Berharap Lebaran Penuh Selamat
Saatnya pemerintah menempatkan keselamatan rakyat di atas kepentingan lain. Apresiasi dan jadikan warga yang "waras" tertib PSBB bagian dari tim untuk menerapkan kebijakan yang tegas dan terarah. Mumpung masih ada waktu.
Beberapa hari ini emosi teraduk-aduk mengikuti arus informasi porak-porandanya upaya melawan pandemi di Tanah Air. Kerumunan ada di mana saja dan terus bereplikasi, utamanya di pasar-pasar, pusat belanja, dan memadati jalanan. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar supaya antarwarga bisa saling menjaga jarak aman dan menutup penyebaran virus korona baru, seperti setitik air yang jatuh di tengah padang pasir. Tak berbekas.
Apakah memang kita warga +62 ini terlalu masa bodoh, tidak ambil pusing dengan ancaman penularan Covid-19? Tidak takut tiba-tiba sesak layaknya tenggelam di kolam renang karena penyakit akibat SARS-CoV-2 itu menyerang sistem pernapasan kita? Mengapa pula warga kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya, yang tingkat pendidikan dan ekonominya dinilai lebih baik dari pelosok daerah lain di Nusantara, bisa berbuat yang di luar nalar seperti itu?
Tanpa menutup mata terhadap orang-orang yang nekat berkerumun di mana-mana, tidak adil jika menyamaratakan semua penduduk negeri ini sebagai manusia yang abai atas kesehatan dirinya dan kesehatan publik.
Dari laman corona.jakarta.go.id, Selasa 19 Mei, dipaparkan hasil riset tim pakar epidemiologi, termasuk dari Universitas Indonesia. Hasil riset atas mobilitas warga dilihat dari peta pergerakan berdasarkan pemindaian telepon genggam tersebut menunjukkan, setidaknya 60 persen warga Jakarta lebih banyak berada di rumah selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB ini.
Baca juga : Deurbanisasi, Keseimbangan Baru Desa-Kota
Sesuai riset tim pakar tersebut, dengan 60 persen warga lebih banyak di rumah, tingkat penularan di DKI saat ini 1,11. Artinya, tiap satu orang positif Covid-19 menularkan ke satu orang lainnya. Angka ini turun dari sebelumnya yang mencapai angka 4, yaitu satu orang menularkan kepada empat orang lainnya.
Akan tetapi, masih dari hasil riset tim pakar tersebut, kondisi Jakarta baru bisa disebut aman jika tingkat penularan ada pada angka nol (0). Untuk itu, DKI menetapkan perpanjangan PSBB. PSBB tahap ketiga berlangsung mulai 22 Mei hingga 4 Juni. Pada PSBB ketiga, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menargetkan 80 persen warganya berada di rumah dan penularan nol bisa tercapai.
Merujuk pada hasil riset tim pakar, jumlah warga Jakarta yang mematuhi PSBB terbilang cukup banyak. Sebanyak 60 persen warga itu berarti sedikitnya 6 juta jiwa mampu mengekang diri untuk menjaga jarak aman sehari-hari demi memutus penyebaran virus korona baru. Angka itu menunjukkan ada 6 juta jiwa di Jakarta saja yang selama 2 bulan terakhir berpikir dan bertindak waras demi keselamatan dirinya sendiri dan orang lain.
Sebanyak 60 persen saja berarti sedikitnya 6 juta jiwa mampu mengekang diri untuk menjaga jarak aman sehari-hari demi memutus penyebaran virus korona baru. Angka itu menunjukkan ada 6 juta jiwa di Jakarta saja yang mampu berpikir dan bertindak waras demi untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Di luar itu, gerakan sosial untuk membantu sesama tak pernah berhenti mengalir sejak pandemi pertama kali mengguncang Indonesia, awal Maret lalu. Penggalangan bantuan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan dan warga yang membutuhkan, misalnya, dilakukan sesama warga sejak Maret itu juga dan tak berhenti hingga kini.
Baca juga : Budaya Gardu yang Kembali Subur
Selanjutnya, disusul bantuan pangan berupa bahan makanan mentah maupun siap santap. Ada pihak-pihak yang merelakan rumahnya, gedungnya, hingga hotelnya untuk menampung tenaga medis yang membutuhkan tempat singgah dan istirahat. Tak lupa juga menampung orang-orang yang tertular dan butuh isolasi mandiri.
Begitu beragam bentuk bantuan dari warga untuk sesamanya yang membutuhkan. Kampanye-kampanye positif, mulai ajakan menjaga jarak, belajar di rumah, konseling gratis bagi yang tertekan situasi, hingga memberi dukungan semangat, pulsa internet, dan banyak lagi sokongan untuk mereka yang membutuhkan, terus mengalir setiap hari.
Kehadiran solidaritas tersebut menguatkan program pemerintah yang terbukti memang belum bisa mencakup semua orang yang terdampak pandemi ini. Warga yang masih waras ini tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain hingga ke pelosok negeri.
Namun, bahwa ada 40 persen warga ”nakal” di Jakarta saja itu jelas bukan jumlah yang sedikit. Jumlah itu setara dengan sekitar 4 juta orang. Aktivitas mereka di jalanan, pasar, dan di mana pun di ruang-ruang publik berpotensi menjadi racun mematikan, tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi juga ke sekian juta jiwa warga yang sejak awal mampu bertindak waras.
Jumlah orang pembawa mimpi buruk mengganasnya pagebluk tersebut kian bertambah jika melihat banyaknya titik kerumunan orang di kota-kota tetangga Jakarta, yaitu Bodetabek hingga Bandung, Sukabumi, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Malang, dan daerah lain di negeri ini.
Hal ini yang seharusnya menjadi fokus sasaran pemerintah ataupun warga untuk semakin menguatkan kebijakan dan aksi bersama agar bisa menarik semakin banyak orang untuk berpikir dan bertindak waras.
Menutup ketimpangan
Sebelumnya, patut juga disadari mengapa masih saja ada warga yang abai. Selama ini, alasan ekonomi menjadi salah satu pendorong kuat untuk mengabaikan PSBB.
Begitu banyak orang kehilangan atau berkurang drastis pendapatannya karena tempat kerjanya berhenti beroperasi akibat penerapan PSBB. Pada saat yang sama, bantuan belum diterima merata. Kalaupun diterima, besaran bantuan dinilai tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan dasar sehari-hari.
Selain itu, sebagian warga menilai ada ketimpangan penerapan aturan PSBB. Di satu sisi, warga tidak boleh berkerumun, jual beli susah, toko-toko kecil ditutup. Mereka yang susah bertahan hidup setelah kehilangan mata pencarian di kota, susah pulang ke kampung halaman karena alasan PSBB.
Sementara, di bandar udara, calon penumpang berjubel hendak terbang ke banyak tujuan berbekal surat keterangan tertentu. Belakangan, terungkap ada banyak permainan untuk bisa mendapat surat keterangan dinas tugas, surat keterangan sakit, atau segudang alasan mendesak lain yang menjadi dasar agar bisa terbang. Intinya, asal bisa mengakali sistem yang dipandang lemah banyak celah untuk dilanggar, ada orang-orang yang bisa lolos ke mana saja.
Baca juga :Pembatasan Sosial, Langkah Awal Menuju ”The New Normal”
Aturan dinilai lentur bagi sebagian orang yang punya akses, punya kepentingan, dan punya uang. Hal ini seperti mendapat angin seiring kebijakan pusat dan daerah yang tidak juga sinkron.
Pengambilan keputusan terkadang terlalu memakan waktu. Ketuk palu penetapan PSBB di DKI Jakarta, misalnya, perlu lebih dari satu bulan setelah kasus pertama positif Covid-19 muncul. Perkara boleh mudik atau tidak sampai sekarang belum bisa juga dikatakan beres. Kini, relaksasi PSBB memanas dengan alasan utama agar ekonomi dapat kembali bergerak.
Dagelan dan drama saling lempar tanggung jawab menjadi tontonan publik, menjadi bulan-bulanan di media massa konvensional maupun media sosial sepanjang dua-tiga bulan terakhir. Bisa dimengerti, walaupun tetap tidak bisa diterima, jika lantas sebagian orang tak mau ambil pusing dengan isu pandemi, terlebih bagi mereka yang tidak tertular atau merasa sehat-sehat saja selama ini. Pemikiran ini menjalari siapa saja dengan berbagai latar belakang ilmu, pendidikan, agama, dan ekonomi. Mereka juga menjadi enggan disiplin menjaga jarak.
Sungguh, jangan sampai membiarkan gelombang kedua Covid-19 datang menerjang. Masih ada waktu untuk berbenah dan bertindak tepat.
Memang, mengurus lebih dari 260 juta jiwa penduduk Indonesia tidaklah mudah. Ada jurang perbedaan besar dalam bermacam aspek kehidupan antara kota-kota besar seperti Jakarta dan banyak daerah lain di Nusantara. Memberi porsi kewenangan pada tiap daerah untuk mengambil kebijakan sesuai kebutuhan daerahnya sebenarnya sudah menjadi langkah benar yang diambil pusat.
Akan tetapi, sekali lagi, pusat perlu mengayomi dengan memberi payung besar aturan yang menjadi pijakan kebijakan di tiap daerah. Kerja sama pusat dan daerah masih perlu terus didorong.
Tentu kita tidak ingin Jakarta menjadi New York. Kita tidak ingin seluruh negeri ini menjadi Amerika Serikat yang kini tingkat kematian akibat Covid-19 tergolong tertinggi di dunia melebihi China, tempat asal muasal virus korona baru.
Di New York, seperti laporan The New York Times pada 19 Mei dan City and State New York pada 21 Mei, dengan jumlah penduduk tak jauh berbeda dengan Jakarta, tercatat hingga Kamis kemarin sudah 23,083pasien Covid-19 yang meninggal.
Saat ini, salah satu kota besar dan pusat bisnis ”Negeri Paman Sam” tersebut juga tengah menjalani program karantina wilayah untuk mencegah pandemi makin meluas. Upaya itu direcoki gonjang-ganjing antara tuntutan meneruskan karantina hingga wabah dikendalikan dan tuntutan agar karantina dihentikan sehingga ekonomi bisa segera kembali berputar.
Tarik ulur antara pemerintah daerah New York dan pemerintah pusat AS terjadi, sementara warga setempat menanggung akibat terbesar, tertular wabah dan bisa kehilangan nyawa.
Baca juga : Cara Pandemi Mendongkrak Ketahanan Kita
Indonesia sangat bisa belajar dari negara yang dipimpin Donald Trump itu. Saatnya kini pemerintah daerah maupun pusat melihat kembali apa yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyatnya. Negara atau pemerintah harus hadir dalam bentuk paket kebijakan dan penerapannya yang terarah sekaligus tegas.
Pemerintah diminta membuka diri, jangan melihat warga sebagai sekadar sasaran kebijakan, tetapi juga bagian dari tim untuk mencapai target. Merangkul dan menggunakan kekuatan warga yang waras serta terbukti mau memberikan banyak hal agar ia dan sesama warga lain selamat, menjadi modal besar negara untuk bertahan dan melewati pandemi.
Hari raya kali ini bisa menjadi momentum untuk kebangkitan bersama menempatkan kemanusiaan di atas segala kepentingan lain.
Pemimpin-pemimpin kota, pemimpin daerah, adalah ujung-ujung tombak yang bisa digerakkan oleh pusat untuk merangkul kekuatan warganya. Percayalah, tidak ada satu pihak pun yang bakal dirugikan jika semua berkolaborasi. Sungguh, jangan sampai membiarkan gelombang kedua Covid-19 datang menerjang. Masih ada waktu untuk berbenah dan bertindak tepat.
Hari raya kali ini bisa menjadi momentum untuk kebangkitan bersama menempatkan kemanusiaan di atas segala kepentingan lain. Berharap Lebaran turut membawa kemenangan manusia Indonesia melawan pandemi, membawa selamat bagi seluruh negeri. Mari bersama kita wujudkan kemenangan itu.