Untuk kesekian kali, Kompas menulis berita dan analisis tentang DPR yang berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, RUU Pemasyarakatan, dan RUU KUHP.
Kompas (Senin, 20/4/2020) mewartakan ”Menanti Kepekaan Wakil Rakyat”. Sebelumnya, dalam kolom politik, Budiman Tanuredjo menulis ”Surat untuk Yang Terhormat”, (Sabtu, 11/4/2020). Tidak hanya itu, Kompas berturut-turut menyoroti DPR yang meneruskan pembahasan ketiga RUU. Kesimpulannya, DPR masih ngeyelan dan sangat tidak peka!
Apa yang kalian cari, DPR? Dulu di saat pemilihan legislatif, kami disuruh memilih agar wakil rakyat yang terhormat bisa mewakili kami sesuai konstitusi. Sekarang, di saat rakyat menyuarakan penolakan pembahasan RUU—terutama Cipta Kerja—DPR tetap bergeming.
Hanya sedikit perwakilan partai yang berani menyampaikan keberatan terhadap pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan, sebagian besar partai mendorong-dorong agar pembahasan RUU bisa segera diselesaikan. Kami mengamati partai mana yang berpihak kepada rakyat.
Wahai anggota Dewan yang terhormat, kembalilah kepada muruah sesuai namanya, Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai wakil rakyat. Bukan Dewan Perwakilan Pemerintah atau Dewan Perwakilan Pengusaha.
Semoga masih ada perwakilan partai yang masih berpihak kepada rakyat, termasuk Dewan Perwakilan Daerah yang sampai sekarang belum terdengar gaungnya.
Prioritaskan upaya selamatkan bangsa dari Covid-19.
S Handoko
Tugurejo, Tugu, Semarang
Kritik-mengkritik
Saya bukan ahli bahasa, ahli politik, apalagi filsafat logika. Saya hanya awam, pernah mengajar, pernah dikritik dan mengkritik orang lain.
Kata orang, kritik itu sering subyektif, mencerminkan pandangan pribadi, tanpa argumentatif kuat, dan lebih sering hipotetis. Namun, kata orang pula, kritik bisa ”membangun”. Membuat yang dikritik melihat hal lain yang belum dipikirkan. Apalagi jika kritik dilandasi analisis tajam dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, kritik bisa menjadi pengingat kelemahan sekaligus menunjukkan alternatif lain.
Sayang, di Indonesia masih banyak yang senang mengkritik, tetapi tidak menunjukkan alternatif yang lebih tepat.
Ada kekuatan di balik pemikiran.
Ada politikus negeri ini yang hobi mengkritik, menganggap itu ”kewajiban” berdemokrasi, padahal ”asal nyeblag” serta menyerang pemimpin negara dan jajarannya. Fokusnya hanya menguak kelemahan, tidak menyisipkan solusi. Mungkin sebenar-benarnya ia tidak tahu apa yang benar.
Sang politikus ini sempat menyatakan, ”Kritik itu tidak harus membangun!” Entah apa maksudnya. Mungkin, sebagai wakil rakyat, ia menganggap itu refleksi pengawasan DPR. Manusiawi sekaligus janggal untuk seorang wakil rakyat.
Kita memang mudah dan cepat menunjuk 100 kelemahan seseorang. Sebaliknya, sangat sulit menemukan, apalagi menyatakan. Kita barangkali memang terbiasa berpikir negatif, terlebih jika kita punya niatan sengaja ”menjatuhkan” orang yang kita nilai.
Itu sebabnya, menurut saya, agama umumnya menuntun untuk bersikap, berpikir, serta berbuat adil dan benar dalam menilai orang—apalagi menilai sistem yang kompleks.
Saat ini, ketika kita ”digempur” dan harus bersedia ”bertempur” melawan pandemi Covid-19, sebaiknya kita ”rela berkorban” demi kepentingan bersama. Mari bekerja bahu-membahu, jangan membuat kritik negatif yang ”menjatuhkan” usaha pemerintah, apalagi jika basisnya hanya berandai-andai karena menimbulkan rasa muak.
Berhentilah mengkritik jika tak memiliki solusi ”membangun”. Jadilah orang Indonesia yang peduli, lebih-lebih di masa prihatin ini.
Zainoel B Biran
Pengamat sosial, tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan