Sejumlah laporan lapangan memperlihatkan, pandemi Covid-19 menyebabkan banyak keluarga harus menjalani situasi baru yang menuntut penyesuaian. Laporan dari Wuhan, China, tempat awal muncul pandemi Covid-19, menunjukkan kenaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women), Maret lalu, juga melaporkan naiknya kasus KDRT pada perempuan dan anak perempuan di Asia Pasifik, termasuk di Asia Tenggara. Kenaikan jumlah kasus KDRT juga terjadi di Indonesia sejak diberlakukannya dorongan pemerintah untuk bekerja dari rumah.
Hal ini dilaporkan lembaga layanan seperti Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta Komnas Perempuan. Kenaikan kasus KDRT disebabkan banyak hal. Kekerasan bisa saja sudah terjadi sebelum pandemi dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memperburuk keadaan.
Pelaku dan korban terpaksa berada di dalam satu rumah terus-menerus dalam waktu panjang. KDRT pun hanya salah satu dampak pada keluarga yang baru muncul akibat pandemi. Pandemi Covid-19 memaksa keluarga, unit terkecil dalam negara, menyesuaikan diri. Kehilangan pekerjaan atau turunnya pendapatan akibat larangan beraktivitas di luar rumah membawa tekanan pada keluarga.
Situasi ini mengenai semua lapisan masyarakat, mulai dari yang miskin, kelas menengah rentan, hingga kelas menengah. Tekanan psikis tidak kurang berat. Muncul ketidakpastian akan masa depan karena belum ada kepastian kapan pandemi berakhir. Pengalaman bekerja dari rumah menyebabkan perubahan cara kerja, termasuk kemungkinan pengurangan karyawan yang akan memengaruhi jutaan pekerja.
Secara teori, keluarga adalah tempat anggota keluarga merasa aman dan terlindungi. Karena itu, data lapangan pandemi menuntut semua pihak lebih menguatkan ketahanan keluarga mengikuti pola-pola baru masyarakat ke depan. Pelaksanaan PSBB memperlihatkan, keluarga yang bertahan adalah yang anggotanya dapat membawa peran masing-masing secara setara dan adil.
Pada keluarga yang suami dan istri bekerja serta memiliki anak-anak, misalnya, berbagi tugas menemani anak belajar dan bermain serta mengurus urusan rumah tangga akan mengurangi beban istri yang oleh masyarakat dituntut mengasuh anak dan mengurus rumah tangga.
Begitu juga pembagian tugas yang setara dan adil antara anak perempuan dan anak laki-laki. Suasana di rumah akan lebih nyaman kalau semua merasa beban terbagi rata. Dalam situasi normal baru di mana masyarakat dituntut hidup bersama Covid-19 sampai vaksin ditemukan, gagasan tentang keluarga ideal perlu didefinisikan ulang oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan.
Anggota keluarga yang saling menghargai, berbagi tanggung jawab dan tugas secara setara dan adil, akan menjadikan keluarga hidup damai dan menghasilkan warga negara yang toleran dan bertanggung jawab. Kita berharap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dapat mengoordinasikan langkah penguatan ketahanan keluarga.