Ada akronim menarik belakangan ini: RUU Cilaka, singkatan dari Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. ”Cilaka” dipilih sebagai protes atas RUU yang memicu berbagai polemik itu.
Oleh
HOLY ADIB
·2 menit baca
Belakangan ini akronim cilaka jadi buah bibir: Cipta Lapangan Kerja, nama rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Akronim itu dibuat oleh serikat buruh dan masyarakat sipil sebagai protes terhadap RUU kontroversial tersebut.
RUU ini dianggap cilaka karena, antara lain: ramah investor, tetapi menenggelamkan kesejahteraan buruh; mengurangi waktu libur buruh; menghapus izin tidak masuk saat haid hari pertama; menghapus izin bagi buruh untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anak, istri melahirkan/keguguran kandungan; menghapus pasal yang bisa menjerat pelaku kebakaran hutan dan lahan; dan menghapus persyaratan izin mendirikan bangunan dan analisis mengenai dampak lingkungan.
Sebagai gejala bahasa, akronim lazim digunakan sebagai, antara lain, protes dan ejekan, bahkan alat propaganda. Sebagai contoh, pada Pilpres 2014 nama pasangan calon presiden Prabowo-Hatta Rajasa diakronimkan menjadi Prahara. Akronim ini tentu dibuat untuk menciptakan citra buruk bagi Prabowo-Hatta. Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat itu juga tak lepas dari beberapa akronim dengan tujuan serupa.
Media massa tidak boleh menggunakan akronim tendensius seperti itu. Budayawan Goenawan Mohamad dalam esai ”Bahasa Jurnalistik Indonesia” dalam buku Pengetahuan Dasar bagi Wartawan Indonesia (Dewan Pers, 1977) mengingatkan pers untuk menghindari akronim yang dapat menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik karena bahasa jurnalistik berlandaskan sikap objektif.
Akan tetapi, beberapa hari belakangan ini banyak media siber yang menggunakan akronim tendensius dalam memberitakan kritik terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja. Sebenarnya media boleh-boleh saja menulis akronim seperti itu sebagai bagian pernyataan narasumber, baik dalam kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung, sebab faktanya akronim tersebut memang dipakai narasumber. Namun, media-media ini juga menggunakan akronim cilaka pada bagian yang bukan pernyataan narasumber, bahkan pada berita yang narasumbernya tidak memakai akronim tersebut. Anehnya, masih ada media yang menulis RUU Cilaka setelah nama undang-undangnya diubah menjadi Cipta Kerja.
Wartawan boleh-boleh saja membuat akronim dan singkatan, terutama untuk menghemat pemakaian ruang dalam berita. Tidak mungkin mengulang-ulang menyebut frasa yang panjang dalam ruang yang terbatas, sementara frasa itu menuntut untuk terus disebutkan berkali-kali dalam berita, misalnya frasa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Namun, hal itu sebaiknya tidak menjadi alasan untuk membuat akronim tendensius.
Sebaiknya media menyampaikan kritik lewat isi berita, bukan dengan akronim tendensius. Sesungguhnya memakai akronim tendensius dalam berita tidak diperkenankan karena hal itu mengandung opini wartawan, sesuatu yang dilarang dalam jurnalisme.