Sulit dibayangkan jika saat terjadi pandemi seperti sekarang ini, di dunia belum tersedia internet atau teknologi informasi-komunikasi pada umumnya. Tidak hanya pendidikan, bahkan urusan pemerintahan, bisnis, dan lainnya bisa berhenti atau nyaris berhenti.
Untunglah teknologi informasi-komunikasi (TIK) sudah bersama umat manusia semenjak akhir tahun 1990-an. Hal ini membuat, meski ada kendala dalam kontak tatap muka saat pandemi Covid-19 merebak, berbagai urusan, termasuk pendidikan, tidak dilanda kemacetan.
Hal ini kita garis bawahi seiring peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei, akhir pekan lalu. Sabtu (2/5/2020), di halaman muka harian ini, kita melihat foto seorang siswa kelas II SD Islam Al-Bayan sedang mengerjakan soal penilaian akhir tahun secara daring di rumahnya di Kota Tangerang, Banten.
Sebenarnya tanpa terpaan wabah, ide pemanfaatan TIK/internet untuk pendidikan sudah kencang bergaung, khususnya di pendidikan tinggi. Beberapa kampus telah menerapkan sistem pendidikan jarak jauh (PJJ).
PJJ diakui menjanjikan kelebihan dan manfaat besar bagi pendidikan. Dengan sistem ini, peluang pemerataan diperbesar. Jika siswa di daerah mempunyai kendala finansial untuk menjadi mahasiswa universitas favorit di kota besar, sistem PJJ menjadi solusi tepat.
Namun, bagi negara kepulauan dengan rentang geografi seluas Indonesia, mewujudkan PJJ tidak sesimpel wacananya. Pertama, jelas harus tersedia infrastruktur TIK yang setara bagi seluruh wilayah. Di sisi lain, ada istilah ”kesenjangan digital” (digital divide). Infrastruktur TIK kawasan Indonesia barat lebih maju dibandingkan dengan di kawasan Indonesia timur.
Syukurlah pemerintah telah menuntaskan pembangunan proyek Cincin Palapa yang membuat kawasan timur berada dalam posisi bersaing yang sama dengan kawasan barat. Ketersediaan infrastruktur baru satu elemen PJJ. Masalah berikutnya adalah apakah siswa di kawasan timur juga mudah memiliki gawai untuk mengakses internet yang memuat materi PJJ. Gawai harus tersedia. Pulsa juga bisa dijangkau.
Saat dunia pendidikan sedang menghitung dan menyiapkan detail sistem PJJ, datang wabah korona. Kita bersyukur, dari berbagai laporan yang kita baca di harian ini, PJJ bisa dilakukan, baik untuk penilaian akhir di SD maupun pembelajaran tingkat universitas.
Tentu ada kagol (kecewa) pada awalnya, tetapi satu-satu bisa diterapkan. Selama sekitar 1,5 bulan masa pembatasan sosial di sejumlah daerah, teknologi menjadi pilar bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Kini, mungkin di era yang lalu disebut ”normal baru”, jamak kita melihat layar komputer menampilkan wajah guru dan murid serta dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar.
Banyak masukan yang diberikan orangtua, guru, pengamat dan praktisi pendidikan, seperti materi dibuat lebih pas dan menarik bagi murid. Pendidikan elektronik punya kekhasan sendiri. Namun, kita yakin, dengan waktu, penyesuaian segera ditemukan serta siswa-guru dan mahasiswa-dosen sama-sama bisa menikmati interaksi belajar-mengajar gaya baru ini. Teknologi dan metode bisa disiapkan. Satu hal lagi, agar PJJ lebih luas cakupannya, tarif koneksi perlu kian terjangkau.