Stres Psikologis Petugas Kesehatan
Pandemi Covid-19 benar-benar luar biasa menghadirkan tantangan bagi kita semua. Secara khusus, petugas kesehatan menghadapi tantangan sangat besar untuk dapat memerangi pandemi.
Pandemi Covid-19 benar-benar luar biasa menghadirkan tantangan bagi kita semua. Secara khusus, petugas kesehatan menghadapi tantangan sangat besar untuk dapat memerangi pandemi.
Mereka di garis paling depan, berkontak langsung memeriksa warga masyarakat dan merawat pasien di tengah berbagai keterbatasan sarana-prasarana. Untuk meminimalkan penularan, banyak dari petugas memutuskan tidak pulang ke rumah, dan mencari sela waktu istirahat di tempat menginap yang juga serba terbatas.
Lebih memprihatinkan lagi, kita membaca berita-berita mengenai ditolaknya petugas kesehatan untuk kembali ke tempat tinggal mereka. Bahkan, ada yang meninggal akibat Covid-19 dan jenazahnya sempat ditolak untuk dikebumikan oleh warga setempat.
Belajar dari wabah SARS Bagaimanakah setelah pandemi nanti berakhir? Apa yang perlu kita antisipasi dan persiapkan? Mungkin kita dapat belajar dari apa yang terjadi dan dilakukan terkait wabah severe acute respiratory syndrome (SARS). Saat wabah SARS, lebih dari 8.000 orang di 29 negara terkena dalam jangka waktu tujuh bulan.
Di Hong Kong saja tercatat 1.755 orang terinfeksi, dengan 299 di antaranya meninggal. Saya menemukan laporan penelitian dari Lee dkk (2005) mengenai stigma yang dialami para penghuni kompleks hunian di Hong Kong, tempat SARS pertama kali ditemukan. Juga penelitian Lee dkk (peneliti lain lagi, 2007), dilakukan di Hong Kong juga, mengenai stres psikologis saat wabah dan satu tahun setelah wabah.
Penyakit infeksi ternyata tidak hanya mengancam nyawa, tetapi juga menghadirkan berbagai persoalan psikis pada yang terkena ataupun masyarakat umum. Gejala sisa yang terekam adalah tingkat stres yang tinggi pada yang terkena, disertai dengan kesulitan tidur, mood depresif, keluh kesah, mimpi buruk, dan kesulitan berkonsentrasi. Psikosis akut juga ditemukan pada beberapa pasien.
Studi literatur yang dilakukan Lee dan rekannya ternyata juga menemukan dampak jangka panjang dari penyakit infeksi. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa setelah berlalunya wabah, ternyata yang terkena infeksi masih menunjukkan gejala-gejala kelelahan dan stres pascatrauma.
Lee dkk (2007) melaporkan studi mereka saat wabah SARS di tahun 2003, dan satu tahun setelahnya. Di tahun 2003, tim peneliti menyebarkan kuesioner untuk mengukur stres (perceived stress scale, dengan 10 item) pada mereka yang terinfeksi, terdiri dari kelompok masyarakat umum ataupun pekerja kesehatan (total berjumlah 79 orang).
Satu tahun berikutnya tim peneliti menyebarkan kuesioner yang sama di rumah sakit yang sama, juga pada pekerja kesehatan dan pasien dari masyarakat umum (96 orang). Sebagai pembanding, kuesioner juga disebarkan pada kelompok kontrol yang tidak terinfeksi SARS. Satu tahun setelah wabah, dapat disimpulkan bahwa yang pernah terkena SARS tetap menunjukkan perasaan tertekan, dengan tingkat stres lebih tinggi daripada masyarakat umum.
Tingkat stres ternyata tidak lebih rendah daripada yang terpotret saat wabah. Di tahun 2004, yang pernah terkena SARS juga menunjukkan tingkat depresi, kecemasan, dan gejala-gejala pascatrauma. Perempuan menunjukkan penghayatan stres, depresi, dan kecemasan yang lebih tinggi daripada laki-laki.
Petugas garis depan
Pada saat wabah SARS di 2003, pekerja kesehatan yang terkena SARS menunjukkan tingkat stres yang sama tingginya dengan masyarakat umum yang terkena. Namun, setahun setelahnya, pekerja kesehatan menunjukkan tingkat stres, depresi, kecemasan, dan simtom pascatrauma yang justru lebih tinggi daripada masyarakat umum yang terkena.
Terkait tanda-tanda stres pascatrauma, dari petugas kesehatan ada 32 persen yang menunjukkan gejala intrusi (seperti mengalami kembali kejadian). Lalu sebanyak 20 persen menunjukkan penghindaran (misalnya menghindari lokasi terkena infeksi, tidak bersedia membahas pengalamannya), dan 22 persen menunjukkan kewaspadaan berlebih. Bahkan, lebih dari 90 persen dari petugas kesehatan yang diteliti menunjukkan kemungkinan mengalami gejala psikiatris seperti terpotret dari The General Health Questionnaire (GHQ).
Lee dkk (2007) juga melakukan studi paralel untuk mengecek tingkat stres dari pekerja kesehatan yang tidak terinfeksi SARS. Satu tahun setelah wabah, mereka yang tidak terinfeksi, tetapi ada di lingkungan kerja berisiko masih menunjukkan tingkat stres lebih rendah. Sementara itu, petugas kesehatan yang tidak terinfeksi dan ada di lingkungan rendah risiko menunjukkan tingkat stres terendah.
Temuan ini tentu mengkhawatirkan. Mengapa pekerja kesehatan yang terinfeksi menunjukkan gambaran stres dan masalah psikologis yang lebih tinggi daripada masyarakat umum yang terkena setelah wabah berakhir? Apakah saat wabah berlangsung, bagaimanapun perhatian pemerintah atau pengambil kebijakan dirasakan lebih besar, yang menjadi faktor protektif, lalu setelah wabah berakhir, pekerja kesehatan merasa lebih rentan lagi dan kurang terlindungi?
Apakah karena petugas kesehatan tahu mereka tetap ada dalam lingkungan berisiko untuk rentan terkena infeksi-infeksi lain? Apakah mereka kelelahan, tidak memiliki waktu yang cukup untuk beristirahat? Apakah mereka cemas tentang kesehatan diri dan penerimaan dari masyarakat, tetapi tidak dapat menghindar untuk tetap mencoba bekerja sebaik-baiknya?
Apa pun penjelasannya, ada implikasi psikologis jangka panjang dalam bentuk ”stres yang berkepanjangan atau tertunda” yang ternyata dialami pekerja kesehatan, yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Terkait dengan situasi di Indonesia, tak terbayangkan masalah yang dapat dialami petugas hingga jangka panjang apabila masyarakat terus melakukan tindakan tidak berterima kasih dan malah mengucilkan.
Marilah kita ikut menjaga kesehatan dan kesejahteraan para petugas kesehatan. Marilah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pekerja di garis depan. Bukan justru menjauhi, mendiskriminasi, dan melekatkan stigma kepada mereka.