Didi Kempot, Gustine Wong Ambyar
Pengamen sukses, Gustiné Wong Ambyar, Gustiné Rakyat Cendol Dawet, itu sudah tiada. Sudah menghadap Gustinya yang menciptakan hidupnya, hidup kita semua, Sang Maha Pencipta. Sugeng tindak, Mas Didi.
Sepanjang jalan menuju Ngawi di Jawa Timur dari Solo, Didi Kempot tak putus menuturkan kisah hidupnya, dari ngamen di warung nasi liwet Mbok Wongso Lemu di Keprabon Solo sampai terdampar di pinggiran trotoar di Slipi di Jakarta. Saya cuma mencatat di sebelahnya. Didi menyetir mobil minibusnya, ngebut, seperti sudah sangat hafal lika-liku jalan dari Solo-Ngawi melalui Sragen.
”Saya lebih suka menyetir sendiri jika pulang dari Solo,” ungkap Didi Kempot, ketika saya mewawancarainya untuk Kompas Minggu pada awal Juli 2005. (Tulisan bersama Frans Sartono dan Lusiana Indriasari, ”Menjadi Kaya Bukan Lagi Impian” dimuat Kompas Minggu 4 Juli 2005). Dua teman Didi Kempot ada di jok belakang. Juga istri saya.
”Ayolah menginap saja di rumah saya, di Ngawi,” ajak Didi Kempot. Rencana memang hanya mau mewawancara dia di Hotel Riyadi, di Jalan Slamet Riyadi, Solo. Tetapi kemudian, mengiyakan ajakannya ke Ngawi malam itu juga.
Didi Kempot mengantar kami, saya dan istri, ke Hotel Orchid, tempat kami menginap. Dia menunggu kami berkemas di resto hotel, lalu langsung cabut ke Ngawi melalui Sragen.
”Di Jakarta saya selalu menginap di kamar Hotel Ibis Slipi, yang menghadap ke bundaran Slipi biar saya bisa mengamati tempat saya dulu mengamen,” kata Didi Kempot, sembari menyetir. Benar-benar ngebut nyopir-nya. Kami sempat berhenti makan di sebuah resto langganan dia jika pulang ke Ngawi dari Solo. Didi Kempot mengaku, setiap kali membuka jendela kamarnya, ia bisa melihat trotoar tempat dia biasa mengamen di Slipi.
Di Jakarta saya selalu menginap di kamar Hotel Ibis Slipi, yang menghadap ke bundaran Slipi biar saya bisa mengamati tempat saya dulu mengamen.
”Ibu yang punya rumah makan di pojok bundaran Slipi itu baik hati, sering kami utangi,” katanya. Bahkan, pemilik tempat kos yang sangat kecil di pinggir kuburan di Slipi juga berbaik hati meski Didi Kempot sering telat bayar kos.
Kamarnya benar-benar mini, cukup hanya untuk dirinya tidur dan persis di pinggir kuburan. ”Jika jendela kamar dibuka, persis saya lihat makam, ha-ha-ha,” katanya.
Patah hati dijogeti
Didi Kempot boleh patah hati, putus cinta, diingkari janji dalam semua lagunya. Tetapi, publiknya tak pernah mau tinggal diam bergoyang riang. ”Kalau patah hati, lebih baik dijogeti,” kata penyanyi yang oleh sejumlah media televisi di Jakarta disebut Godfather of Broken Heart ini dalam setiap konsernya. Dan ia selalu menyapa para penontonnya, publiknya, sebagai ”Sobat Ambyar”. ”Yang penting, hati semuanya bernyanyi,” serunya.
Baca juga: Didi Kempot Sungkan Nyanyi ”Bojo Galak” di Depan Presiden Jokowi
Kalau sudah sampai giliran lagu ”Banyu Langit”, apalagi ”Kalung Emas” dan ”Pamer Bojo”, publik ambyar pasti gegap gempita. Meski berdesak di sekitar panggung, para Sobat Ambyar ini selalu hangat menyambar dengan yel-yel, ”Cendol dawet, cendol dawet. Pira? Lima ngatusan!” mengalahkan yel-yel politik apa pun yang pernah ada di pentas Jakarta.
Lalu, ribuan orang itu bergelora meneriakkan senggakan, ”Ji, ro, lu, pat, (tu wa ga pat) Tak kitak-kitak, tak kitak-kitak…. Tak kitak-kitak, tak kitak-kitak…. Tak kitak-kitak-kita. Yooo.” Menggetarkan hati yang patah jadi tegar.
Bunyi tak kitak-kitak, dhut, tak kitak-kitak dhut pun mengentak dari dentam ketipung yang dimainkan pemuda ganteng Dory Harsa, pemuda keren patah hati, yang ikut Didi Kempot sejak di bangku SMA. Dan seperti lagu-lagu Didi Kempot, nasib duda ganteng yang ikut Didi Kempot dari SMA sampai lulus sarjana komputer itu senyatanya memang duda ditinggal ibu dua anaknya yang pindah ke lain hati….
Musik congdhut (keroncong dangdut dan juga campursari) di panggung Didi Kempot memang dinamis. Ritmenya boleh tetap. Namun, dalam ekspresi lagu-lagu, lirik-liriknya yang berbahasa Jawa ndudut ati. Diungkapkan dalam bahasa sehari-hari, bahasa rakyat. Dan setiap lagunya mengungkapkan tempat. Dari Stasiun Balapan Solo, Terminal Tirto Nagoro, Nglanggeran Wonosari Ngayogyakarta, Pantai Klayar Pacitan….
Didi Kempot juga mengisi atraksi panggungnya dengan liukan pemanis biolawati cantik, Rendy, yang tak hanya memainkan biola listrik, tetapi juga menjadi teman pentas penyanyi asli Ngawi, Madiun, yang bernama asli Didi Prasetyo itu. Sembari mengayunkan liukan dangdutnya, ia mengayunkan strekstok biolahnya.
Ketika gelombang virus Covid-19 praktis mematikan seluruh aktivitas di ibu kota Jakarta, dan menyusul kemudian seluruh kota dan kabupaten di Nusantara, pentas Didi Kempot tengah hangat-hangatnya di mana-mana. Di mana pun pentas Didi Kempot diadakan, penonton pun selalu membanjirinya. Ribuan, bahkan puluhan ribu penonton, bergoyang, dari Surabaya, Kediri, Yogyakarta, Temanggung, Semarang, hingga Jakarta. Selalu gegap gempita dengan ”tak kitak-kitak, tak kitak-kitak, cendol dawet, cendol dawet”. Seantero Jawa dijelajahi.
”Sejak 1993 saya sudah diminta pentas di Belanda, dan menyusul kemudian 1994 pentas di Suriname…. Sembilan belas kali,” kata Didi Kempot, dalam acara Talk Show Kick Andy di Metro TV, Desember 2019,
Covid-19 kemudian menghentikan aktivitas manusia Jakarta, dan kota-kota lain untuk berkelompok, beranjangsana, bahkan juga beribadah bersama di masjid, gereja, dan kuil. Jangankan seminar. Sekolah juga harus dilakukan dari rumah, kuliah dari rumah, kerja dari rumah…. Work from home.
Mudik Lebaran pun dilarang! Tidak boleh. Kalau nekat? Dipaksa putar haluan. Balik ke Jakarta lagi.
”Jangan harap bisa balik ke Jakarta dengan gampang…,” kata Gubernur Anies Baswedan, yang di Jakarta menggulirkan program ”Kolaborasi Sosial Berskala Besar” (KSBB) pada saat berbagai kota di Jawa memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Suasana kini di Jakarta, juga di kota-kota lain di Jawa, berbanding terbalik dengan suasana tiga empat bulan lalu. Saat Sobat Ambyar dan ”Rakyat Cendol Dawet” tak henti bergoyang, bergantian dari kota-kota, dari kabupaten-kabupaten, bergelora dengan ”tak kitak-kitak, tak kitak-kitak, cendol dawet, lima ngatusan”.
Tetapi, dalam kesendirian di rumah, kita sebenarnya juga masih bisa menggelorakan tak kitak-kitak, tak kitak-kitak, cendol dawet dari peralatan komputer kita. Konser rekaman Didi Kempot siap menghangatkan dan mencairkan suasana beku di rumah kita dengan tak kitak-kitak, tak kitak-kitak, cendol dawet, lima ngatusan dari konser-konser Gustiné Wong Ambyar, Gustiné Rakyat Cendol Dawet yang masih menggelegar suaranya pada usianya yang ke-53.
Tetapi dalam kesendirian di rumah, kita sebenarnya juga masih bisa menggelorakan tak kitak-kitak, tak kitak-kitak, cendol dawet dari peralatan komputer kita.
Suka masak
”Saya memang suka masak,” kata Didi Kempot kepada saya dan istri saya ketika dua malam kami menginap di rumahnya di lereng jurang di sebuah desa di Ngawi, Madiun, awal Juli 2005.
”Saya masakkan sayur pare, ya, mumpung manten anyar, saya bikinkan minuman Redoxon ya?” kata Didi Kempot ketika pagi hari kami bangun tidur pagi-pagi. Semua dilakukan Didi Kempot sendiri, bukan pembantu atau istrinya.
Di Ngawi waktu itu, Didi Kempot tinggal benar-benar di bawah tebing jurang di pinggir jalan desa. Rumahnya besar, jauh di bawah jalan desa. Sementara kami, saya dan istri, dijamu menginap di vila khusus untuk tetamunya, di atas bibir jurang.
Jika kami membuka jendela? Terlihat pemandangan indah Gunung Lawu dari kejauhan dan kehijauan pepohonan. Kami berbicara, wawancara, dari petang sampai larut dini hari di rumahnya di Ngawi. Juga, disambung bicara di meja makan.
Baca juga: Didi Kempot, Legenda yang Hidup Dua Kali
Ketika main di Hotel Santika Yogyakarta, beberapa tahun kemudian, Didi Kempot sempat menyapa kami seusai konser. ”Eh, bagaimana sudah punya momongan?”
”Mas Mamiek baru saja meninggal, kena jantung,” katanya lagi. Mamiek Prakosa, yang dia maksud, adalah seniman dan pelawak yang jauh lebih dulu terkenal ketimbang Didi Kempot. Mamiek Prakosa adalah kakak Didi Kempot. Mereka memang keluarga seniman. Ayahnya pun pelawak terkenal, Ranto Eddy Gudel.
Kenapa Didi Prasetyo, kemudian nama yang dipakai kok Didi Kempot? Padahal pipi sekarang kembung? Pertanyaan ini muncul dalam sebuah talkshow di televisi. Si penanya, presenter Andy Noya, akhir Desember 2019.
”Kempot itu nama kami ketika mengamen,” kata Didi Kempot. Singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar. Dan dulu memang di Jakarta, Didi Kempot mengamen di pinggir jalanan di trotoar Slipi, dekat Bundaran Slipi, Jakarta Barat. Hidup di kontrakan supersederhana, di pinggir kuburan di Slipi sekitar 40 tahun silam.
”Kalau show di Jakarta selalu menginap di kamar yang sama, di tingkat yang sama di Hotel Ibis, Slipi,” kata Didi Kempot, kepada saya tahun 2005.
Dia selalu menyewa kamar yang itu-itu juga, yang jendelanya bisa memandang ke trotoar, tempat dia dulu setiap hari mengamen 40 tahun silam. Dia selalu memandang ke bawah, tempat dulu dia benar-benar jadi ”orang bawah” yang penuh dengan kisah putus cinta, putus pacar, dan ditinggal pujaan.
”Saya sempat membayar utang saya kepada penjual warung langganan kami di Slipi,” kata Didi Kempot. Setelah terkenal, ibu penjual warung itu pun sempat di-samperin Didi seraya ”membayar utang lamanya” semasa mengamen. Lebih kurang Rp 15.000 utangnya dulu….
Pengamen sukses, Gustiné Wong Ambyar, Gustiné Rakyat Cendol Dawet, itu sudah tiada. Sudah menghadap Gustinya yang lebih tinggi lagi. Gusti yang menciptakan hidupnya, hidup kita semua, Sang Maha Pencipta. Sugeng tindak, Mas Didi.
(Jimmy S Harianto, Wartawan Kompas 1975-2012, Tinggal di Jakarta)