Panggilan Pertobatan Laudato Si
Pertobatan adalah saat untuk merasakan cinta Tuhan yang tanpa syarat kepada manusia yang penuh kerapuhan. Pengalaman dicintai dan diampuni Tuhan, menjadi sumber kekuatan untuk memperbarui diri dan berekonsili.
Peristiwa Kenaikan Isa Almasih memiliki makna ganda. Di satu sisi, sebagai sebuah perpisahan. Di sisi lain, suatu pengutusan. Selain mengalihkan pandangan ke surga, kita juga diajak untuk memperkuat langkah-langkah yang kita tempuh di bumi.
Setelah Yesus bangkit, sebagian besar dari para murid-Nya mungkin berharap bahwa Dia akan tinggal bersama mereka untuk selama-lamanya. Namun, harapan mereka tidak bisa terpenuhi. Sekali lagi, kesebelas murid itu harus berpisah dengan Sang Guru.
Sebelum terangkat ke langit dan tertutup awan, Yesus mengutus para murid dengan misi, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku... dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Mat 28: 19-20) Dengan demikian, semua yang Yesus perbuat di bumi dan karya penyelamatan-Nya tidak berakhir dengan kenaikan-Nya.
Ensiklik Laudato Si’ (LS) karya Paus Fransiskus yang terbit lima tahun lalu bisa dilihat sebagai salah satu upaya mengaktualisasi amanat Yesus itu. Lebih dari sekadar ajaran kepada umat Katolik, pesan Paus ini adalah suatu himbauan universal kepada seluruh umat manusia agar serius bekerja sama menangani krisis lingkungan hidup yang kian masif.
Lebih dari sekadar ajaran kepada umat Katolik, pesan Paus ini adalah suatu himbauan universal kepada seluruh umat manusia agar serius bekerja sama menangani krisis lingkungan hidup yang kian masif.
Seruan Laudato Si’
Selama ini, diskursus mengenai ekologi dan lingkungan hidup didominasi oleh perspektif ilmu sains, politik, dan ekonomi. Dengan terbitnya LS, isu lingkungan hidup secara eksplisit dan sistematis mulai dibicarakan dengan perspektif iman.
Seruan profetik pemimpin Gereja Katolik ini berbicara soal bagaimana seharusnya manusia beragama dan beriman bersikap terhadap alam. Sampai hari ini, banyak dibuat forum untuk mendiskusikan dan menerapkannya ke dalam berbagai program.
Dalam ensiklik ini, Paus mengulas pelbagai tema, seperti ekologi integral, konsumerisme, konservasi air, ketahanan pangan, musnahnya keragaman hayati, dan bahaya manipulasi teknologi. Sebagai dokumen ajaran sosial Gereja, LS juga menunjukkan bagaimana korban utama dari degradasi lingkungan adalah mereka yang paling miskin dan tersingkir.
Sejak awal, Paus melihat masalah ekologi sebagai akibat tragis dari aktivitas manusia yang tak terkendali. “Bumi, saudari kita, sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya,” tuding Paus (LS 2).
Karena itu, target utama program-program merawat lingkungan hidup bukanlah pada perubahan alam sendiri. Namun, pada perubahan sikap dan paradigma manusia, secara pribadi maupun kelompok. Inilah yang dimaksud Paus sebagai “pertobatan ekologis.”
Dosa Ekologis
Pertobatan ekologis akan selalu terkait dengan adanya kesadaran terhadap dosa-dosa ekologis. Sayangnya, pemahaman mengenai dosa ekologis belum begitu terbatinkan dalam diri umat beragama pada umumnya. Mengapa?
Secara simbolik, wajah dosa ekologis bisa diumpamakan seperti seekor katak dalam panci berisi air yang dipanasi api di bawahnya. Sistem syaraf katak tak mampu merasakan perubahan suhu yang bertahap. Dia akan mati perlahan, menjadi matang di dalam panci itu.
Dosa ekologis kurang menggerus perasaan kita. Bandingkanlah dengan dosa-dosa lain, seperti mencuri, yang bisa membuat hati seseorang merasa tidak nyaman. Kita bisa memperlakukan alam, tanaman, hewan dengan buruk, membuang sampah seenaknya, dan boros energi. Namun, kita mungkin sulit atau bahkan tidak dapat merasakan dampak afektifnya dalam diri kita, apalagi untuk sampai pada kesadaran berdosa.
Efek dosa ekologis juga terkesan lambat untuk bisa dialami langsung. Misalnya, kebocoran ozon membutuh waktu lama sebelum kita bisa merasakan efek rumah kaca dan pemanasan global.
Melelehnya es di kutub. Tenggelamnya pulau-pulau kecil di Oceania. Kepunahan berbagai spesies binatang dan tumbuhan. Semuanya terjadi dalam senyap, jauh dari tangkapan kamera mana pun. Karena itu, seseorang bisa tetap merasa “aman-aman saja”, meskipun dibayang-bayangi statistik dan hasil riset yang senantiasa bernada katastropik
Secara simbolik, wajah dosa ekologis bisa diumpamakan seperti seekor katak dalam panci berisi air yang dipanasi api di bawahnya.
Selain itu, orang atau obyek yang merasakan dampak dosa ekologis kerap kali tidak tahu sumber penyebabnya. Hal itu sama dengan sang katak yang tidak tahu bahwa sumber kematiannya adalah api di bawah panci itu. Ketidaktahuan ini dapat menyuburkan ketidakpedulian.
Minimnya kesadaran akan dosa ekologis juga bisa lahir dari rasionalisasi-rasionalisasi pikiran. Pikiran manusia, secara sadar maupun tidak, bisa membuat alasan-alasan semu untuk berhenti peduli pada usaha-usaha melestarikan lingkungan hidup. Menurut teori psikologi Paul Slovic hal ini disebut pseudoinefficacy.
Misalnya, adanya keraguan bahwa perubahan gaya hidup pribadi bisa memperbaiki kerusakan alam. Banyak orang menganggap bumi terlalu luas dan tindakan manusia berskala kecil tak akan memberi dampak apa pun bagi bumi. Seseorang bisa berpikir “Toh, masih banyak yang beli air kemasan. Untuk apa saya perlu repot-repot bawa botol minum?” Dengan itu, seseorang tidak merasa bersalah.
Mungkin, pseudoinefficacy ini adalah topeng dari rasa takut seseorang ketika harus mengubah pola hidup yang ternyata merusak alam, tetapi mendatangkan kenyamanan. Harus naik transportasi umum berarti meninggalkan kenyamanan mobil pribadi. Harus memilah sampah berarti perlu menyediakan waktu berkotor-kotor. Harus mematikan AC berarti akan merasa kepanasan seharian.
Belas Kasih
Tanggal 16-24 Mei 2020, Paus Fransiskus mengundang umat Katolik sedunia untuk merayakan pekan Laudato Si’. Gerakan ini adalah kampanye global untuk memeringati lima tahun terbitnya ensiklik Laudato si’. Tema yang diambil adalah “Semuanya terhubung” (Everything is Connected).
Inilah saat yang tepat untuk menyegarkan lagi kesadaran ekologis kita dan meluangkan waktu untuk berefleksi tentang keadaan Ibu Bumi. Saatnya untuk menggugat dosa-dosa ekologis manusia yang selama ini terabaikan di tingkat pribadi, komunal, institusional, maupun nasional.
Saatnya untuk memulai tindakan-tindakan pembaruan yang sederhana dan mendobrak segala bentuk keegoisan dan ketidakpedulian. Harapannya, penataan gaya hidup dan tindakan sehari-hari yang konkret dapat menginspirasi tindakan-tindakan yang lebih besar. Perlu disadari bahwa semua itu membutuhkan pengorbanan personal, tetapi pengorbanan itu layak demi masa depan Ibu Bumi yang lebih baik.
Di hadapan tantangan perubahan iklim, adanya rasa takut, cemas, dan tidak berdaya adalah hal yang wajar. Namun, Paus menulis, “Daripada masalah yang harus dipecahkan, dunia adalah misteri yang menyenangkan untuk direnungkan dengan kegembiraan dan pujian.” (LS 12)
Gerakan ini adalah kampanye global untuk memeringati lima tahun terbitnya ensiklik Laudato si’. Tema yang diambil adalah “Semuanya terhubung” (Everything is Connected).
Dari sana kita diingatkan bahwa landasan utama dari upaya menjawab tantangan kerusakan lingkungan adalah hati yang gembira, suatu konsolasi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menonjolkan sisi-sisi menyenangkan dari suatu program ekologi. Tonjolkanlah sisi-sisi indah dari alam ini yang mampu membuat seseorang jatuh cinta dan ingin menjaganya.
Sebesar apa pun manfaat yang dihasilkan, suatu program ekologi hanya akan menjadi proyek yang membebani jika tidak dilakukan dengan hati yang gembira. Kegembiraan akan memperkuat komitmen yang berkelanjutan. Kegembiraan seperti itu selalu bersumber dari pengalaman pertobatan.
Pertobatan bukanlah sekadar saat pengakuan dosa-dosa. Dalam ajaran Kristiani, pertobatan pertama-tama adalah suatu saat untuk merasakan cinta Tuhan yang tanpa syarat kepada manusia yang penuh kerapuhan. Pengalaman dicintai dan diampuni Tuhan, menjadi sumber kekuatan untuk memperbarui diri dan berekonsiliasi.
Belas kasih Tuhan pada kita perlu diperlihatkan pula melalui belas kasih kita pada alam ini. “Tangisan bumi dan tangisan orang miskin tidak bisa berlanjut terus,” tegas Paus.
(Frederick Ray Popo Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)