Kita dituntut memiliki keawasan yang tak boleh jeda kapan pun dan di mana pun. Keawasan terhadap ruang dan waktu untuk diri sendiri dan sesama kita. Untuk mendukung hal itu, literasi informasi merupakan keniscayaan.
Oleh
Abd A’la
·5 menit baca
Saat ini jumlah korban wabah Covid-19 masih terus bertambah, baik dalam skala nasional maupun global. Jumlah pasien yang sembuh memang menunjukkan kenaikan signifikan. Di seluruh dunia, tingkat kesembuhan sudah tiga kali lipat dari korban yang meninggal. Kendati demikian, korban yang meninggal masih terus bertambah dengan angka yang tidak bisa dianggap kecil.
Tentunya korban meninggal sekecil apa pun tidak boleh disepelekan karena kematian selalu menyisakan kesedihan dan penderitaan bagi keluarga yang ditinggalkan. Selain itu, kematian akibat wabah, apalagi yang relatif masif, juga memperlihatkan betapa sains dan teknologi, khususnya medis, belum sepenuhnya mampu mengatasi.
Sebelum pandemi Covid-19, catatan sejak abad pertama Masehi menunjukkan dunia telah berulang kali diserang pandemi. Di antaranya yang dianggap paling awal adalah wabah Antonin antara tahun 165 dan 180 Masehi. Diduga berasal dari orang Hun di Asia Tengah, menyebar ke Jerman dan Kekaisaran Romawi. Kaisar Marcus Aurelius termasuk yang jadi korban.
Tahun 541 Masehi, wabah Justinian menyebar dari Palestina ke Kekaisaran Romawi dan seluruh daerah Mediterania. Sepanjang wabah ini, 35 juta-50 juta jiwa yang saat itu merupakan separuh penduduk dunia meninggal.
Tentunya korban meninggal sekecil apa pun tidak boleh disepelekan karena kematian selalu menyisakan kesedihan dan penderitaan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Pandemi lain yang juga memakan korban sangat banyak adalah The Columbian Exchange. Wabah yang diduga terbawa oleh Christopher Columbus ke benua Amerika ini terjadi tahun 1492 dan nyaris memusnahkan penduduk lokal.
Awal abad ke-20, ada pandemi Spanyol atau H1N1 yang mewabah tahun 1918-1919 dan menyebabkan 500 juta orang atau sepertiga penduduk dunia saat itu terjangkit. Korban meninggal mencapai 50 juta.
Dampak sosial ekonomi
Setiap terjadi wabah, tidak hanya jutaan manusia merenggang nyawa dalam kesia-siaan, tetapi juga membawa rentetan masalah lain. Misalnya, wabah Justinian membuat produksi makanan babak belur. Selama delapan tahun masyarakat, terutama di daerah-daerah yang terpapar, kelaparan.
The Black Death bahkan berakibat lebih jauh dalam kehidupan sosial, politik, keagamaan, dan lainnya. Sejarawan Amerika Walter S Zapotocny (2006) mencatat, wabah ini menyudutkan penderita kusta dengan tuduhan sengaja meracuni air atau udara. Mayoritas penderita kusta lalu ”dihilang-paksakan” dari bumi Eropa.
Masih menurut Zapotoctony, orang Yahudi juga terkena getahnya. Orang-orang Yahudi diserang dan dihabisi. Kendati Paus, pemimpin Gereja Katolik, berusaha keras menghentikan, kebiadaban terus berlangsung. Konon orang Yahudi yang tewas karena dibantai jauh lebih besar dari akibat wabah.
Bentuk lain dari dampak yang mengiringi wabah juga bisa dilacak pada pandemi The Columbian Exchange. Selain menelan korban meninggal demikian besar, dampak lainnya adalah perubahan iklim yang cukup signifikan dan nyaris punahnya suku asli Amerika.
Tentu masih banyak dampak lain yang lebih jauh yang menyertai epidemi setiap kali hal itu terjadi, baik yang bersifat politik, pendidikan, maupun aspek kehidupan lain.
Selain menelan korban meninggal demikian besar, dampak lainnya adalah perubahan iklim yang cukup signifikan dan nyaris punahnya suku asli Amerika.
Kita memang harus mengakui, di balik kematian yang demikian besar jumlahnya, wabah mengantarkan manusia pada upaya bukan sekadar menghentikan penyebaran wabah, menyembuhkan mereka yang terinfeksi, dan sejenisnya, tetapi pada gilirannya juga menghadirkan umat manusia ini pada kehidupan yang lebih baik dan tidak terduga.
Hikmah wabah
Misalnya, kematian yang demikian banyak akibat wabah The Black Death membuat lahan di Eropa lebih banyak tersedia sehingga nantinya meningkatkan produk pangan. Demikian pula jumlah pekerja yang sedikit di saat itu menjadikan gaji mereka yang bekerja meningkat. Hal lain yang tidak kalah penting, era The Black Death merupakan awal penurunan perbudakan hingga akhirnya terhapuskan.
Hikmah lain yang patut disebut, setiap terjadi wabah, setiap kali itu pula ditemukan penyebab, pencegahan, dan pengobatannya. Para ilmuwan di bidang terkait berlomba-lomba menemukan vaksin dan obat penangkal lain. Di luar itu, banyak hikmah yang tidak terhitung yang hadir di balik setiap kali wabah terjadi.
Namun, terlepas dari hikmah atau kebaikan di balik musibah, khususnya pandemi, kita—seberapa pun kemajuan yang diraih, sampai derajat tertentu— selalu terseok-seok dan tidak bisa langsung tepat merespons sesuai harapan. Dengan demikian, penyebaran wabah selalu lebih cepat dari tindakan tepat yang kita lakukan. Jumlah nyawa yang melayang dari wabah ke wabah selalu mencapai angka memprihatinkan.
Bersiap hadapi wabah
Pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah pola semacam itu akan terus berulang? Kita semua pasti tidak menginginkan kelemahan dalam dan mengatasinya karena wabah akan selalu datang.
Apa upaya untuk menekan kematian dan mempercepat masa berlangsungnya wabah?
Kebersamaan, kerja sama, dan kesatupaduan kita merupakan modal awal yang paling berharga. Kita sebagai umat manusia dalam dunia yang sama, sebagai anak bangsa, sebagai pejabat, atau sebagai rakyat, niscaya bersatu dalam menghadapi pandemi.
Dalam konteks Indonesia saat ini, masyarakat tidak punya pilihan selain memercayai pemerintah dan mematuhi protokol pengendalian yang dikeluarkan. Pada saat yang sama, pemerintah harus melibatkan segenap unsur lembaga pemerintah, organisasi sosial keagamaan, dan lainnya dalam pembuatan kebijakan. Sejalan dengan itu, transparansi dalam pembuatan kebijakan dan implementasinya merupakan suatu keharusan.
Kita sebagai umat manusia dalam dunia yang sama, sebagai anak bangsa, sebagai pejabat, atau sebagai rakyat, niscaya bersatu dalam menghadapi pandemi.
Di atas semua itu, kita dituntut memiliki keawasan yang tak boleh jeda kapan pun dan di mana pun. Kita awas saat ada wabah dan musibah, sebagaimana kita tetap awas saat tidak terjadi apa-apa. Keawasan terhadap ruang dan waktu bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi orang di luar kita. Untuk mendukung itu, literasi informasi merupakan keniscayaan yang tak bisa ditawar.
Sejalan dengan itu, kita berharap para ilmuwan di berbagai bidang mampu memprediksi fenomena alam lebih akurat, dan memiliki keawasan yang lebih dini tentang apa yang akan terjadi. Tentunya berdasarkan kaidah-kaidah akademis dan keilmuan yang berlaku.
(Abd A’la Abdi Pondok Pesantren Annuqayah Latee Sumenep dan Guru Besar UIN Sunan Ampel, Surabaya)