Terorisme masih mengancam kita. Di saat bangsa diserang pandemi, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri pun masih saja disibukkan menangkap terduga teroris.
Belum lagi menyangkut proses pencegahan ataupun deradikalisasi. Hingga akhir 2019, jumlah narapidana terorisme tercatat sekitar 400 orang, sementara jumlah tahanan terorisme sekitar 190 orang. Mereka tersebar di 90 lembaga pemasyarakatan dan 3 rumah tahanan negara di 26 provinsi. Alih-alih deradikalisasi, yang terjadi malah sebaliknya justru terjadi radikalisasi di banyak lapas. Angka residivis narapidana terorisme di Indonesia pun masih tinggi, yaitu 8 persen.
Semua elemen bangsa haruslah bahu-membahu, mengatasi kejahatan serius yang membahayakan berbagai kehidupan masyarakat, keamanan, ideologi, bahkan kedaulatan negara ini.
Oleh karena itu, masuknya draf rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang akan dikonsultasikan dengan DPR merupakan langkah maju. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun mengamanatkan hal ini.
Dalam tataran praksis, memang ada hal-hal yang memerlukan pelibatan TNI. Tidak bisa upaya penanggulangan terorisme dibebankan seluruhnya hanya di pundak Polri atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dalam kondisi-kondisi tertentu, terorisme mengancam obyek-obyek vital negara, bahkan kepala negara.
Kendati demikian, draf perpres ini perlu dicermati. UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur kemungkinan pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme. Namun, hal itu membutuhkan keputusan politik negara, yakni keputusan presiden dan DPR. Perpres ini dinilai belum mengaturnya secara jelas. Terminologi yang digunakan dalam perpres, seperti fungsi penangkalan, bahkan belum diatur dalam UU.
Kriteria pelibatan TNI terkait ancaman tinggi juga belum jelas sehingga dikhawatirkan bisa melebar dan pada akhirnya malah berpotensi bertabrakan dengan peran Polri. Rancangan perpres tersebut juga dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia dalam pelaksanaannya serta mengandung banyak ketentuan yang bertentangan dengan sejumlah perundang-undangan.
Belum lagi, ada kekhawatiran perpres tersebut dapat mendegradasi kedudukan BNPT yang dalam undang-undang sebagai lembaga yang berada di depan dalam menanggulangi terorisme. Apabila hal itu terjadi, malahan akan menimbulkan kerancuan di lapangan yang dapat merugikan.
Sejumlah kalangan bahkan mendorong pemerintah menarik kembali draf perpres. Apabila proses dilanjutkan, rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR menjadi titik krusial. Kita berharap pelibatan TNI dirumuskan secara tepat sehingga terjadi penguatan, bukan malah pelemahan.