Hari ini kita berada di bawah bayangan pandemi Covid-19. Tak perlu lama untuk menemukan orang lupa daratan. Beberapa kepala negara terkesan bersikap demikian. Mereka seolah tidak peduli terhadap keselamatan rakyatnya.
Oleh
Jean Couteau
·3 menit baca
Hari ini kita berada di bawah bayangan pandemi Covid-19. Tak perlu lama untuk menemukan orang lupa daratan. Beberapa kepala negara terkesan bersikap demikian. Mereka seolah tidak peduli terhadap keselamatan rakyatnya.
Misalnya, ada kepala negara yang berujar, ”Flu biasa.” Ada juga kepala negara yang mengancam memberondong warganya jika tidak mau turut penutupan wilayah (lockdown).
Bayangkan jika semua presiden begitu—untungnya tidak terjadi di Indonesia—bagaimana masyarakatnya? Gila juga. Merasa terinspirasi bisikan entah dari mana. Ada yang melihat dalam Covid-19 ini tangan dunia antah berantah.
Covid-19, kata seorang pengkhotbah, adalah tentara yang dikirim untuk memberantas kebatilan. Seolah-olah Tuhan perlu tentara dan Covid-19 memilih-milih korbannya. Namun, ada lebih aneh lagi. Di India, tersiar berita bahwa Covid-19 adalah ”avatar” (dewa) yang dikirim menjelma ke dunia untuk menghukum manusia yang gemar makan daging. Menarik, kan. Lalu, bagaimana mereka yang lama-lama mengharapkan Armageddon, kiamat, atau Kali Yuga. Pasti puas karena kini telah tiba momen yang lama dinanti-nantikan.
Apabila begitulah kaum ”spiritual” tertentu, bisa dibayangkan bagaimana reaksi orang biasa. Di situ, kebodohan atau reaksi paranoid tidak kenal batas. Misalnya, mendengar bahwa Bill Gates, orang terkaya sedunia, mau menyumbang sekian ratus juta dollar untuk pembuatan vaksin, langsung muncul gerakan penolakan. Mengapa? Oleh karena Bill Gates mau memasukkan cip untuk mengontrol otak kita. Itu baru paranoia antiorang kaya, antiteknologi.
Ada juga prasangka yang berbau klasik. Ketika laboratorium Israel mengumumkan telah menemukan vaksin, apa reaksi sejumlah orang? Itu tiada lain adalah ulah orang Yahudi. Mereka telah menciptakan Covid-19 agar dapat mengeruk keuntungan. Khas Yahudi, kan? Namun, kali ini orang Yahudi cukup beruntung, bukan mereka saja yang menjadi sasaran paranoia Covid-19.
Tak kurang teman-teman sependeritaan juga, yaitu orang yang sama-sama dituduh sebagai pembawa Covid-19: orang Afrika di China. Orang Jepang di Kuta. Orang China di Eropa dan Amerika. Orang bule-albinos di Afrika. Luar biasa, kan? Semua kena rasisme atau bersikap rasis ala Covid-19. Seolah-olah semua berada dalam persaudaraan lintas bangsa yang luar biasa: semua menuduh semua.
Semua kena rasisme atau bersikap rasis ala Covid-19.
Agar adil, harus mengaku ada juga yang menyembunyikan trompet keadilan sosial: Covid-19, katanya entah dibuat atau dimanipulasi oleh perusahaan-perusahaan besar farmasi. Jadi, musuhnya jelas, yang bersalah adalah ”kapital”, makhluk jahat tak berbentuk yang menyusupi semua. Yang berpendirian seperti itu biasanya adalah mereka yang telah membaca Marx seperti sejenis resep kuliner. Siap pakai meskipun belum tahu rasanya.
Tuduhan tidak terhenti di situ. Bukan semua diarahkan ke kapital atau ke ras. Negara-negara menjadi sasaran. Bendera-bendera di sini dipuja atau dimaki. Ada yang berkata: ”China sengaja menciptakan Covid-19 sebagai senjata biologis untuk meruntuhkan negara-negara Barat dan, dengan demikian, menegakkan imperiumnya di seluruh dunia—termasuk di Indonesia.
Yang lain menimpali: Covid-19 itu khas ulah CIA. AS menciptakan Covid-19 demi memperkokoh kuasanya di atas dunia. Dengan Covid-19, ”mereka” biasa divide impere. Trik lama kaum Nekolim.
Hati-hati, teman-teman pembaca. Mengapa saya menulis seperti di atas, dengan penuh sarkasme? Mengapa saya menyindir kecenderungan yang menurut saya tersirat atau tersurat di pers, media sosial, ataupun pergaulan sehari hari?
Oleh karena saya melihat betapa Covid-19 mempertajam kontradiksi-kontradiksi yang ada. Kontradiksi antara pusat kapitalisme baru, China, dan negara-negara induk kapitalisme lama. Kontradiksi antara mereka yang menumpuk kapital, orang kaya di satu pihak, dan mereka yang menuntut keadilan sosial. Kontradiksi antar-penganut Tuhan-Tuhan yang berbeda. Covid-19 mempertajam lagi kontradiksi itu.
Jangan membiarkan rasa ”kami” lawan ”mereka” terlampau mengacaukan pikiran kita. Kenyataan serba kompleks. Maka, jangan membiarkan virus korona merasuki pikiran dan jiwa kita.
Melihat besarnya musuh di udara yang memanas, atau pada virus yang merajalela, kini adalah saat untuk belajar dari sejarah, bukan untuk menjadi korbannya.