Menanam Benih Keindahan
Ketika lebih dari 200.000 turis setiap tahun menikmati keindahan Jatiluwih, ia tak hanya mereguk pemandangan sekala, tetapi juga desir spiritual yang kuat mengalir dari hulu setiap petak sawah.
Apakah seorang petani bekerja untuk keindahan? Jawaban pertama-tamanya sudah pasti ”tidak”.
Para petani bekerja atas dasar naluri mempertahankan hidup dengan menekuni tradisi bercocok tanam.
Para petani di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, menciptakan sawah berundak (terasering) sebagai bagian dari metode konservasi agar air tertampung di petak-petak sawah. Air itulah yang kemudian dikelola dengan sistem subak, sebuah sistem tradisional untuk pengaturan musim tanam, panen, dan masa jeda pertanian.
Ketika UNESCO meresmikan daerah itu sebagai warisan budaya dunia tahun 2012, banyak hati dan mata terbuka, bahwa Jatiluwih memiliki keindahan tiada tara. Selain bentang pemandangan sawah seluas 636 hektar yang bersusun-susun dan melenggang-lenggok berlatar Gunung Batukaru, di dalamnya ”terpendam” warisan tradisional bernama subak.
Subak tak hanya berupa sistem pengaturan pengairan dan musim tanam yang mewadahi duniasekala (nyata), tetapi juga menganut sistem pemujaan niskala (spiritual) yang berhulu pada pura subak.
Jadi, ketika lebih dari 200.000 turis setiap tahun menikmati keindahan Jatiluwih, ia tak hanya mereguk pemandangansekala, tetapi juga desir spiritual yang kuat mengalir dari hulu setiap petak sawah. Di sana, para petani membangun pelinggih (tempat suci) untuk memuja Dewi Danu, sebagai pemberi kesuburan lewat keberadaan air.
Dalam pemandangan sekala, Anda bisa menyaksikan padi-padi jenis lokal ditanam di sini secara massal. Tentu saja itu merupakan pemandangan langka, terutama pasca ”ideologi” revolusi hijau diberlakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
Para petani Jatiluwih pada mulanya tidak pernah memikirkan bahwa petak sawah berundak-undak yang mereka ”ciptakan” akan menjadi keindahan yang menarik ratusan ribu turis.
”Sawah-sawah diciptakan untuk memuliakan kehidupan, bukan mula-mula adalah keindahan,” demikian selalu kata perupa Made Wianta di saat-saat obrolan menyangkut asal mula kesenian. Made Wianta adalah seniman jebolan ISI Yogyakarta asal Desa Apuan, Tabanan, yang rumahnya tak jauh dari Dewa Jatiluwih.
Baca juga : Jalan Keluar Virtual
Jatiluwih adalah ilustrasi paling menarik untuk mengatakan bahwa seni sering kali bersifat fungsional. Para petani di Jatiluwih tak pernah berpikir bahwa sawah-sawah yang mereka garap dengan kesabaran melebihi tetes air di atas batu itu akan melahirkan keindahan bagi para pengelola industri pariwisata.
Bahkan, UNESCO ketika menetapkan subak sebagai warisan budaya dunia, di mana Jatiluwih ada di dalamnya, (mungkin) tak pernah berpikir bahwa situs itu akan menjadi destinasi wisata.
Pertimbangan pertama-tamanya, Jatiluwih adalah situs pewarisan budaya leluhur yang perlu dijaga eksistensinya. Penjagaan dan pelestarian dibutuhkan sebagai tindakan menginterupsi ancaman kehancuran atau bahkan kepunahan warisan yang tak ternilai harganya.
Ketika hamparan sawah memberi kesan indah, hening, sejuk, dan membangkitkan sensasi kedamaian sebagaimana karya seni, pertanyaannya adalah apakah para petani itu seniman?
Dalam pendefinisian modern, tentu saja para petani itu tidak dianggap sebagai seniman. Mereka (dianggap) tak memiliki kualifikasi sebagai seorang seniman karena seniman (harus) menghasilkan karya, seperti lukisan, patung, musik, tari, atau sastra. Karena para petani juga menghasilkan keindahan, setidaknya bagi para wisatawan, istilah lokal yang bisa digunakan untuk menyebut mereka adalah undagi.
Undagi sesungguhnya arsitek tradisional yang tidak saja menguasai rancang bangun sebuah bangunan, tetapi lebih-lebih seorang ahli agama, seni, adat, dan budaya.
Baca juga : Para Dokter yang Mulia
Agar bisa mendirikan sebuah bangunan di suatu tempat, seorang undagi harus memperhitungkan fungsi, karakteristik ruang, filosofi, serta ajaran-ajaran sebagaimana disuratkan dalam kitab-kitab lokal, seperti Asta Kosala Kosali. Ia juga haruslah seorang tokoh panutan dalam berperilaku dan selalu mengedepankan moral etik sebagai manusia beradab.
Sesungguhnya orang-orang seperti I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978) atau Leonardo da Vinci (1452-1519), yang lebih dikenal sebagai pelukis, adalah para undagi yang menguasai banyak bidang keilmuan. Lempad, selain pelukis, adalah juga seorang arsitek dan pematung yang karya-karyanya monumental. Jangan lupa, ia juga seorang petani di masa lalu.
Leonardo da Vinci, selain melukis ”The Last Supper” dan ”Mona Lisa”, dikenal sebagai pembuat peta (kartografi), teknokrat, serta perancang teknologi perang. Jangan lupa, dia juga seorang tukang kayu.
Lempad dan Leonardo, meski hidup pada zaman berbeda, sebagaimana juga para petani di Desa Jatiluwih, tidak pernah mengungkung diri mereka ke dalam definisi seni atau seniman, yang kian hari kian mengalami penyempitan. Penyempitan itu terjadi tak lain karena merebaknya arus spesifikasi terhadap profesi.
Seniman tidak lagi dinilai sebatas jalan hidup, tetapi sebuah profesi yang menjanjikan jaminan kehidupan yang ”lebih baik”. Justru ketika wilayah kerja kesenian dipersempit, ia telah ”mengubur” dirinya ke dalam lorong kreativitas yang buntu.
Koreografer Eko Supriyanto dalam proyek-proyek tarinya hampir selalu memilih seniman-seniman lokal. Sebutlah untuk proyek seninya di Jailolo, Halmahera Barat. Eko memilih para ”penari” lokal untuk koreografi ”Cry Jailolo” dan ”Balabala”.
”Tubuh para penari lokal itu bukan hanya gerak, tetapi mengandung kode-kode budaya di dalamnya. Makanya, ketika mereka meliuk, liukannya adalah bahasa yang sangat otentik,” kata Eko.
Baca juga : Tangan Terulur Hati yang Memeluk
Ilustrasi lainnya, koreografer Ktut Rina yang sejak dahulu sampai sekarang tetap memilih para seniman dari Banjar Teges Kanginan, Ubud, Bali, untuk garapan-garapan tari kecak. Pertimbangannya tak sebatas mempertahankan relasi sosial di antara sesama anggota banjar, tetapi lebih-lebih untuk mendapatkan keindahan tubuh yang otentik. ”Emosinya sudah nyambung,” kata Rina.
Lempad dan Leonardo berada pada titik berangkat yang berbeda dengan Eko dan Rina. Lempad dan Leonardo berangkat dari kecendekiaan lokal untuk kemudian mendapatkan predikat sebagai seorang seniman mumpuni.
Eko dan Rina sama-sama berangkat dari kutub spesifikasi seni, tetapi kemudian meluas mengejar kecendekiaan lokal. Pada akhirnya, mereka menemukan kesenian berada di antara kecendekiaan dan spirit kultural yang tersemai di petak-petak sawah para petani.
Kasus berbeda bisa kita temukan di kota Taierzhuang, Provinsi Shandong, China. Kota tua di mana filsuf Confucius dilahirkan ini sebenarnya sudah musnah tahun 1938 ketika terjadi perang antara China dan Jepang. Akan tetapi, pemerintah setempat kemudian melakukan rekonstruksi tahun 2008 untuk membangun kota sebagaimana aslinya.
Rekonstruksi itu memiliki tujuan utama menjadikan kota ”tua” itu sebagai destinasi wisata yang mengesankan. Kanal sepanjang 1.750 kilometer yang membelah kota itu dipergunakan sebagai medium utama bagi para wisatawan menyaksikan ”ketuaan” kota tersebut.
Pembawa acara program Route Awakening, Jonathan Clements, dalam kanal NatGeo People mengatakan sangat terkesan dengan cara orang-orang China menghidupkan kotanya kembali. ”Cuma satu yang perlu dicatat, kota ini tak benar-benar tua. Ia dibangun kembali tahun 2008 setelah sebelumnya hancur oleh perang,” katanya.
Baca juga : Terjebak dalam Tubuh yang Asing
Jatiluwih dan Taierzhuang kini sama-sama menjadi tujuan utama para wisatawan untuk menyaksikan keindahan. Bukan tidak mungkin, karena promosinya yang gencar, termasuk peliputan oleh jaringan NatGeo People, jumlah wisatawan yang mengunjungi Taierzhuang jauh lebih banyak dibandingkan Jatiluwih.
Pada posisi seperti inilah keduanya menjadi berbeda. Jatiluwih tak pernah diciptakan untuk mendatangkan wisatawan. Ia dihuni oleh para petani yang memiliki dedikasi terhadap kehidupannya sebagai petani dan kemudian bekerja atas dasar mempertahankan nalurinya mewariskan kebudayaan bercocok tanam kepada anak-cucu mereka kelak. Kesadaran mewariskan nilai-nilai yang mengandung moral etik itulah yang kini terus menjadi roh hidup di Jatiluwih.
Entah kebetulan atau tidak, secara etimologis ”jatiluwih” memiliki makna sesuatu yang benar-benar indah. Harap dicatat, kata ”indah” tidak sebatas pengertian keindahan yang kasatmata, tetapi keindahan yang muncul dalam perilaku hidup sehari-hari.
Seharusnya begitulah keindahan sejati dibenihkan. Taierzhuang akan terus hidup sebagai destinasi wisata yang mengesankan dan mungkin memanjakan mata, tetapi ia telah kehilangan sebagian besar peradaban yang dibangun berabad-abad silam.
Lagi-lagi saya ketemu dengan konsep Baudrillard tentang simulakra. Taierzhuang adalah simulakra, sesuatu yang dibangun seolah-olah tua. Bahkan mungkin telah dianggap tua karena toh UNESCO juga menetapkan kota dan kanalnya sebagai warisan budaya dunia.
Mau memilih pergi ke mana hari ini?