Selama hampir lima tahun ini saya setiap hari melewati kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. Saya seorang akuntan dan terus terang saya mengagumi perhimpunan profesi kedokteran.
Oleh
DR SAMSURIDJAL DJAUZI
·5 menit baca
Selama hampir lima tahun ini saya setiap hari melewati kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta. Saya seorang akuntan dan terus terang saya mengagumi perhimpunan profesi kedokteran. Meski gedungnya sederhana, menurut saya, IDI dekat dengan masyarakat dan relatif merupakan organisasi profesi yang solid.
Meski ada riak-riak kecil, termasuk ketika muktamar, biasanya setelah selesai kepengurusan akan berjalan dengan tenang. Saya pernah mendapat informasi bahwa gedung pengurus besar IDI merupakan sumbangan beberapa orang senior pendiri IDI. Ternyata memang sejak berdirinya IDI dipelopori oleh para senior yang sedia berkorban.
Setiap organisasi profesi tentu mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi, menjaga harkat profesi, serta mengamalkan etika. Menurut saya, IDI berhasil menjaga organisasi sehingga tampak dari luar sebagai organisasi profesi yang bersatu. IDI juga telah berkontribusi dalam pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang kesehatan.
IDI telah membantu pemerintah memeratakan layanan kesehatan primer. Masyarakat baik di kota besar maupun pelosok tanah air merasa keberadaan puskesmas amat bermanfaat bagi mereka.
Adik saya dokter spesialis bedah tulang. Sekarang dia amat sibuk di rumah sakit di kota besar. Namun, sebelumnya dia menjadi kepala puskesmas di sebuah pulau kecil dekat Pulau Kalimantan. Dia bertugas selama tiga tahun dan tampaknya dia menikmati masa bertugas di daerah terpencil.
Dia tidak aktif menjadi pengurus IDI, tetapi dia mencintai IDI dan menyatakan jika ada kesulitan, dokter akan minta pertolongan kepada IDI. Menurut dia, para pengurus IDI adalah orang yang mau mengorbankan kepentingan pribadi untuk kemajuan organisasi. Dia menaruh hormat kepada pengurus IDI, baik sewaktu di daerah maupun pada pengurus pusat.
Dokter mungkin dapat menjelaskan sedikit peran IDI dalam membina anggota IDI yang puluhan ribu itu serta peran IDI dalam pembangunan kesehatan. Terima kasih atas penjelasan Dokter.
M di J
Anda benar, jumlah dokter di Indonesia cukup banyak. Pada akhir tahun 2019, menurut Ketua IDI, jumlah dokter umum sekitar 138.000 dan dokter spesialis 30.000 orang. Setiap tahun sekitar 10.000 dokter baru dihasilkan. Namun, jumlah itu belumlah mencukupi untuk penduduk kita yang berjumlah 260 juta lebih, apalagi wilayah kita terdiri atas ribuan pulau. Karena itu, tidaklah mudah untuk menyediakan layanan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tahun 1970 ada kewajiban bagi dokter umum untuk bertugas di daerah, termasuk di daerah terpencil. Kewajiban itu kemudian dihapuskan, tetapi semangat para dokter muda untuk mengabdi di daerah terpencil masih tinggi. Banyak dokter yang sejak kecil tinggal dan sekolah di kota besar, setelah lulus dokter, bertugas di daerah terpencil. Mereka umumnya merasa mendapat kesempatan mengenal tanah air lebih dalam dan merasakan keramahan masyarakat setempat.
Tinggal di daerah terpencil sekitar tiga tahun juga merupakan pengalaman berharga untuk bertambah matang dan mandiri. Saya pernah menjadi Ketua IDI Cabang Samarinda tahun 1978 dan menjadi Sekretaris Jenderal IDI tahun 1988. Waktu itu ketuanya Dr Azrul Azwar dan wakil ketua (ketua terpilih) almarhum dr Kartono Mohamad. IDI waktu itu tentu belum sebesar sekarang, tetapi cukup banyak pemikiran IDI yang disumbangkan untuk pemerintah di bidang keluarga berencana, pelayanan kesehatan primer, perumahsakitan, dan pembiayaan kesehatan.
Hubungan IDI dengan pemerintah pada umumnya baik. Saya masih ingat sekitar tahun 1988 setelah muktamar, pengurus IDI diterima Presiden Soeharto. Pengurus IDI ditemani menteri kesehatan waktu itu, Dr Adhyatma, MPH. Pertemuan berjalan hampir satu jam. Dr. Azrul melaporkan program IDI dan Bapak Presiden menghargai program itu dan berjanji membantu pelaksanaan program tersebut.
Namun, tidak selalu pemikiran IDI sejalan dengan pemerintah. Ketika dicanangkan zero growth pegawai negeri pada era Presiden Soeharto, IDI menyatakan bahwa jika kebijakan itu dilaksanakan untuk dokter atau tenaga kesehatan, pemerataan pelayanan kesehatan yang kita inginkan bersama akan terhambat.
Ketika IDI diminta pendapatnya pada pembahasan rencana undang-undang hak konsumen, IDI menjelaskan bahwa layanan kedokteran tidaklah sama dengan layanan bisnis. Dokter tidak menjanjikan hasil kepada pasien, tetapi menjanjikan usaha yang baik. Karena itu, IDI berkeberatan jika layanan kedokteran dimasukkan ke dalam lingkup UU hak konsumen. Layanan kedokteran memang kemudian dimasukkan ke dalam UU praktik kedokteran. UU jaminan sosial juga cukup lama dibahas di DPR dan IDI memberi masukan sehingga kemudian UU itu diundangkan.
Salah satu ciri organisasi profesi adalah otonomi. Organisasi profesi berusaha mengeluarkan pendapat sesuai dengan profesinya tanpa terlalu dipengaruhi hal-hal lain, seperti politik. Melalui organisasi profesi dunia kedokteran, kita dikenal oleh dunia luar. IDI menjadi anggota Medical Association of South East Asian Countries (MASEAN), bahkan pernah menjadi Ketua MASEAN. IDI juga menjadi anggota organisasi kedokteran sedunia (WMA) dan Prof. Azrul Azwar juga pernah menjadi Ketua WMA. Dengan jumlah anggota yang mencapai 168.000, tentulah banyak yang harus dikerjakan IDI.
Untunglah sekarang sudah ada Konsil Kedokteran Indonesia, lembaga yang menjaga mutu pendidikan dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia. Semula pemikiran mengenai konsil ini masih terbatas pada lembaga yang meregistrasi dokter di Indonesia. Saya masih ingat Prof Sjamsuhidajat yang banyak mempelajari konsil kedokteran di luar negeri menggagas agar lembaga serupa perlu diadakan di Indonesia. Dalam perkembangan, ternyata tugas konsil kedokteran menjadi lebih luas dan kewenangannya juga semakin berat.
Teman-teman IDI di daerah tentu banyak menangani masalah-masalah dokter yang bertugas di daerah terpencil. Mencoba menolong mereka jika ada kesulitan. Kita tentu ingat bagaimana seorang dokter yang sakit di suatu pulau terpencil di selatan Maluku diupayakan untuk mendapat pertolongan medis yang baik. IDI juga mengurus pajak dokter. Kalangan di luar kedokteran sering mengira jika dokter pasiennya banyak, tentu penghasilannya besar. Mereka tak pernah membayangkan bahwa sebagian pasien meminta keringanan bahkan pembebasan biaya.
Bahkan cukup banyak dokter setelah menolong pasien membekali pasien dengan uang agar pasien tersebut dapat membeli obat. Pada umumnya memang kami para dokter bangga menjadi anggota IDI. Sudah tentu dalam perkembangannya IDI juga akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, saya yakin bahwa sebagai organisasi profesi, kecintaan IDI kepada negara dan masyarakat Indonesia adalah nomor satu.
Riwayat para pendahulu IDI, yang sebagian juga terjun sebagai pejuang kemerdekaan, akan tetap menginspirasi IDI. Masih banyak masalah kesehatan yang memerlukan perhatian kita: TBC, malaria, HIV, dan sekarang Covid-19. Sebagai organisasi profesi kedokteran, tentulah IDI ingin menyumbangkan pemikiran untuk meningkatkan kesehatan masyarakat kita.