Aneksasi wilayah Palestina secara ”de facto”sudah terjadi bertahun-tahun. Israel akan menerapkan hukumnya di wilayah itu. Dunia harus bertindak mencegahnya.
Oleh
Editor Kompas
·2 menit baca
Aneksasi wilayah Palestina secara de facto sudah terjadi bertahun-tahun. Israel akan menerapkan hukumnya di wilayah itu. Dunia harus bertindak mencegahnya.
Perkembangan terbaru dalam konflik Palestina-Israel ini muncul setelah terbentuknya pemerintahan koalisi bersama Benjamin Netanyahu (Partai Likud) dan Benny Gantz (Gerakan Biru-Putih). Dua politisi utama Israel itu dalam setahun terakhir bersaing memperebutkan dukungan politik lewat tiga kali pemilu, dan tiga kali gagal membuahkan pemerintahan di Israel. Kebuntuan politik itu berakhir pada 20 April saat keduanya bersepakat membentuk pemerintahan bersama.
Keberadaan pemerintahan bersama di Israel kian kuat dan sah setelah pada 6 Mei dan 7 Mei Mahkamah Agung Israel dan parlemen menyetujui serta mendukung pemerintahan baru itu. Sesuai kesepakatan, Netanyahu dan Gantz bergantian selama tiga tahun ke depan menjadi perdana menteri (PM), masing-masing 18 bulan. Netanyahu memimpin 18 bulan pertama, Gantz melanjutkan dalam 18 bulan berikutnya.
Pada 13 Mei ini, keduanya akan diambil sumpah. Sejak itulah pemerintahan bersama di Israel bekerja. Salah satu program prioritas Netanyahu-Gantz adalah perluasan kedaulatan Israel ke wilayah permukiman Yahudi di Tepi Barat lewat pem- berlakuan hukum Israel. Sejak merebut serta menduduki Tepi Barat dan Jerusalem Timur dalam ”Perang Enam Hari” tahun 1967, Israel terus membangun permukiman Yahudi.
Langkah itu dikecam keras masyarakat internasional dan dinyatakan sebagai tindakan ilegal. Namun, Israel tutup mata dan tutup telinga. Kini, aneksasi de facto selama bertahun-tahun atas wilayah Palestina akan diperkokoh dengan aneksasi de jure. Dua hal itu akan berjalan secara simultan.
Seperti diberitakan harian ini, Jumat (8/5/2020), Israel mengumumkan kepastian rencana pembangunan 7.000 rumah di permukiman Efrat, Tepi Barat, yang akan diberi nama Givat Eitam. Rencana ini sejalan dengan proposal yang diajukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Februari lalu. Proposal itu, antara lain, menawarkan skema penyerahan 30 persen wilayah Tepi Barat di bawah kedaulatan Israel. Dalam pidato, bulan lalu, Netanyahu menegaskan akan mengeksekusi pelaksanaan skema itu pada musim panas ini. Mumpung Trump masih berkuasa di AS.
Langkah Netanyahu itu membahayakan banyak hal, mulai dari prospek negara Palestina hingga stabilitas keamanan dan perdamaian di Timur Tengah. Tepi Barat adalah wilayah yang dicita-citakan menjadi bagian wilayah negara Palestina dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Jika Netanyahu bersikukuh dengan rencananya, Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menyatakan akan memutus seluruh kesepakatan dengan Israel, termasuk dalam kerja sama keamanan. Secara tersirat, Abbas seolah ingin memperingatkan Israel agar siap memikul risiko jika nanti perlawanan konfrontatif pejuang Palestina meningkat. Mencermati bahaya yang diakibatkan, dunia harus berupaya sekuat tenaga mencegah langkah Israel tersebut.