Covid-19 dan Daya Paksa
Langkah paling bijak dalam menghadapi pandemi Covid-19 terkait suatu perjanjian adalah dilakukannya renegosiasi di antara para pihak dalam hubungan yang setara.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, memberi dampak amat sangat signifikan di berbagai bidang kehidupan.
Presiden Jokowi kemudian menetapkan Covid-19 sebagai bencana non-alam yang bersifat nasional. Pemerintah mengambil sejumlah kebijakan untuk menyesuaikan dengan situasi pandemik Covid 19. Mulai dari bekerja di rumah, imbauan tak mudik, pembebasan narapidana dan tahanan, hingga penundaan pelaksanaan kontrak, termasuk pelunasan kredit. Kendatipun menimbulkan kontroversi, berbagai kebijakan itu dianggap cukup rasional.
Pertanyaan lebih lanjut, apakah Covid-19 dapat dianggap sebagai daya paksa dan bagaimana hukum menyikapi ini? Kiranya tak ada keraguan untuk menyatakan secara tegas bahwa pandemi Covid-19 adalah daya paksa. Secara harafiah, daya paksa dapat diartikan suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak sehingga membawa dampak yang sama sekali tidak diperhitungkan sebelumnya. Beberapa keadaan yang termasuk dalam daya paksa adalah bencana alam, wabah penyakit, dan huru-hara.
Selanjutnya, bagaimana hukum menyikapi Covid-19 sebagai daya paksa? Dalam konteks doktrin, daya paksa atau overmacht atau force majeure ada tiga.
Pertama, daya paksa absolut. Artinya, seseorang melakukan atau tak melakukan sesuatu berdasarkan kekuatan mutlak di luar dirinya yang tak dapat dihindari.
Di sini berlaku postulat necessitas non hebet legem yang berarti dalam keadaan terpaksa tak mengenal hukum. Merujuk theory of pointless punishment, seseorang yang bertindak dalam daya paksa absolut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban apa pun.
Kedua, daya paksa relatif atau daya paksa dalam arti sempit. Artinya, masih ada kehendak bebas bagi seseorang untuk melakukan atau tak melakukan sesuatu. Hal ini merujuk pada postulat coactus, attamen voluit yang berarti seseorang mewujudkan kehendak bebas meskipun ada daya paksa.
Ketiga, keadaan darurat. Artinya, seseorang diberi kebebasan untuk memilih pelanggaran aturan yang lebih tidak menimbulkan bahaya. Dalam keadaan darurat ada tiga kemungkinan: pertentangan di antara dua kewajiban, pertentangan di antara dua kepentingan, atau pertentangan antara kewajiban dan kepentingan. Dasar tindakan seseorang dalam keadaan darurat merujuk pada theory lesser evils atau diterjemahkan teori peringkat pelanggaran yang lebih ringan.
Kiranya tak ada keraguan untuk menyatakan secara tegas bahwa pandemi Covid-19 adalah daya paksa.
Perihal apakah daya paksa merupakan alasan pemaaf ataukah alasan pembenar dalam hukum masih menimbulkan perdebatan. Namun, yang jelas, apakah sebagai alasan pemaaf (menghapuskan sifat dapat dicela) ataukah alasan pembenar (menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan), keduanya memberikan dampak yang sama terhadap pertanggungjawaban hukum.
Kasus per kasus
Apakah Covid-19 termasuk dalam daya paksa absolut, daya paksa relatif, ataukah keadaan darurat tidaklah dapat digeneralisasi, tetapi tergantung kasus per kasus. Sebagai misal, kebijakan Menteri Hukum dan HAM yang ”merumahkan” sejumlah narapidana meskipun dalam masa asimilasi dengan alasan mencegah mewabahnya Covid-19 dikualifikasikan sebagai keadaan darurat.
Sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan bahwa terjadi kelebihan penghuni di lapas sehingga tak mungkin menerapkan pembatasan sosial. Di sini, terjadi pertentangan antara kewajiban dan kepentingan sebagai salah satu kemungkinan keadaan darurat.
Di satu sisi, ada kewajiban untuk menaati aturan UU bahwa narapidana yang menjalani asimilasi harus tetap tinggal di lapas, tetapi di sisi lain ada kepentingan untuk mencegah mewabahnya Covid-19 dengan melakukan pembatasan sosial sehingga para narapidana tersebut ”dirumahkan”.
Demikian pula pembebasan bersyarat yang dipercepat. Terhadap pembebasan bersyarat memang tidak lagi menghuni lapas, tetapi tetap dalam pengawasan. Agar narapidana yang menjalani asimilasi dan pembebasan bersyarat tak menimbulkan masalah sosial baru di masyarakat, kerja sama antara direktorat jenderal pemasyarakatan dan perangkat pemerintahan terkecil di tingkat desa/kelurahan mutlak dilakanakan. Selain para narapidana yang menjalani asimilasi dan pembebasan bersyarat tak mengulangi perbuatannya, hal ini dimaksud agar kebijakan pembatasan sosial juga tetap terpenuhi.
Kebijakan yang sama dilakukan Polri melalui Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) terhadap lebih dari 30.000 tahanan yang masih berada dalam proses hukum. Ada dua alternatif yang ditempuh Kabareskrim untuk mematuhi kebijakan pembatasan sosial. Pertama, dilakukan penangguhan penahan.
Mekanisme ini dikenal dalam KUHAP bahwa penangguhan penahanan dimungkinkan dengan jaminan orang atau dengan jaminan uang.
Kedua, pengalihan status tahanan dari tahanan di kepolisian menjadi tahanan rumah. Mekanisme ini pun diatur KUHAP. Dalam konteks ini, Covid-19 adalah daya paksa relatif karena masih ada pilihan kebijakan yang tidak melanggar aturan.
Perjanjian kontrak
Terakhir adalah daya paksa Covid-19 terkait pemenuhan hak dan kewajiban dalam suatu perikatan atau kontrak atau perjanjian di antara para pihak yang menimbulkan hubungan keperdataan. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata berlakulah asas pacta sunt servanda bahwa perjanjian yang dibuat para pihak ibarat undang-undang.
Secara mutatis mutandis adanya Covid-19 terhadap suatu perjanjian tidaklah dapat digeneralisasi, tetapi harus dilihat case by case. Pertama-tama harus dicermati apakah para pihak dalam suatu kontrak atau perjanjian atau perikatan mengatur perihal daya paksa? Jika mengatur, isi perjanjianlah yang harus ditaati. Sebaliknya, jika tidak diatur oleh para pihak, berlakulah Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata yang mengatur secara umum terkait daya paksa.
Dalam kedua pasal tersebut pada hakikatnya mengatur dua hal. Pertama, ada keadaan luar biasa yang terjadi di luar kehendak para pihak sehingga tidak terjadi pemenuhan hak dan kewajiban.
Kedua, adanya hubungan kausalitas antara pemenuhan hak dan kewajiban dengan keadaan luar biasa tersebut. Hubungan kausalitas di sini bukanlah teori conditio sine qua non dari Von Buri yang menyamakan semua syarat sebagai sebab yang menimbulkan akibat, tetapi menggunakan teori individualisasi dari Brickmayer. Artinya, dari berbagai macam syarat, dicari syarat manakah yang paling utama menimbulkan akibat.
Secara mutatis mutandis adanya Covid-19 terhadap suatu perjanjian tidaklah dapat digeneralisasi, tetapi harus dilihat case by case.
Kedua hal ini yang akan menentukan apakah adanya pandemi Covid-19 sebagai daya paksa absolut, daya paksa relatif, ataukah keadaan darurat. Langkah paling bijak dalam menghadapi pandemi Covid-19 terkait suatu perjanjian adalah dilakukannya renegosiasi di antara para pihak dalam hubungan yang setara. Artinya, tak ada kerugian pada satu pihak dengan keuntungan di pihak lain, tetapi didasarkan pada asas keadilan dan itikad baik.
(Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)