Sebuah tulisan di halaman opini Kompas (Sabtu, 28/3/2020) terlalu bagus untuk dilewatkan. Berjudul ”Korona dan Industri Farmasi”, ditulis oleh Sampurno, mantan Dirjen POM dan Kepala Badan POM.
Menyadarkan kita, betapa Indonesia sangat bergantung pada bahan baku impor untuk membuat obat. Industri farmasi kita membutuhkan bahan baku obat (BBO) dari China dan India, termasuk bahan bantu aktif (active ingredients) dan bahan penolong (excipient). India juga butuh bahan antara (intermediate substance) dari China.
Saya pernah mengemukakan pengalaman membeli obat di India, sama jenis dengan di Indonesia, tetapi harga jauh lebih murah. Membaca tulisan Sampurno membuat saya jadi memahami, mengapa bisa seperti ini.
Akibat pandemi Covid-19, persediaan BBO industri farmasi Indonesia terancam karena kedua negeri pemasok memusatkan produksi untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan persediaan hanya sampai Juni.
Indonesia ternyata hanya menjadi negeri penjahit belaka. Pada 16 April 2020, Kompas memuat berita berjudul ”Erick Thohir: Sangat Menyedihkan, Negara Sebesar Indonesia, 90 Persen Bahan Baku Obat Masih Impor”. Menurut Erick, mewabahnya virus korona di Indonesia harus menjadi cambuk agar bangsa Indonesia tak lagi bergantung pada negara lain.
Erick mengakui, membangun industri nasional memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, dia yakin bahwa jika bergotong royong, industri nasional bisa maju. Yang penting, kita jangan terjebak short term policy dan didominasi oleh mafia traders.
Kalau hari ini bisa produksi bahan baku obat 10 persen, tahun depan 30 persen, tahun depannya lagi 50 persen. Pernyataan Erick cukup berani dan memberikan harapan. Melihat kiprahnya, saya optimistis ada perbaikan yang bermakna dalam kebijakan industri farmasi khususnya memandirikan negara di bidang bahan baku.
Yang memprihatinkan, ketergantungan terjadi di pelbagai industri. Semoga pengalaman ini membuat para pengambil keputusan mengkaji lagi agar bangsa Indonesia mandiri di berbagai bidang. Saya tidak bosan mengulang kosakata Budiman Tanuredjo: Fokus dan konsentrasi.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jalan Pariaman, Pasar Manggis, Jakarta 12970
Tanggapan HIS Travel Indonesia
Menanggapi Ibu Christine N Hidayat dalam surat berjudul ”Pengembalian Uang Tiket” (Kompas, 15 April 2020), kami sampaikan, Ibu Christine membeli tiket pesawat All Nippon Airways (ANA) rute Jakarta-Tokyo-Osaka dan Tokyo-Jakarta untuk tiga orang. Berangkat 20 Maret 2020. Tiket untuk kelas ekonomi harga promo, total Rp 24.788.000.
Dalam proses refund, kami merujuk kebijakan maskapai. Pada 28 Februari, kami mengontak ANA, direspons bahwa penerbangan tetap karena belum ada travel warning.
Pada 3 Maret, ANA mengeluarkan kebijakan bebas biaya refund (refund-fee waive) untuk tiket yang dibeli sebelum hingga 28 Februari 2020 dan tiket keberangkatan hingga 19 Maret 2020. Tiket Ibu Christine tidak bebas biaya. Pada 6 Maret, Ibu Christine memutuskan refund tiket total 3 pax sebesar Rp 9.000.000.
Pada 11 Maret, ANA memberitahukan perubahan kebijakan bahwa bebas biaya refund atau refund-feewaive untuk tiket yang dibeli sebelum hingga 28 Februari 2020 dan tiket untuk keberangkatan 28 Februari hingga 5 April 2020.
Untuk Ibu Christine, HIS kembali menghubungi ANA. Namun, direspons ANA bahwa kebijakan terbaru itu tidak berlaku untuk konsumen yang memilih refund sebelumnya.
HIS telah menyampaikan bahwa tiket yang dibeli dengan harga promo, jika berubah jadwal, harga menjadi normal. Selisih harga promo ke normal ditambah penalti menjadi total Rp 26.556.000.
Nasrullah Syuhadak
GM Retail Business Management, HIS Travel Indonesia