Covid-19 dan Stimulus Ekonomi
Pemerintah melalui perppu telah membuka ruang melalui penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, dan kegiatan penjaminan. Penggunaan uang negara ini harus ada rambu-rambu yang jelas agar tak menimbulkan masalah.
Daya letup Covid-19 sungguh luar biasa dan meluluhlantakkan seluruh (bukan sebagian) sendi perekonomian dunia. Dunia dibuat tidak berdaya dan ancaman resesi ekonomi global di pelupuk mata. Negara maju yang kita pikir sangat mumpuni teknologi kedokterannya juga tak berdaya. Inilah yang membuat orang makin takut dan waswas. Jika AS dan Eropa terbukti tak siap, bagaimana negara-negara berkembang dan miskin?
Rantai produksi dunia bukan hanya terganggu, bahkan terputus, karena banyak negara memilih karantina wilayah (lockdown) untuk menahan laju penyebaran Covid-19. Gangguan suplai/produksi kini juga menjalar ke sisi permintaan, konsumsi turun signifikan, investasi merosot drastis, dan perdagangan dunia (ekspor dan impor) sangat lesu.
Turunnya aktivitas perekonomian dan terbatasnya mobilitas barang dan jasa, serta pembatasan ruang gerak penduduk, akhirnya memukul pendapatan perusahaan dan masyarakat. Pemutusan hubungan kerja dan merumahkan karyawan sudah terjadi di mana-mana.
Pengangguran meroket di berbagai belahan dunia, mencapai dua digit. Di AS, angkanya naik dari 3,7 persen tahun lalu menjadi 10,4 persen saat ini, dan diprediksi naik lagi jadi 15-20 persen, terparah sepanjang peradaban dunia. Di Italia pengangguran mencapai 12,7 persen dan Perancis sekitar 10,4 persen.
Satu-satunya harapan hanya stimulus ekonomi pemerintah. Menurut IMF, hampir separuh negara di dunia (lebih dari 100 negara) sudah angkat tangan dan meminta bantuan suntikan dana (bailout) ke IMF.
Pemutusan hubungan kerja dan merumahkan karyawan sudah terjadi di mana-mana.
Indonesia sangat menyadari bahwa pandemi ini jika tidak segera dihentikan akan merusak roda perekonomian nasional. Dunia usaha akan mati dan berujung pada kolapsnya sektor perbankan karena nasabah tidak mampu membayar kewajibannya, baik bunga maupun pokoknya. Kalau ini terjadi, ada kemungkinan Indonesia kembali seperti krisis ekonomi dan moneter 1998.
Berbagai stimulus
Ada tiga fokus prioritas untuk menolong perekonomian dan masyarakat: (1) menyediakan dana untuk penanganan kesehatan, (2) menyalurkan bantuan jaringan pengaman sosial (penambahan penyaluran PKH, sembako, tambahan kartu prakerja, pembebasan tarif listrik bagi pelanggan 450 KVA dan diskon untuk 900 KVA, tambahan insentif perumahan, dan lain-lain), dan (3) tidak kalah penting, memberikan stimulus/dukungan ekonomi kepada dunia usaha.
Menjalankan semua program ini tak mudah. Belanja APBN harus naik signifikan di saat penerimaan pajak tekor karena lemahnya aktivitas dunia usaha. Defisit (belanja dikurangi penerimaan negara) pasti membengkak dan berarti sudah tak memadai lagi batas defisit fiskal maksimal 3 persen menurut UU Keuangan Negara.
Pemerintah sudah mencoba mengantisipasi kemungkinan terburuk dengan membuat landasan hukum berupa Perppu No 1 Tahun 2020 pengganti UU Keuangan Negara sehingga defisit fiskal 2020 bisa di atas 3 persen dan diperkirakan mencapai 5,07 persen PDB. Pilihan terpaksa dan sulit demi menyelamatkan perekonomian domestik.
Stimulus moneter juga dilakukan BI melalui penurunan suku bunga acuan BI, penurunan giro wajib minimum, pelonggaran rasio intermediari makroprudensial (RIM), meningkatkan intensitas intervensi di pasar valas, dan membeli obligasi pemerintah ketika terjadi aksi jual dari investor asing.
OJK juga meluncurkan stimulus untuk sektor perbankan dan perusahaan pembiayaan melalui POJK No 11/POJK.03/2020 tentang ”Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019”. Ada dua relaksasi: (1) relaksasi penilaian kualitas aset dan (2) relaksasi restrukturisasi kredit/pembiayaan. Ini upaya otoritas menjaga stabilitas sistem keuangan dan perbankan dari dampak korona.
Dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi nasional relatif terbatas di kisaran 5 persen. Pandemi makin melemahkan denyut nadi perekonomian tahun ini. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) menunjukkan kegiatan dunia usaha sangat terganggu dan lemah di kuartal I-2020. Pertumbuhan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) turun signifikan dari 7,8 persen kuartal IV-2019 ke minus 5,6 persen kuartal I-2020.
Dari sisi keuangan pelaku usaha, kondisi kian memburuk, baik dari likuiditas maupun rentabilitasnya. Begitu juga industri pengolahan turun sangat dalam dan berada dalam zona kontraksi, pompt manufacturing index (PMI) tercatat 45,6 persen di kuartal I-2020, turun dari 51,5 persen kuartal sebelumnya. Dari sisi permintaan juga terlihat sangat lemah sejak akhir 2019. Penjualan ritel tumbuh negatif empat bulan berturut-turut sejak Desember 2019 dan makin parah (minus 5,4 persen pada Maret 2020 dari minus 0,8 persen Februari) karena pandemi.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan stimulus fiskal dan moneter yang super agresif dan cepat seperti dilakukan banyak negara di dunia. Perppu dan POJK yang ditebitkan seharusnya bisa jadi angin segar dan harapan bagi dunia usaha dan perbankan. Namun, kebijakan ini harus dilaksanakan ekstra hati-hati. Potensi terjadinya kegaduhan dan penyalahgunaan atau moral hazard oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab cukup terbuka lebar.
Sangat rasional, semua nasabah ingin dapat keringanan pembayaran utang dan bunga dalam kondisi pandemik. Oleh karena itu, harus ada payung hukum yang jelas, lugas, tegas, dan tak bias interpretasi. Pedoman atau juklak yang mengatur debitor/nasabah dan sektor mana yang berhak dapat prioritas relaksasi atau keringanan harus rinci dan mudah pelaksanaannya di lapangan.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan stimulus fiskal dan moneter yang super agresif dan cepat seperti dilakukan banyak negara di dunia.
Sektor prioritas
Dengan terbatasnya kemampuan keuangan negara, ada baiknya lupakan dulu sektor perekonomian yang sangat terekspos terhadap gejolak eksternal, dari sisi bahan baku dan pasar ekspor, kecuali sektor itu sangat terkait dengan pemulihan kesehatan masyarakat. Stimulus ekonomi akan mubazir ke sektor yang tergantung pada kondisi global.
Kita harus fokus ke sektor yang benar-benar mengandalkan kekuatan domestik. Pemerintah harus menekankan kepada: (1) sektor dengan kandungan bahan baku lokal tinggi, (2) pasarnya untuk domestik, dan (3) penyerapan tenaga kerja tinggi, seperti pertanian dan perdagangan, walaupun nilai tambahnya agak rendah. Ini sangat penting untuk menunjukkan keberpihakan pada masyarakat level bawah.
Sektor yang jadi prioritas juga harus memiliki backward dan forward linkage atau keterkaitan dengan sektor lain, baik ke belakang (bahan baku) maupun ke depan (penjualan), yang tinggi. Setelah itu, baru kita dorong ke sektor yang bisa menciptakan pendapatan tinggi (multiplier income) dan mendorong output yang tinggi (multiplier output).
Nasabah yang dipilih harus divalidasi yang benar-benar terpukul oleh dampak negatif Covid-19. Ada kriteria yang terukur dan jelas, nasabah yang punya niat baik dan kooperatif, serta masih memiliki prospek yang baik ke depannya. Hal ini sangat penting agar stimulus ini tepat sasaran sehingga biaya besar yang dikeluarkan pemerintah tidak mubazir.
Dalam melaksanakan misi pemerintah ini, ada tiga hal yang akan dialami bank: (1) penurunan pendapatan bunga, (2) penurunan likuiditas akibat tertundanya pembayaran angsuran pokok dan bunga, dan (3) berujung pada penurunan kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Dari ketiga hal ini, ada baiknya kita fokus dulu pada poin dua, yaitu likuiditas perbankan. Ketersediaan likuiditas bisa diibaratkan jantung dalam bank. Tanpa likuiditas cukup, bank akan sakit-sakitan dan kolaps.
Untuk menolong nasabah kesulitan, ada tiga skema restrukturisasi: (1) penurunan suku bunga, (2) perpanjangan jangka waktu pinjaman, (3) penundaan pembayaran bunga dan pokok, hingga penyertaan modal sementara. Saat debitor menunda pembayaran pokok dan bunga, arus kas masuk bank akan berkurang.
Di sisi lain, bank dihadapkan pada kewajiban melayani penarikan simpanan nasabah atau kewajiban lain yang tak bisa ditunda. Di sinilah muncul potensi risiko likuiditas. Dengan demikian, perlu dukungan pemerintah dan otoritas moneter untuk mengatasi kondisi ini dengan dana talangan likuiditas yang cukup.
Pemerintah melalui perppu telah membuka ruang melalui penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, dan kegiatan penjaminan. Penggunaan uang negara ini harus ada rambu-rambu yang jelas agar tak menimbulkan masalah di kemudian hari. Jangan sampai niat baik ini jadi kontraproduktif. Perekonomian yang sedang sakit malah tak sembuh karena salah obat. Jangan sampai upaya penyelamatan sektor riil gagal total, dan justru menciptakan masalah baru di perbankan.
(Anton Hendranata, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)