Saya mendengarkan khotbah Romo Albertus Hendaryono Pr, Minggu (19/4/2020), lewat siaran televisi. Khotbah itu tentang rasul Thomas, yang tidak percaya bahwa Yesus bangkit dari mati, sebelum ia membuktikan sendiri dengan melihat luka-luka Yesus saat disalib.
Seorang rasul pun ternyata belum dewasa imannya. Padahal, sebagai salah satu rasul, tentu ia melihat pelbagai mukjizat yang dibuat Yesus. Maka ketika akhirnya rasul Thomas itu bertemu Yesus yang bangkit, ia diingatkan, ”Karena engkau melihat, engkau percaya. Berbahagialah orang yang tidak melihat, tetapi percaya!”
Peristiwa itu oleh Romo Hendaryono disejajarkan dengan kondisi masyarakat kita saat ini menghadapi pandemi Covid-19. Banyak di antara mereka yang membanggakan diri tinggal di daerah tropis, yang kaya akan tanaman obat, sehingga bisa menolak virus korona.
Begitu juga ketika pemerintah resmi mengumumkan sudah ada yang positif Covid-19, kesadaran akan bahaya tidak segera menguat. Inilah gambaran ketidakdewasaan masyarakat. Bahkan, saat PSBB diterapkan pun, banyak yang tidak taat. Tidak peduli korban jiwa berjatuhan.
Bukan rahasia lagi bahwa masyarakat kurang disiplin. Padahal, disiplin ini dasar penting bagi kehidupan bermasyarakat. Karena kurang disiplin, maka ada banyak pelanggaran, korupsi, pungli, dan seterusnya.
Salah satu faktornya adalah dihilangkannya sekolah pendidikan guru (SPG dan IKIP). Guru yang berijazah Akta IV memang hebat dalam mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi tidak dalam mendidik. Sejak itu di sekolah yang ada pengajaran ilmu pengetahuan, yang namanya pendidikan tidak dikenal.
Ketika Presiden Joko Widodo terpilih lagi menjadi presiden dan menyatakan akan fokus membangun sumber daya manusia (SDM), saya berpikir, ini pekerjaan berat karena ketidakdewasaan masyarakat kita.
Saya mendoakan, semoga pandemi Covid-19 ini memberi hikmah meskipun harus dibayar sangat mahal. Semoga Allah yang Maha Rahim melimpahkan rahmat-Nya untuk mendewasakan masyarakat dan mempertobatkan kita semua. Semoga kita semua mau bekerja sama mengatasi Covid-19, dan dapat hidup bermasyarakat sebagai manusia yang rukun, dewasa, dan beradab.
St Sutopanitro Pr
Gereja St Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta Utara
Untuk Meluruskan
Saya membaca ada kelompok pengusaha menggunakan nama Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) di Kompas (Kamis, 16/4/2020).
Perlu diketahui, istilah pribumi merupakan alih makna dari kosakata bahasa Belanda, inlander, berdasarkan ketentuan UU zaman penjajah Gelijkgestelde (LN 1907-205).
Pribumi tidak diakui sebagai warga negara, kedudukannya amat rendah. Hal itu tampak dari pelbagai pengumuman di tempat-tempat eksklusif, misalnya kolam renang. Tulisannya mencolok: ”VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDERS” (dilarang untuk anjing dan pribumi).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 dan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dalam hal penghapusan diskriminasi ras, dilarang menggunakan istilah pribumi dan atau nonpri. Yang ada WNI dan atau WNA.
Mari kita jaga kehormatan dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
FS Hartono
Purwosari RT 04 RW 59, Sinduadi, Sleman, Yogyakarta
Hari Buku
Kalau Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia diperingati setiap 23 April, maka pada 17 Mei kita memperingati Hari Buku Nasional. Tanggal 17 Mei dipilih karena merupakan tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Saat ini, untuk mengembalikan minat baca buku, perpustakaan daerah, kota, dan nasional sudah banyak berbenah. Fungsinya tidak hanya sebagai gedung penyimpan buku berdebu, tetapi sebagai taman rekreasi membaca yang lebih ramah, menarik, dan banyak mendapat kunjungan wisata anak-anak sekolah.
Tidak saja dalam bidang pendidikan, perpustakaan pun juga dapat bekerja sama dengan komunitas apa pun sebagai wadah kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
Perpustakaan bisa memberikan layanan terbaik, buka Senin sampai Minggu, karena buku adalah jendela dunia.
Ayo membaca buku. Ayo ke perpustakaan.
Vita Priyambada
Kompleks Perhubungan,
Jatiwaringin, Jakarta 13620
Udara Segar
Sebelum pandemi, kebiasaan rutin yang saya lakukan adalah joging di luar rumah setiap pagi. Selama masa pandemi Covid-19 ini, kebiasaan joging tetap saya lakukan meski hanya jalan cepat di sekeliling pagar rumah.
Namun, sekarang terasa berbeda. Udara yang saya hirup terasa segar, sejuk, dan bersih dibandingkan periode sebelum pandemi.
Untuk memutus rantai penularan, pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Semua orang diperintahkan tinggal di rumah, bekerja dari rumah, belajar dari rumah dan beribadah di rumah.
Menariknya, semua perubahan ”gaya hidup” ini membawa kebaikan yang tak terduga. Berkurangnya lalu lintas kendaraan membuat jumlah emisi karbon di udara turun drastis. Inilah dampak yang saya rasakan, bisa menghirup udara segar setiap hari.
Menurut penelitian ilmiah, menghirup udara segar sebenarnya memiliki banyak manfaat bagi kesehatan jiwa dan raga. Selain mengurangi stres, menghirup udara bersih dapat meningkatkan sistem imun.
Akankah penurunan emisi karbon ini dapat bertahan? Saat nanti keparahan pandemi berkurang, akankah emisi karbon meningkat kembali?
Kita semua ingin pandemi segera berakhir. Semoga masa new normal nanti lingkungan hidup tetap bersih.
Zulkifli Nasution
Cilandak Timur, Jaksel