Pandemi Covid-19 di Indonesia menyadarkan kita semua tentang pentingnya kemandirian dalam bidang kedokteran. Saya memahami bahwa dalam pengembangan ilmu, kita harus bekerja sama dengan negara mana pun.
Oleh
DR SAMSURIDJAL DJAUZI
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 di Indonesia menyadarkan kita semua tentang pentingnya kemandirian dalam bidang kedokteran. Saya memahami bahwa dalam pengembangan ilmu, kita harus bekerja sama dengan negara mana pun. Namun, untuk memelihara kesehatan rakyat, kita tidak boleh tergantung, apalagi menggantungkan diri, pada impor. Untunglah selama pandemi ini mulai ada inisiatif dan inovasi baru sehingga secara bertahap kita dapat memproduksi alat pelindung diri, ventilator, dan obat tradisional.
Kita juga menyaksikan kerja sama antarpusat penelitian untuk dapat memproduksi berbagai keperluan untuk penanggulangan Covid-19 di negeri kita. Lembaga Eijkman dan Biofarma mengembangkan kit untuk pemeriksaan laboratorium Covid-19 dengan pemeriksaan PCR. Beberapa pusat penelitian kabarnya juga mengembangkan media untuk transfer sampel yang sering kali habis di luar negeri karena banyaknya pemeriksaan di ratusan negara yang terinfeksi Covid-19. Sampai sekarang kebutuhan tersebut masih tinggi dan untunglah kita secara bertahap mampu meningkatkan pemeriksaan laboratorium dan ke depan juga diharapkan dapat memproduksi alat kedokteran serta obat bahkan vaksin Covid-19.
Saya seorang perawat yang sudah pensiun, dulu bekerja di rumah sakit rujukan. Saya merasa prihatin dengan banyaknya alat kedokteran sederhana yang kita gunakan di rumah sakit ternyata alat-alat tersebut merupakan barang impor, bukan buatan kita sendiri. Sebagai contoh, alat pengukur berat badan, tekanan darah, dan pengukur suhu saja kita masih banyak mengimpor. Kalau dilihat teknologinya, rasanya sederhana dan kebutuhannya tinggi.
Kenapa kita tak memproduksi sendiri? Saya dengar sebenarnya untuk masker kita sudah mampu memproduksi dalam jumlah besar bahkan sampai ekspor. Namun, karena kebutuhannya meningkat tajam, sempat terjadi kekurangan. Saya juga merasa prihatin seharusnya masker dapat dijadikan industri rumah tangga yang kualitasnya diawasi oleh perusahaan besar. Kenapa tidak dijalankan kerja sama antara perusahaan besar dengan industri kecil rumah tangga yang dapat saling menguntungkan? Jika masker bedah dianggap terlalu sulit diproduksi oleh rumah tangga, masker katun dua lapis seharusnya bisa.
Sekarang banyak rumah tangga yang memproduksi masker untuk masyarakat, tetapi belum mampu memasarkannya dengan baik. Perusahaan besar seperti Kimia Farma, yang memproduksi masker bedah, saya rasa dapat membantu industri rumah tangga untuk memproduksi masker nonmedis.
Saya mendengar negara dengan teknologi canggih seperti China masih mengembangkan industri rumah tangga, termasuk dalam produksi alat-alat penunjang telepon genggam. Apa yang menjadi halangan untuk membangun kemandirian dalam bidang kedokteran? Kita berulang-ulang mendengar pemerintah telah mendorong kemandirian tersebut. Terima kasih atas penjelasan Dokter.
J di S
Wah, saya seorang dokter klinik. Pemahaman saya tentang industri di bidang kedokteran terbatas. Saya akan mencoba menjawab sekadar yang saya tahu dan alami, berdasarkan yang terjadi di lapangan. Saya pernah berkunjung ke Laboratorium Hepatika Mataram sekitar 10 tahun lalu (sekarang PT Hepatika Mataram). Waktu itu saya terkesan ternyata di Mataram sudah dapat diproduksi tes deteksi cepat untuk hepatitis, malaria, HIV, dan juga dengue.
Bahkan tes cepat yang dikembangkan laboratorium ini pernah diuji di pusat penyakit infeksi di Belgia dengan hasil yang tak kalah dengan kit perusahaan multinasional ternama. Laboratorium ini bermula dari penelitian hepatitis yang dilakukan almarhum Prof Suwignyo dan kawan-kawan, bekerja sama dengan Jepang, kemudian berkembang dan digunakan untuk tes secara komersial.
Setahu saya pada tahun 2014 berbagai tes cepat sudah terdaftar di Kementerian Kesehatan. Apakah pemerintah pernah memakai produksi Mataram ini? Setahu saya pernah, terutama kit tes HIV. Kenapa PT Hepatika Mataram tidak mampu berkembang menjadi salah satu pemain tes cepat di Indonesia? Sudah tentu yang dapat menjelaskan adalah teman-teman di PT Hepatika Mataram.
Namun, secara garis besar banyak sekali penemuan lembaga penelitian kita tak dapat berkembang secara komersial karena sistem pengadaan barang di negara kita belum memprioritaskan untuk pembelian barang produksi dalam negeri. Sebenarnya kita sudah mendengar berkali-kali pemerintah meminta agar produksi dalam negeri harus diutamakan.
Di Malaysia, misalnya, dana anggaran belanja pemerintah hanya boleh dibelikan untuk produk dalam negeri. Jika tak ada, baru boleh produk luar negeri. Sistem pengadaan barang di negara kita mengharuskan pengusaha kecil dan pemula bersaing dengan perusahaan multinasional dalam lelang pengadaan barang.
PT Hepatika Mataram tentu tidak sebesar perusahaan raksasa Merck dan Boehringer. Jadi, bagaimana perusahaan ini akan bersaing dengan perusahaan raksasa tersebut? Mungkin kesadaran untuk memajukan kemandirian dalam bidang kesehatan dapat menyadarkan kita untuk meninjau kembali semua peraturan dan prosedur tentang penelitian, produksi, dan pemasaran barang-barang buatan negeri sendiri. Saya melihat sebenarnya sudah mulai berjalan kerja sama antara akademisi dan pengusaha, tetapi sekali lagi biasanya tantangannya adalah dalam pemasaran. Padahal, kebutuhan tinggi, tetapi masih didominasi oleh produk impor.
Saya amat setuju agar peralatan kedokteran sederhana diproduksi di Indonesia. Ke depan, alat-alat pemeliharaan kesehatan, seperti timbangan berat badan, pengukur tekanan darah, pengukur suhu, alat pengukur gula darah mandiri, tempat tidur pasien, dan meja operasi, diutamakan dari produk Indonesia. Untuk tahap pertama mungkin lebih mahal, tetapi jika produsen dalam negeri dapat berkembang, mutu dan harga akan dapat bersaing
Saya percaya banyak perusahaan umum milik negara dapat berperan untuk mendampingi dan menjadi mitra usaha-usaha kecil yang berjuang sendiri-sendiri di Tanah Air. Usul Anda untuk masker nonmedis sebenarnya amat praktis. Kimia Farma dapat mengadakan bahan, melatih industri rumah tangga, mengawasi mutu serta memasarkannya. Dengan demikian, banyak industri rumah tangga yang akan tumbuh. Begitu pula dengan kursi roda, tongkat, dan lain-lain. Belum lama saya membaca BPPT bekerja sama dengan beberapa universitas akan mengembangkan tes cepat Covid-19, juga dengan melibatkan PT Hepatika Mataram. Mudah-mudahan program ini dapat berjalan dengan baik.
Dalam bidang vaksin sebenarnya kita dapat berbangga diri. Semua vaksin yang digunakan untuk Program Imunisasi Nasional (PIN) adalah buatan Biofarma. Bahkan Biofarma telah mengekspor vaksin ke puluhan negara. Biofarma adalah produsen vaksin BCG dan polio oral yang diakui WHO. Sekarang Biofarma telah melebarkan kegiatannya, tidak hanya dalam bidang vaksin, tetapi juga produk biologis, seperti kit untuk pemeriksaan Covid-19. Biasanya tes yang menggunakan produk dalam negeri hasil tesnya lebih sensitif daripada tes komersial yang dijual di tingkat global karena bahan yang digunakan untuk tes adalah dari virus atau kuman yang memang beredar di Indonesia.
Nah, kesimpulannya, kita bertekad untuk meningkatkan kemandirian dalam bidang kesehatan. Arahan pemerintah jelas. Kerja sama antara akademisi dan pengusaha harus terus ditingkatkan. Peraturan dan prosedur pengadaan barang harus mulai mengutamakan produk buatan Indonesia. Masyarakat sendiri juga perlu mendukung dengan semboyan kita mencintai produk Indonesia. Terima kasih atas usulan Anda.