Dengan mengacu pada UU Perbankan dan prinsip kehati-hatian, industri perbankan akan berdaya tahan dari gejolak di pasar saham serta lebih kuat ketimbang industri keuangan nonbank.
Oleh
Ardhienus
·4 menit baca
Saat ini guncangan kembali menerpa pasar saham global dan domestik. Ada aksi jual yang amat kencang, membuat harga saham berguguran.
Kinerja saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun merosot dalam. Kondisi ini terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara tahun kalender (year to date) hingga 31 Maret 2020 yang telah ambles 27,95 persen atau anjlok 1.760,51 poin dari level 4.538,93 menjadi 6.299,44. Sementara nilai kekayaan (kapitalisasi pasar) para investor saham menurun 26,77 persen atau Rp 1.952,01 triliun dari Rp 7.293,14 triliun menjadi Rp 5.341,13 triliun (sampai dengan posisi 27 Maret 2020).
Sudah barang tentu semua investor saham, baik kelas kakap, ritel, perseorangan, maupun institusi, yang menanamkan dananya pada saham mengalami banyak kerugian, termasuk pada saham kelas blue chips yang secara fundamental tergolong baik. Kerugian lebih parah justru dialami investor yang berinvestasi pada saham kelas gorengan yang harganya telah mentok, menyentuh batas bawah Rp 50 per lembar. Di pasar negosiasi, harga saham tersebut bahkan bisa lebih rendah lagi.
Banyak faktor
Di pasar saham domestik, ada banyak faktor yang membuat harga saham merosot. Selain karena faktor kecemasan soal penyebaran virus korona yang sangat cepat dan meluas ke banyak negara, muncul perang jenis baru, yakni perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia.
Gejolak pasar saham di BEI juga sebelumnya diawali dengan serangkaian gempuran sentimen negatif, mulai dari skandal Asuransi Jiwasraya, penutupan beberapa reksa dana oleh otoritas keuangan, hingga pembekuan atau penyitaan rekening beberapa manajer investasi oleh aparat penegak hukum terkait dugaan korupsi Asuransi Jiwasraya.
Tidak heran jika gejolak pasar saham telah menekan kinerja investasi banyak institusi keuangan nonbank, seperti dana pensiun dan asuransi. Lalu, bagaimana dengan kinerja perbankan kita?
Di pasar saham domestik, ada banyak faktor yang membuat harga saham merosot.
Regulasi ketat
Industri perbankan sejak dulu dikenal sebagai industri yang highly regulated. Banyak sekali aturan yang ditujukan untuk membatasi ataupun mencegah bank berperilaku mengambil risiko yang berlebihan (excessive risk taking behavior). Penerapan regulasi yang ketat untuk perbankan tersebut diarahkan agar kepentingan masyarakat bisa terus terjaga dari potensi moral hazard yang akan selalu ada di industri perbankan.
Salah satu aturan tersebut adalah larangan bank untuk menanamkan dananya dalam bentuk saham atau biasa disebut dengan penyertaan modal. Larangan tersebut sejatinya sudah lama ada, sejak berlakunya Undang-Undang Perbankan tahun 1992.
Meskipun demikian, larangan tersebut tidak berlaku untuk kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan. Begitu juga dengan penanaman dana bank dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu yang dapat mengakibatkan bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan.
Tidak hanya itu, pengecualian juga diberlakukan untuk penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat bank harus mendivestasikan kembali saham tersebut dalam jangka periode tertentu.
Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan, kegiatan penyertaan modal juga harus memenuhi prinsip kehati-hatian (prudence). Prinsip kehati-hatian yang kala itu diatur melalui peraturan Bank Indonesia mulai diberlakukan sejak 1991 dan terus diperbaiki. Terakhir, aturan dikinikan oleh peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2017.
Prinsip kehati-hatian itu memang dimaksudkan untuk mencegah dan memitigasi risiko dari kegiatan penanaman dana bank dalam bentuk penyertaan modal.
Kita tahu bahwa di balik manfaat yang diperoleh berupa pendapatan hasil penyertaan modal terselip pula risiko yang tidak kecil dari kegiatannya tersebut. Prinsip inilah yang akan menuntun bank dalam berinvestasi di saham. Prinsip harus dipegang teguh agar bank tidak karam.
Penyertaan modal
Prinsip ini menegaskan kembali apa yang telah ditulis dalam UU Perbankan itu.
Kedua, telah mendapat persetujuan dari OJK dengan berbagai persyaratan tertentu, seperti permodalan dan tingkat kesehatan bank, kecuali penyertaan modal yang berasal dari dividen saham.
Ketiga, penyertaan modal hanya dapat dilakukan untuk investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham alias trading.
Prinsip harus dipegang teguh agar bank tidak karam.
Selain diharamkan membeli saham untuk kepentingan trading, bank juga tidak diperbolehkan menggelontorkan kredit untuk memfasilitasi transaksi jual beli saham, baik kepada perseorangan maupun perusahaan non-efek. Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah gejolak yang terjadi di pasar modal berdampak ke sektor perbankan.
Meskipun begitu, ada penyaluran kredit yang masih diberi lampu hijau. Misalnya, bank tetap diperkenankan menyalurkan kredit kepada perusahaan efek yang bergerak di bidang perdagangan efek.
Mitigasi risiko
Untuk memitigasi risikonya, penyaluran kredit tersebut dibatasi maksimalnya dengan berpatokan pada jumlah modal perusahaan efek atau bank penyalur itu sendiri.
Bank juga diperbolehkan memberikan kredit dengan agunan tambahan berupa saham, tetapi dengan syarat-syarat yang ketat, seperti saham yang diagunkan tersebut telah terdaftar di BEI dan nilai saham yang digunakan sebagai agunan kredit paling tinggi 50 persen dari harga saham yang bersangkutan di bursa efek pada saat akad kredit ditandatangani.
Pendek kata, dengan mengacu pada UU Perbankan dan prinsip kehati-hatian itulah yang kemudian berperan penting dalam membentuk industri perbankan berdaya tahan dari gejolak di pasar saham yang lebih kuat ketimbang industri keuangan nonbank.
(Ardhienus, Asisten Direktur di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia)