Harapan dari Plasma Darah
Metode terapi plasma darah sangat layak untuk dipertimbangkan sebagai salah satu solusi sementara mengingat potensi berbagai risiko sebagaimana disebut di atas sambil menunggu ditemukannya vaksin dan obat untuk Covid-19.
Supervirus Covid-19 di Indonesia memakan kian banyak korban dan diperkirakan belum sampai ke puncaknya. Kabar baik, di tengah kesulitan ini muncul sinar di ujung lorong. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman segera memulai pengobatan pasien Covid-19 dengan menggunakan plasma darah dari pasien yang sudah dinyatakan sembuh.
Metode ini bisa disebut plasma pemulihan. Senin (20/4/2020), Kepala LBM Eijkman Amin Subandrio menyatakan, lembaganya dengan dukungan Badan POM dan Kementerian Kesehatan siap menerapkan pengobatan metode plasma pemulihan ini beberapa pekan mendatang. Selasa (28/4/2020), Kompas memberitakan, PT Bio Farma dan RSPAD Gatot Soebroto bergabung dalam inovasi gerak cepat ini.
Metode plasma pemulihan bukanlah metode baru, sudah diterapkan selama seabad. Namun, dalam konteks menghadapi pandemi Covid-19, metode ini baru saja diterapkan. Rencana LBM Eijkman itu juga mengikuti beberapa negara yang sudah terlebih dulu menerapkannya. Iran negara pertama di luar China yang menggunakan metode ini dan mengumumkan keberhasilannya.
Situs Iran Front Page edisi 11 April 2020 menuliskan artikel yang menjelaskan, protokol plasma pemulihan di Iran sudah selesai disusun pada 24 Februari. Komite Etik Kementerian Kesehatan dan Pendidikan Medis Iran telah memberi izin penggunaan metode ini dan langsung diterapkan pada riset dengan mengambil 200 pasien positif terinfeksi Covid-19.
Sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh diambil plasma darahnya 500-600 cc untuk kemudian ditransfusikan ke pasien yang belum sembuh. Hasilnya positif, banyak pasien yang kondisinya membaik hingga sembuh. Pemerintah Iran menilai metode plasma pemulihan efektif dengan efek samping masih pada level yang bisa ditoleransi.
Setelah keberhasilan ini, Iran langsung membagi pengalamannya ke beberapa negara sahabat, seperti Jerman, Italia, dan Perancis. Jika Iran mengesahkan protokol metode plasma pemulihan pada 22 Februari, AS melalui Food and Drug Agency (FDA), baru mengesahkan protokol serupa akhir Maret. Padahal, penambahan kasus baru dan kematian melesat tinggi di negara ini.
Metode plasma pemulihan bukanlah metode baru, sudah diterapkan selama seabad.
Protokol ini akan diterapkan kepada 600 pasien dengan kondisi parah dan masih dalam konteks riset. Saat AS baru akan memulai pengambilan plasma darah dari pasien yang sudah sembuh, Iran sudah melewati proses transfusi kepada 200 pasien.
Sebelum Iran, hanya China yang sudah mencoba metode ini, tetapi belum menerapkan dalam format riset secara konsisten dan belum ada laporannya. Dengan kata lain, Iran-lah yang pertama menggunakan metode plasma darah untuk pemulihan pasien Covid-19 dengan format riset lengkap. Iran sendiri, dengan berbagai metode penyembuhan, mencatat tingkat kesembuhan total yang tinggi.
Menurut Worldometers edisi 28 April, di Iran terdapat 91.472 positif Covid-19 dan 70.933 sembuh (77,5 persen). Catatan yang bagus juga ada di China, dari 82.836 positif, 77.556 sembuh (93,6 persen). Negara Eropa yang prestasi kesembuhannya tinggi adalah Austria dengan 15.274 positif dan 12.362 sembuh (80,9 persen) serta Swiss dengan 29.164 positif dan 22.200 sembuh (76 persen).
Bandingkan dengan Indonesia, 9.096 positif, 1.151 sembuh (12,7 persen). Bandingkan pula dengan AS yang mencatat 1.010.356 positif, 138.900 sembuh (13,9 persen). Angka itu lebih rendah dari rata-rata dunia, 3.064.161 positif dan 922.369 sembuh (30 persen).
Mirip transfusi ketat
Plasma adalah bagian dari darah, selain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan butir darah (trombosit). Proses terapi plasma darah ini sebenarnya sama dengan proses transfusi darah yang setiap hari dilakukan para dokter kepada pasien, yakni dengan darah dari donor keluarga sendiri ataupun yang dikumpulkan PMI.
Jika ada pasien dengan hemoglobin (Hb) drop akut karena pendarahan, apa tindakan dokter? Ya, ditransfusi sel darah merah. Dari mana mencarinya? Bisa dari PMI (dari donor), bisa juga donor keluarga yang datang langsung ke PMI. Jika pasien mengalami pendarahan lama karena fungsi penggumpalan (koagulasi) darahnya terganggu, apa tindakan dokter? Pasien ditransfusi plasma segar dari donor.
Kalau limfosit (kelompok sel darah putih yang berperan membangun imunitas/kekebalan sel dengan imunoglobulin sebagai produknya) pasien drop habis karena dibinasakan Covid-19, apa tindakan dokter? Ya sama, ditransfusikan plasma darah (yang mengandung imunoglobulin) dari donor, yaitu pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19.
Protokol tindakan ini harus ketat untuk meniadakan berbagai risiko, seperti risiko cedera paru akut terkait transfusi, kelebihan cairan, reaksi alergi/anafilaksis (reaksi penolakan), atau risiko penularan infeksi. Untuk itu segala sesuatunya harus dipersiapkan sebaik mungkin demi meminimalkan risiko ini. Sejak dinyatakan sembuh lewat dua kali tes PCR, calon donor harus melewati masa 14-21 hari.
Periode 14-21 hari ini ditetapkan karena sudah melewati masa inkubasi virus. Sekaligus masa kandungan imunoglobulinnya masih banyak karena baru saja memenangi pertempuran melawan serangan jutaan virus korona.
Jika donornya terlalu lama setelah sehat, kandungan imunoglobulin akan menurun secara alamiah karena sudah tak diperlukan lagi untuk berperang melawan virus. Inilah dasar sederhana metode terapi dengan menggunakan plasma darah. Tentu saja, sekali lagi, dengan protokol yang ketat. Lebih ketat daripada protokol yang digunakan dalam proses transfusi darah biasa.
Dalam plasma darah, antara lain, terdapat protein, antibodi, larutan garam, enzim, dan koagulan (penggumpal darah). Pada saat seseorang sakit (misalnya terserang virus), plasma darahnya mengandung banyak sekali antibodi (diproduksi oleh sel limfosit) yang digunakan sebagai pasukan pertahanan untuk menghadapi serangan virus itu. Jika pasukan antibodi ini kalah melawan virus, pasien bisa fatal, bahkan meninggal. Namun, jika pasukan antibodi ini menang melawan virus, pasien sembuh.
Nah, pada pasien yang baru saja sembuh, pasukan antibodinya masih sangat banyak di plasma darah. Mumpung plasma darahnya masih banyak mengandung pasukan antibodi, didonorkan saja kepada pasien lain yang pasukan antobodinya sudah habis dibinasakan virus.
Ibaratnya, mengirim bantuan pasukan ke batalyon teman yang binasa diserang musuh supervirus ini. Protein antibodi yang didonorkan ke pasien sakit ini akan bekerja melawan virus korona, mengurangi peradangan, dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh sehingga selanjutnya (pihak resipien) diharapkan mulai memproduksi antibodi sendiri.
Jika donornya terlalu lama setelah sehat, kandungan imunoglobulin akan menurun secara alamiah karena sudah tak diperlukan lagi untuk berperang melawan virus.
Pasien yang sudah dinyatakan sembuh dari Covid-19 bisa mendonorkan 200-400 ml plasma darahnya kepada pasien (resipien) yang masih berjuang menghadapi virus ganas ini. Dengan metode ini, seorang eks pasien Covid-19 yang sudah sembuh bisa menyelamatkan 1-2 pasien lain, tanpa menimbulkan efek samping berarti.
Pemberian plasma darah ini bisa diulang minggu berikutnya, tergantung kondisi donor. Dengan demikian, eks pasien yang sembuh dapat menyumbang sebanyak yang dibutuhkan dengan mengacu pada kekuatan tubuhnya sebagai donor.
Sudah teruji seabad
Terapi plasma yang disebut sebagai convalescent plasma (plasma pemulihan) ini setidaknya sudah digunakan saat menghadapi wabah flu Spanyol pada 1918 yang memakan jutaan orang meninggal di seluruh dunia dan wabah campak di Pennsylvania, AS, tahun 1934. Dalam dua dekade terakhir, metode ini juga digunakan untuk pengobatan pandemi sindrom pernapasan akut SARS (coronavirus, 2002-2003), H1N1 (influenza A, 2009), dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS coronavirus, 2012) dengan hasil kemanjuran dan keamanan memuaskan.
Pada kasus flu Spanyol, pemberian plasma darah menekan sekitar 50 persen angka kematian. Kini dicobakan di Covid-19 yang bernama lain SARS-CoV-2. Berita terbaru, produsen farmasi Jepang, Takeda Pharmaceutical Co, sedang mengembangkan obat virus korona baru yang berasal dari plasma darah orang yang telah pulih dari Covid-19.
Idealnya memang perlu dilakukan riset dengan skala besar dan waktu yang lama untuk menguji keandalan metode terapi plasma darah ini, khususnya untuk menghadapi SARS-CoV-2 sebagai virus baru yang sangat ganas. Namun, harus disadari, sekarang ini situasinya sangat darurat.
Kita sangat kekurangan segala jenis ”amunisi”. Tes cepat, tes PCR, reagen, ventilator, baju hazmat, dan masker, semuanya serba kekurangan. Fasilitas ruangan, dokter, dan tenaga medis juga sangat terbatas. Dokter dan tenaga medis sudah banyak yang meninggal dalam tugas.
Angka total pasien positif, ODP, PDP, dan pasien meninggal yang dilaporkan belumlah menggambarkan angka kejadian sebenarnya. Sebab, pemerintah belum bisa menyelenggarakan tes cepat dan PCR secara massal karena keterbatasan segala fasilitas di atas. Kemampuan keuangan dan manajerial pemerintah sangat terbatas untuk menghadapi melonjaknya penularan wabah ini.
Metode terapi plasma darah sangat layak untuk dipertimbangkan sebagai salah satu solusi sementara mengingat potensi berbagai risiko sebagaimana disebut di atas sambil menunggu ditemukannya vaksin dan obat untuk Covid-19. Inisiatif LBM Eijkman bersama PMI untuk segera menerapkan metode ini patut didukung. Hambatan birokrasi harus disingkirkan.
(Djoko Santoso, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga)