Berani ”Move On” ala Paris dan Milan
Kondisi normal baru yang digadang-gadang bakal muncul pascapandemi tidak terjadi begitu saja. Normal baru itu butuh direncanakan matang, diarahkan, mulai dilakukan dan dipastikan berjalan sejak sekarang.
Jika bertanya kepada warga Paris atau Milan, apa yang akan mereka lakukan kini? Jawabannya, mereka sepakat move on. Mereka mau melawan pandemi, mengakhirinya dan kembali menikmati hidup menyesap kopi di kafe kesayangan bersama yang terkasih. Akan tetapi, mereka tak mau kotanya jadi surga mobil pribadi hanya agar sesama warga bisa saling menjaga jarak.
Bersamaan dengan upaya memutus rantai penyebaran penyakit akibat terinfeksi virus korona jenis baru atau SARS-CoV-2, kota-kota besar di Eropa bertekad membenahi kotanya sejak sekarang. Mereka tidak mau nanti jalanan dipenuhi kendaraan bermotor pribadi, macet, dan polusi udara merajalela. Mereka ingin kotanya tetap inklusif. Untuk itu, menata ulang jaringan transportasi publik yang sekaligus mampu mencegah penularan Covid-19 atau penyakit menular lainnya kelak, jadi target mereka kini.
Wali Kota Paris Anne Hidalgo saat berbicara di Dewan Kota Paris, Selasa (28/4/2020), menyatakan tidak mungkin merelakan Paris, Perancis, kembali dipenuhi mobil setelah masa lockdown di kota tersebut diakhiri pada 11 Mei nanti.
”Saya mengatakan dengan tegas bahwa tidak mungkin kita membiarkan Paris kembali diinvasi oleh mobil dan polusi udara. Itu akan memperburuk krisis kesehatan yang kini sedang kita alami,” kata Hidalgo, seperti dikutip dari City Lab, Rabu (29/4/2020).
Hidalgo menyatakan, polusi udara berbahaya dan selama ini telah menjadi salah satu penyebab krisis kesehatan masyarakat, terutama di perkotaan. Polusi udara bisa memicu penyakit pernafasan dan dengan demikian membuat risiko kematian Covid-19 lebih tinggi. Ancaman ganda dari polusi dan virus korona bisa terjadi jika sejak dini tidak ada antisipasi.
Baca juga: Awar-awar, Kisah Empat Abad Wabah Mendera Ibu Kota
Beberapa saat lalu, Paris menerapkan kebijakan lockdown untuk memutus penyebaran virus korona baru. Langkah Paris ini mengkuti Wuhan di China yang menjadi kota pertama munculnya Covid-19 sebelum menyebar ke seluruh dunia. Lockdown, mengacu pengalaman di Wuhan, berarti semua kegiatan yang melibatkan mobilitas warga dihentikan, fasilitas transportasi publik tidak beroperasi, kendaraan pribadi pun tidak bisa digunakan. Warga tidak bisa keluar dari kota ataupun masuk, warga diimbau melewatkan sebagian besar waktu di dalam rumah selama masa lockdown yang ditentukan oleh pemerintah kota.
Saya mengatakan dengan tegas bahwa tidak mungkin kita membiarkan Paris kembali diinvasi oleh mobil dan polusi udara. Itu akan memperburuk krisis kesehatan yang kini sedang kita alami.
Di Paris, lockdown diterapkan sejak 17 Maret dan akan berakhir pada 11 Mei. Selama hampir dua bulan ini, kualitas udara Kota Paris membaik seiring menghilangnya arus kendaraan bermotor di jalanan. Namun, seiring lockdown dicabut, ada kekhawatiran warga Paris ataupun dari luar Paris akan memanfaatkan mobil pribadi untuk bermobilitas di kawasan urban yang terkenal sebagai kota paling cantik dan romantis sedunia itu.
Untuk solusi sesaat, penggunaan mobil pribadi pasti tidak terelakkan. Namun, untuk selanjutnya Hidalgo bertekad menata fasilitas transportasi publik di Paris agar tetap ramah bagi warga dan tidak menjadi tempat penularan penyakit. Jaringan transportasi publik juga tetap digadang-gadang sebagai tulang punggung mobilitas warga yang berarti tulang punggung perekonomian kota itu. Untuk itu, sudah menjadi bagian dari urgensi agenda Hidalgo untuk mengurangi secara drastis jejak mobil pribadi di kotanya.
”The show must go on”
Semangat serupa secara bersamaan digelorakan pemimpin-pemimpin kota lain di Eropa, termasuk di Milan, Italia. Italia menjadi bagian dari negara-negara dengan tingkat kasus Covid-19 tertinggi disertai tingkat kematian tertinggi dan penularan cepat di luar Wuhan.
Baca juga: Budaya ”Gardu” yang Kembali Subur
Wali Kota Milan Beppe Sala, misalnya, berencana mengurangi kapasitas fasilitas jaringan kereta komuter mereka. Alih-alih 1,4 juta perjalanan rata-rata seperti setiap hari terjadi saat sebelum pandemi, kereta komuter di Milan kini akan mengakomodasi penumpang harian maksimum 400.000 orang. Kebijakan serupa diamini dan akan dilakukan juga di kota lain di Eropa, seperti Brussels di Belgia, Barcelona di Spanyol, dan Berlin di Jerman.
Pada 21 April lalu, seperti diberitakan di The Guardian, Beppe Sala mengumumkan proyek ambisius menata jaringan angkutan massal di Milan. Proyek tersebut bagian dari upaya kota agar pandemi tak kembali menyerang mereka di masa depan. Proyek besar itu mencakup mengurangi luas jalan kendaraan bermotor dan menambah luas trotoar bagi pejalan kaki. Memperluas jaringan jalur sepeda dan tentunya menambah fasilitas transportasi umum, seperti bus kota dan kereta komuter. Agar tidak berjubel di bus dan kereta, maka jumlah armada harus ditambah.
”Kami bekerja selama bertahun-tahun untuk mengurangi penggunaan mobil. Jika semua orang kembali mengendarai mobil, tidak ada ruang untuk orang, tidak ada ruang untuk bergerak, tidak ada ruang untuk kegiatan komersial di luar tempat usaha,” kata Wakil Wali Kota Milan Marco Granelli.
”Tentu saja, kami ingin membuka kembali perekonomian, tetapi kami pikir kami harus melakukannya dengan dasar yang berbeda dari sebelumnya,” kata Granelli.
Baca juga: ”Mempersenjatai” Para Pekerja Garis Depan Perkotaan
Jika sebelumnya semua hal tersebut berupa rencana jangka panjang, kini Milan akan mengeset ulang kota mereka mulai 2020 ini. Biaya besar, usaha besar, dan perubahan besar diharap akan terjadi. Suatu bentuk move on ala Milan karena hidup harus berlanjut, the show must go on, tapi dengan berjalan baik bukan berkubang keburukan.
Milan akan mengeset ulang kota mereka mulai 2020 ini. Suatu bentuk move on ala Milan karena hidup harus berlanjut, the show must go on, tapi dengan berjalan baik bukan berkubang keburukan.
Realitas Jakarta dan sekitarnya
Jakarta sebagai ibu kota Indonesia dan masuk jajaran kota besar di dunia tak luput dirundung pandemi. Saat ini, Jakarta tengah menjalani perpanjangan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB hingga 22 Mei nanti. Kondisi yang lebih kurang sama tengah dijalani Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jabodetabek masih berkutat mengadapi masalah seperti warga yang belum semua mematuhi menjaga jarak, mengenakan masker, nekat mudik, hingga bantuan sosial yang belum merata.
Sekarang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan kawasan sekitarnya masih terus berjuang agar warganya makin dewasa dan makin biasa mematuhi aturan baru terkait PSBB. DKI, misalnya, seperti yang diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan, masih akan membatasi orang-orang yang akan kembali ke Jakarta saat PSBB usai agar virus tak kembali menyebar (Kompas.id, 30/4/2020).
Namun, belum diketahui pasti apa rencana DKI dan pemerintah daerah Bodetabek yang berkelanjutan agar wabah tidak terus-menerus menggempur kawasannya.
Baca juga: Pembatasan Sosial Langkah Awal Menuju ”The New Normal”
Salah satu fakta yang menggelisahkan, kini bisnis dan layanan angkutan umum di Jakarta dan sekitarnya sudah dipastikan menderita hebat akibat harus mengurangi drastis hingga harus berhenti beroperasi.
Masih dari laporan Kompas.id, Rabu (29/4/2020), sesuai data Organda diketahui bahwa di Jakarta saja ada sekitar 150.000 awak angkutan umum terdampak pandemi dan upaya penanggulangannya. Sementara bantuan yang dikucurkan pemerintah baru mencakup untuk sekitar 40.000 awak angkutan umum saja. Untuk MRT Jakarta, diberitakan pada Kamis (30/4/2020) bahwa karena krisis terkait Covid-19, jadwal konstruksi fase 2 tahap 1 kereta massal cepat ini tertunda tiga bulan. Manajemen MRT juga melakukan efisiensi di banyak hal agar tetap bisa mempertahankan para pekerjanya.
Jika berkaca pada Milan dan Paris, para pekerja angkutan umum ini akan menjadi bagian dari garda depan untuk membuat kota tetap mampu bergerak dinamis sekaligus menghalau wabah. Bahkan, angkutan umum menjadi pasar pekerja baru karena upaya menghidupkan kembali serta memperluas jaringan layanannya membutuhkan tenaga-tenaga yang tidak sedikit.
Bagi Jakarta, mungkin jaringan layanan bus umum menjadi pilihan logis untuk memperluas jangkauan layanan dalam waktu relatif singkat dan biaya lebih ringan dibandingkan memperluas jaringan kereta komuter. Saat ini, Jakarta sudah memiliki 13 koridor utama bus Transjakarta, puluhan rute antarkoridor dengan lebih dari 3.500 unit armada dan jangkauan jelajah layanan lebih dari 250 kilometer. Jaringan bus ini masih diintegrasikan kembali dengan angkutan berkapasitas lebih kecil dan terjalinlah Jaklingko dengan jaringan layanan yang lebih luas lagi.
Dengan sekian banyak armada itu, Transjakarta-Jaklingko maksimal baru bisa mengangkut 1 juta orang per hari. Ditambah dengan jaringan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek dengan kapasitas hampir sama, lalu ditambah dengan layanan MRT Jakarta dan LRT Jakarta, total kapasitas jaringan angkutan publik di Ibu Kota masih jauh dari permintaan untuk memenuhi kebutuhan mobilitas 10 juta jiwa lebih warga DKI dan sekitar 30 juta jiwa total penduduk Jabodetabek.
Tidak heran jika penumpang berjubel penuh sesak tiap hari sudah menjadi pemandangan biasa. Suatu hal yang tidak boleh terjadi lagi jika melihat tuntutan jaga jarak mencegah penularan. Jakarta dan sekitarnya sebelum pandemi juga dikenal dengan kualitas buruk udaranya. Salah satu penyumbang terbesar polusi udara itu adalah jutaan kendaraan bermotor pribadi yang setiap hari menyesaki jalanan kawasan metropolitan terbesar di Indonesia ini.
Baca juga: Kota, Korona, dan Covid-19
Mewujudkan normal baru
Mempersiapkan pola baru layanan angkutan umum sejak dini setidaknya mengadopsi ide kreatif Milan juga Paris, perlu segera dipikirkan, bahkan di saat kita semua sekarang tengah tersedot perhatiannya pada PSBB dan mencoba meredam laju pertumbuhan kasus positif Covid-19 di Jakarta juga Indonesia. Tentunya tanpa melupakan bagaimana layanan kesehatan publik ke depan, pendidikan, sistem kerja, dan fasilitas publik lain yang sekarang sama-sama kocar-kacir dihantam pandemi.
Baca juga: Matt Damon dan Virus yang Melumpuhkan
Bukan hal mudah berpikir jernih untuk menata kota dalam situasi yang tidak bisa dikatakan baik ini. Namun, ini diperlukan agar bisa memastikan kota dan warganya selamat melewati pandemi dan juga setelahnya nanti. Kondisi normal baru yang digadang-gadang bakal muncul pascapandemi itu tidak terjadi begitu saja. Normal baru itu butuh direncanakan matang, diarahkan, mulai dilakukan dan dipastikan berjalan sejak saat ini. Jangan lagi menunggu bencana datang dan kita kembali gagap menyikapinya. Yuk, move on mulai sekarang juga.