag dalam surat ke Presiden menulis, rapat koordinasi terbatas 6 Maret 2020 memutuskan tambahan impor gula 781.828 ton (tak jelas gula mentah atau gula konsumsi), mengguyur pasar dengan 33.000 ton gula temuan Kemendag dan Satgas Pangan di Lampung plus 20.000 ton gula Bulog dengan harga Rp 12.500/ kg, dan mengusulkan 250.000 ton gula mentah di tangan produsen gula rafinasi diolah jadi gula konsumsi.
Boleh jadi, dalam jangka pendek langkah ini cespleng, dengan catatan: asalkan penyaluran gulanya tepat. Selama ini, operasi pasar tak efektif karena tak diawasi ketat: apa gula mencapai sasaran?
Jangan sampai karena teledor mengawasi, gula mengalir kepada yang tak berhak. Serta-merta cara ini dinilai kurang ampuh karena pasokan gula kurang, misalnya. Kemudian izin impor diobral, pasar jenuh, dan harga gula turun menyentuh harga acuan. Konsumen senang, pemerintah bebas hujatan, tetapi petani menjerit karena harga gula di tingkat produsen anjlok, seperti modus tahun-tahun sebelumnya.
Menimbang kelangkaan terjadi di supermarket, dan bukan di pasar tradisional, seharusnya solusinya lebih mudah: gerojok supermaket dengan gula hingga jenuh. Harga di pasar tradisional akan mengikuti.
Langkah ke depan
Ke depan, agar sengkarut seperti ini tak berulang, setidaknya perlu tiga langkah simultan. Pertama, harus tersedia satu data gula buat acuan kebijakan. Baik data produksi maupun konsumsi, baik gula konsumsi maupun rafinasi. Selama ini tersedia banyak versi data, sesuai vested interest kementerian/lembaga.
Kedua, rasionalisasi harga acuan gula. Harga acuan di produsen Rp 9.100/kg dan di konsumen Rp 12.500/kg yang berlaku sejak 2017 tak mengalami penyesuaian sampai saat ini. Sementara biaya produksi gula —tecermin dari biaya usaha tani—terus naik. Inflasi 2017-2019 jika diakumulasikan pun mencapai 9,4 persen.
Menurut kalkulasi petani, seperti dituturkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Soemitro Samadikun, ongkos produksi gula petani saat ini Rp 11.500/kg. Karena itu, harga acuan gula saat ini seharusnya ditinjau ulang. Bukan saja tidak rasional, harga acuan ini juga memaksa petani menyubsidi konsumen.
Bukan saja tidak rasional, harga acuan ini juga memaksa petani menyubsidi konsumen.
Ketiga, mengintensifkan pengawasan dan menjatuhkan sanksi yang berefek jera. Centang perenang selama ini terjadi karena pengawasan lemah dan penegakan hukum lembek. Pedagang dan pelaku dominan di pasar tak pernah jera menerobos rambu-rambu hukum karena tahu bakal lolos atau hanya dikenai sanksi ringan. Bukan mustahil, saat ini ada pihak-pihak bermain di air keruh untuk mengail keuntungan lebih.
(Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan)