Laporan Charity Aid Foundation 2019 membanggakan kita. Laporan tersebut menempatkan rakyat Indonesia sebagai negara dermawan.
Laporan yang memuat soal The World Giving Index 2019 ini mengukur perilaku warga negara untuk membantu orang yang tidak dikenal, berdonasi uang, dan ikut berpartisipasi dalam gerakan kesetiakawanan sosial. Indeks negara Indonesia untuk urusan karitas tinggi. Indonesia adalah negara dermawan.
Ketika badai pandemi Covid-19 menerjang Indonesia, kelompok masyarakat sipil pun tergerak. Di sana tak ada kepentingan pencitraan. Sejumlah pengusaha, rakyat biasa, dan media menggalang dana untuk membantu sesama. Ikatan emosional sesama manusialah yang membuat gerakan voluntarisme itu bergerak leluasa, tanpa batas dan sekat partai.
Kekuatan masyarakat sipil yang luar biasa inilah yang harus terus dirawat dan dikembangkan. Itulah modal kekuatan tengah Indonesia yang bergerak atas dasar kemanusiaan dan kebangsaan. Kekuatan tengah masyarakat sipil itulah modal sosial yang bisa memperkuat daya tahan sosial Indonesia sebagai bangsa. Tulisan The Diplomat oleh Shane Preuss, 24 April 2020, melihat kekuatan masyarakat sipil Indonesia luar biasa dan membuat bangsa ini berdaya tahan.
Kedermawanan masyarakat sipil jangan sampai dirusak oleh politisi murahan yang memanfaatkan bantuan sosial untuk korban pandemi untuk kepentingan elektoral. Gejala politik citra untuk korban pandemi Covid-19 dalam batas tertentu bisa dilakukan asal ada kejujuran. Jika bantuan berasal dari dana APBN, ya harus diungkapkan secara jujur, bukan diklaim sebagai bantuan pribadi. Itu sungguh tak etis.
Membaca laporan harian ini, Kamis, 30 April 2020, Bupati Klaten Sri Mulyani mendapat sorotan. Dia menempelkan foto dirinya dalam bantuan hand sanitizer kepada warganya. Bahkan, stiker itu ditempelkan menutupi stiker sebelumnya yang tertulis Kementerian Sosial. Sejumlah daerah juga memanfaatkan bantuan sosial untuk kepentingan elektoral di tengah pilkada. Itulah cermin ketidakjujuran seorang pejabat demi menuai simpati dari pemilih.
Para elite politik atau pejabat layak mencontoh bagaimana voluntarisme masyarakat sipil bekerja. Para pejabat di pusat ataupun di daerah jangan hanya berteriak melalui media sosial agar tampak bersimpati kepada rakyat yang menderita. Menjadi tugas pejabatlah menyelesaikan pekerjaan rumah yang ada. Kekuasaan yang dimiliki saatnya didedikasikan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pencitraan dirinya. Jadi, tak perlu terjadi bantuan sosial terhambat karena menunggu kantong bergambar foto pejabat belum tersedia.
Pemanfaatan simbol politik dikhawatirkan bisa menggerus sentimen kebersamaan yang kini diperjuangkan. Pandemi Covid-19 tak mengenal kasta, aliran politik, agama, dan profesi. Politisasi bantuan sosial akan menghancurkan semuanya. Daripada terus mengecam kegelapan, kita mendorong sesama warga bangsa untuk berbuat sekecil apa pun untuk kemanusiaan, tanpa sekat dan simbol apa pun.