Jangan lagi ada anomali relasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi wabah korona. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, karena daerah itu daerahnya pusat, dan pusat itu pusatnya daerah.
Oleh
Djohermansyah Djohan
·4 menit baca
Dulu kalau ketemu kawan-kawan, saya suka ditanya soal hubungan Pancasila dan UUD 1945. Saya selalu jawab: ”Hubungan keduanya sih baik- baik saja. Cuma yang kurang baik peraturan turunannya”.
Amanah Pancasila dan konstitusi kerap tidak bersua di dalam undang- undang (UU) yang ada. Zaman pandemi Covid-19 yang mematikan ini, semua daerah provinsi kita (34 provinsi) telah dilandanya. Saya kini ditanya perkara relasi pusat dan daerah dalam menanggulangi wabah korona.
Dengan gamblang saya menjawab: ”Hubungan keduanya kurang baik-baik saja.” Paling tidak tampak ada anomali pemda (Kompas, 18/4/2020). Padahal, pemerintah pusat yang dipimpin presiden dan pemerintah daerah yang dipimpin gubernur, bupati, dan wali kota di negara kesatuan seharusnya solid dan bahu-membahu memerangi pandemi. Bagaimana duduk perkaranya?
Konsep relasipemerintahan
Kuat dan lemahnya relasi atau hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sama antara suatu negara dan negara lain. Di negara yang bercorak federasi seperti Amerika Serikat, pemerintah federal lebih banyak menyerahkan penanganan operasional wabah korona kepada pemerintah negara bagian.
Sementara di negara kesatuan serupa Indonesia, penanggulangan bencana non-alam Covid-19 ini yang dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tanggal 13 April telah ditetapkan sebagai bencana nasional, penanggulangannya dipegang pemerintah pusat. Manajemen bencana langsung di bawah kendali Presiden Joko Widodo dibantu Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Dengan gamblang saya menjawab: Hubungan keduanya kurang baik-baik saja.
Di tingkat pusat gugus tugas diketuai Kepala BNPB dan di tingkat daerah ketuanya dijabat oleh kepala daerah. Meskipun begitu, gubernur, bupati, dan wali kota dalam menetapkan kebijakan di daerah masing-masing harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat. Jadi, posisi kepala daerah selaku ketua gugus tugas merupakan perpanjangan tangan (verlengstuk) pemerintah pusat.
Jika dicermati pembagian urusan pemerintahan pusat dan daerah bidang sosial di dalam lampiran UU Pemda No 23/2014, yang menganut prinsip ”clear cutting”, dinyatakan bahwa bagi korban bencana nasional, maka penyediaan kebutuhan dasarnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dalam penanggulangan wabah korona sangat berat, tidak hanya menyangkut pengaturan dan pengorganisasian, bahkan juga penyediaan kebutuhan dasar berjuta-juta korban terdampak. APBN tentu tidak akan kuat. Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan BNPB tanpa dukungan pemerintahan daerah dengan segenap sumber dayanya tidak akan berdaya.
Multilevel pemerintahan
Pemerintahan sejatinya bukan hanya perkara norma, kekuasaan, dan kewenangan, melainkan juga soal etika. Kepatutan, kepantasan, kemaslahatan, dan kebaikan bagi warga bangsa dari Sabang sampai Merauke mesti lebih diutamakan.
Pemerintahan daerah tidak boleh tinggal diam, lalai, atau abai sekalipun tidak punya wewenang. Faktanya selama ini sejak awal 2020 banyak gubernur, bupati, dan wali kota yang sudah proaktif, cepat tanggap, dan kreatif menanggulangi wabah korona, bahkan sebelum pemerintah pusat sempat menetapkan kebijakan.
Mereka pun cukup kooperatif, diperintahkan merealokasi APBD mereka rela, ditunda bayar dana bagi hasil (DBH) mereka menerima dengan pasrah, dan digeser pelaksanaan pilkada mereka menurut saja (270 daerah).
Kalau ada gubernur, bupati, dan wali kota yang ”kemajon” bertindak seperti bikin lockdown lokal atau lambat merespons arahan pemerintah pusat merealokasi APBD, jumlahnya juga kecil saja. Itu pun karena hambatan komunikasi, maklumlah wilayah Indonesia ini luasnya luar biasa, banyak remote area dan bersifat kepulauan pula.
Kekurangsigapan pemerintah daerah bergerak sebetulnya juga karena susunan pemerintahan kita yang multilevel, ada pemerintahan pusat (1), pemerintahan provinsi (34), pemerintahan kabupaten (415), pemerintahan kota (93), hingga pemerintahan desa (74.910). Koordinasi, sinkronisasi, dan sinergitas tidak bisa dengan cepat dijalankan karena panjangnya mata rantai dan intersection pemerintahan yang kompleks.
Kepiawaian dan ketangkasan kepemimpinan ”di tingkat atas” menjadi kunci. Cara persuasi perlu sekali, pedoman-pedoman dan petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat jangan terlambat diturunkan ke daerah.
Kepiawaian dan ketangkasan kepemimpinan ’di tingkat atas’ menjadi kunci.
Merangkul pemerintah daerah yang mengetahui persis keadaan lapangan dengan menyemangati, menampung aspirasi, dan memberikan insentif kepada mereka hendaknya lebih diutamakan pemerintah pusat. Dialog presiden dan wakil presiden dengan kepala daerah sebagai ketua satgas melalui telekonferensi perlu diintensifkan sehingga arahan langsung bisa diterima dan ditindaklanjuti oleh segenap jajaran pemda serta masyarakat.
Pendekatan kolaboratif pemerintahan layak diadopsi. Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan pemerintah desa bersama-sama ”mengeroyok” wabah dengan memberikan bantuan sosial kepada korban terdampak wabah korona sesuai kemampuan masing-masing pada masa PSBB.
Pendek kata, jangan lagi ada anomali relasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi wabah korona. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing karena daerah itu daerahnya pusat, dan pusat itu pusatnya daerah.
(Djohermansyah Djohan Guru Besar IPDN; Pendiri i-OTDA; Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri RI (2010-2014))