Demikian kata pendeta pada khotbah daring hari Minggu yang lalu. Saya yang mendengar sambil tiduran langsung bangkit sambil mengumpat dalam hati. Tenang?
Bagaimana saya bisa tenang? Usaha saya sedang mengalami kesusahan. Saya sudah tak ada pemasukan selama tiga bulan karena semua kontrak tak bisa dieksekusi. Saya sudah memotong gaji karyawan sebesar 50 persen agar bisa bertahan. Dari semua itu, saya tak tahu kapan pandemi ini akan berakhir.
Menerima
Karena saya tak tahu, saya sudah berpikir untuk menyudahi usaha saya ini. Beberapa hari setelah itu saya membuat sebuah sesi berbagi secara daring. Dalam sesi berbagi itu, seorang peserta menanyakan kepada saya mengapa susah sekali bagi dirinya untuk menerima kenyataan.
Kemudian saya menjawab. Tidak bisa menerima kenyataan sebaiknya dinikmati sampai pada suatu titik di mana Anda menyerah karena kelelahan atas ketidakmampuan menerima. Dengan begitu, pada saat Anda menyerah, Anda akan dapat menerima. Sebab, jika Anda sudah dapat menerima, Anda akan memiliki cara pandang baru terhadap keadaan Anda itu.
Menerima akan membuat Anda menjadi lebih tenang. Sikap menerima akan memampukan Anda menikmati harihari bahkan di saat segala sesuatu itu tak pasti. Menerima meringankan beban pikiran dan kekhawatiran Anda. Saya nyerocos memberi nasihat seperti seorang penasihat kehidupan yang ulung.
Pada suatu pagi, saat saya sedang memikirkan apa yang hendak saya tulis untuk kolom ini, nurani bawel saya berkicau tiba-tiba, ”Elo tulis aja kalau elo jago menasihati orang lain tetapi gak jago untuk menasihati diri sendiri.”
Kemudian saya teringat akan nasihat yang saya berikan kepada peserta dalam cerita saya di atas.
Saya malu sendiri. Sekarang saya sudah lelah sekali menghadapi keadaan ini. Saya sudah lelah dengan kebosanan karena tak bisa melakukan apa-apa selain berjemur, jalan kaki, minum obat, nonton drakor, masak, makan, tidur, dan membaca. Kegiatan itu berulang terus setiap hari.
Mau membuat penawaran ke klien, tak ada klien yang sekarang ini mau membuang uang. Mau makan ke luar rumah, tak ada rumah makan yang mengizinkan untuk makan di tempat, mau jalan-jalan keluar Jabodetabek, dilarang. Mau terbang ke kota lain, tak ada pesawat yang terbang. Bertemu dengan teman-teman hanya melalui pertemuan daring. Meski menyenangkan, terasa berbeda dengan bertemu secara fisik.
Rela
Akhirnya, setelah kebosanan yang sangat dan melelahkan itu, saya sampai pada suatu titik menerima. Jadi, benarlah jika kelelahan sudah mencapai puncaknya, saya menyerah. Maka, ketika saya menyerah, saya memilih untuk tidak menjadi lelah.
Jadi, kemampuan menerima itu diawali dengan kelelahan, kemudian melakukan pilihan untuk tidak lelah. Karena sejujurnya saya bisa saja memilih untuk terus lelah, untuk terus mengomel setiap saat, memilih untuk mengutuki tahun 2020 ini. Harus diakui apa yang saya katakan kepada peserta pada sesi berbagi di atas sekarang saya alami.
Menerima membuat saya menjadi tenang menghadapi keadaan ini. Menerima bahwa saya tak bisa mengubah keadaan ini. Dengan ketenangan itu, saya bisa mengurangi rasa bosan. Dengan ketenangan, saya bisa melihat bagaimana mencari jalan keluar agar usaha saya bisa bertahan. Kalaupun suatu hari usaha itu tak bisa dipertahankan, saya telah menerima tentang keadaan itu.
Menerima ternyata adalah sebuah cara melepaskan ikatan kepada kesengsaraan, melepaskan ikatan pada ketakutan akan kebangkrutan, ketakutan akan kematian, ketakutan akan kesepian. Melepaskan keterikatan dari ketakutan akan masa depan yang tak menentu.
Menerima itu membuat otak saya beristirahat dari berpikir yang macam-macam. Inilah salah satu faktor yang membuat saya kelelahan yang luar biasa. Berpikir ini dan itu, bagaimana kalau besok jadi begini dan jadi begitu?
Bagaimana kalau di tengah pandemi ini penyakit saya kumat dan membayangkan susahnya mendapat kamar di rumah sakit karena begitu banyak pasien yang terserang Covid-19 ini membutuhkan perawatan, bagaimana kalau uang saya terkuras habis?
Menerima keadaan sekarang ini, selain saya punya waktu yang banyak untuk membersihkan rumah, membuang segala sesuatu yang tak diperlukan lagi, juga membuat saya punya waktu banyak untuk mengevaluasi kehidupan saya yang acap kali sangat tak terencana.
Saya punya banyak waktu untuk menghubungi orang-orang yang sudah lama tak saya temui. Di masa kesusahan sekarang ini saya ditampar karena saya kurang memberi perhatian kepada begitu banyak orang. Tak seperti mereka yang memberi perhatian kepada saya melalui doa yang mereka panjatkan buat saya dan yang mengirimkan makanan tiada henti.
Menerima itu sebuah bentuk kerelaan. Dan kalau sudah rela, maka khotbah pendeta di atas untuk tenang sangat mungkin terjadi dan dapat saya rasakan. Saya mengalami sekarang ini bahwa ketenangan tak bisa datang dari rasa khawatir. Ketenangan hanya dapat muncul dari kerelaan.