Tetap Bahagia di Tengah Pandemi
Tiada alasan bagi kita untuk menyalahkan dan mengumpat siapa pun dalam masa-masa pandemi Covid-19. Sebab, tiada sebuah kejadian yang diciptakan Allah kecuali sebagai bahan refleksi agar kita selalu sadar diri.
Salah satu momentum Idul Fitri yang dirayakan umat Islam adalah berbagi kebahagiaan. Satu dengan yang lain saling merelakan beban penderitaan dengan berbagai cara. Di antara yang paling jamak dilakukan adalah membagi zakat fitrah dan zakat mal ke berbagai kalangan yang miskin dan yatim.
Selain zakat, cara yang tak kalah umum dilakukan adalah kesediaan untuk saling memaafkan. Setiap orang sudi merendahkan egoisme kedirian yang selama ini dipapar oleh kesombongan dan saling menyatakan diri atas kesalahan yang diperbuat selama ini.
Bahkan, dalam bermaafan ada berbagai ritus kunjungan dan pertemuan yang digelar setiap orang dan kelompok. Semisal antarkeluarga mengunjungi rumah tetangga tanpa risih dan tendensi apa pun yang patut dicurigai. Ada pula pertemuan massal yang berbasis profesi, trah, etnis, dan emotional group lainnya.
Dalam lingkup yang lebih luas, secara sosio-antropologis, ada berbagai seremoni yang digelar masing-masing orang dan kelompok yang semakin menambah suasana kebahagiaan merayakan Idul Fitri. Semisal tradisi mudik, takbir keliling, ziarah makam, ketupatan, dan lain sebagainya. Semua kegiatan tersebut mengacu pada kehendak kolektif yang luhur, indah, dan suci, yaitu hadirnya rekonsiliasi dan introspeksi.
Selain zakat, cara yang tak kalah umum dilakukan adalah kesediaan untuk saling memaafkan.
Melalui rekonsiliasi dan introspeksi ini setiap orang mempunyai cita-cita yang serupa, yaitu ingin memulai kehidupan di sebelas bulan berikutnya dengan lembaran baru. Dengan harapan, melalui lembaran baru ini ada upaya peningkatan (syawwal) kesadaran dan peran yang lebih membahagiakan bagi dirinya dan bagi orang lain.
Secara psikologis, meminjam cara pandang Komarudin Hidayat dalam buku Psikologi Kebahagiaan, ekspresi kebahagian yang tergelar sedemikian tulus dalam Idul Fitri semakin meneguhkan bahwa kebahagiaan terletak dalam ketenangan jiwa, bukan pada benda-benda, kekuasaan, atau popularitas. Menjadi wajar ketika setiap kebahagiaan yang dibagi oleh antarorang betul-betul mengguratkan sebuah kejujuran diri bahwa dirinya bersalah dan ingin minta maaf.
Itulah suasana kebahagiaan yang diekspresikan setiap orang ketika Idul Fitri. Di luar dua peristiwa tersebut, tentu banyak perantara lainnya yang membuat orang tergerak untuk berbahagia. Sebab, Idul Fitri merupakan sarana refleksi terdalam yang memungkinkan setiap orang meluapkan keindahan terdalam dirinya (inner of beauty).
Lalu, ketika suasana Idul Fitri tahun ini berada dalam masa pandemi Covid-19, bagaimana kita mengekspresikan kebahagiaan yang secara naluri terpatri dalam jiwa kita?
Transformasi kebahagiaan
Dalam buku If You’re So Smart, Why Aren’t You Happy?, Raghutanathan mengingatkan kita semua bahwa, ketika ingin bahagia, sering kali kita mengabaikan kebahagian sebagai unsur penting dalam tujuan hidup. Kita lebih mengedepankan unsur lain, seperti harta, popularitas, status sosial, dan semua hal materiil lainnya.
Secara ide, pandangan Raghutanathan senapas dengan pandangan Quraish Shihab ketika mendeskripsikan bangunan semiotik Idul Fitri dalam buku Membumikan Al Qur’an. Dengan menyitir pesan luhur surat As Sajadah Ayat 7, Quraish Shihab menjelaskan, bahwa melalui Idul Fitri, setiap orang harus sadar dengan asal kejadiannya yang diciptakan dari tanah.
Kita lebih mengedepankan unsur lain, seperti harta, popularitas, status sosial, dan semua hal materiil lainnya.
Dengan demikian, esensi penting yang hendak diingatkan kepada publik adalah Idul Fitri sejatinya merupakan sebuah panggilan jiwa agar kita tulus mengekspresikan nilai-nilai kesucian yang sudah terpatri sejak lahir dan awal kejadian kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, ketika selama ini memanfaatkan Idul Fitri sebagai momentum untuk berbahagia dan berbagi kebahagiaan kepada pihak lain, sejatinya tidak terbelenggu oleh suasana yang kemudian menjadikan kita tidak bisa bahagia dan tidak mau membahagiakan lagi. Dalam kondisi apa pun, termasuk pandemi covid-19, kita harus mampu mentransformasikan kebahagiaan dengan berbagai cara.
Meskipun pandemi Covid-19 sudah mengubah banyak aura kehidupan kita di berbagai ruang privat dan ruang publik. Berbulan lamanya, kita mengalami keterkejutan psikologis dan kegamangan sosiologis, bukan berarti kita harus menggadaikan salah satu tujuan hidup kita yang berpangkal pada kebahagiaan. Sebab, kebahagiaan adalah modal dasar dan modal utama yang sudah terpatri dalam diri kita.
Dengan demikian, Idul fitri yang tahun ini kita jalani di tengah pandemi harus tetap diekspresikan sebagai momentum sakralitas yang menyemburatkan kebahagiaan. Berbagai seremoni Idul Fitri yang kita lakukan dari rumah bukan berarti menjadi alasan untuk mengurung diri dalam dimensi soliter. Sebab, Idul Fitri adalah ruang egaliter yang merangsang setiap orang untuk mengekspresikan beragam senyuman. Dan, setiap senyuman yang kita bagikan kepada pihak adalah shadaqah.
Setidaknya, dengan tetap memanfaatkan Idul Fitri sebagai momentum berbagai kebahagiaan dan senyuman, sebagian masalah yang kita alami selama pandemi Covid-19 bisa terkurangi. Dalam kaitan ini, ketika kita bisa bangkit dari suasana kemurungan dan belajar berdamai dengan pandemi Covid-19, kita pun akan belajar optimistis untuk menjalani masa-masa pacelik ini dengan bahagia.
Sebab, Idul Fitri adalah ruang egaliter yang merangsang setiap orang untuk mengekspresikan beragam senyuman.
Latihan berbahagia
Meski demikian, untuk bisa konsisten dengan aura kebahagiaan, tentu
membutuhkan latihan dan ketekunan. Momentum Idul Fitri yang kita rayakan hanyalah salah satu pintu masuk untuk memantik proses awal agar kita mengaktifkan kebahagiaan. Kita pun tidak bisa menganggap sepenuhnya bahwa setelah Idul Fitri secara otomatis kita menjadi bahagia. Sebab, Idul Fitri hanya menjadi sarana introspeksi dan refleksi agar kita selalu berupaya kembali kepada naluri sebagai sosok yang suci dan bahagia.
Oleh karena itu, sebagai proses latihan dan belajar menumbuhkan kebahagiaan, buku Raghutanathan menguraikan beberapa tips agar kita konsisten dengan tujuan hidup; bahagia. Pertama, sebelum mengambil keputusan apa pun, kita harus selalu mengingatkan diri kita bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup.
Kedua, sehubungan proses berkehidupan kita tergantung kepada pihak lain, baik tergantung kepada manusia, alam, dan terlebih Tuhan sang Pencipta, maka langkah awal yang harus kita lakukan adalah berterima kasih kepada siapa pun yang sudah memberikan pelajaran dan dampak positif dalam hidup kita.
Ketiga, ketika kita melakukan kebaikan seharusnya dengan acak. Sebab, kebahagiaan yang kita rasakan sering kali bersinggungan dengan kebaikan yang kita berikan kepada setiap orang. Keempat, belajar memaafkan dengan tulus dan ikhlas sebagaimana yang kita lakukan saat Idul Fitri. Jadi, Idul Fitri harus menjadi energi rekonsiliasi dan introspeksi dalam keseharian kita.
Kelima, belajar menjalani hidup hari ini dengan penuh kesadaran. Dengan demikian, kita terdorong untuk selalu mensyukuri atas nikmat yang kita peroleh.
Itulah beberapa cara yang bisa kita lakukan agar kita selalu bahagia dalam menjalani berbagai episode kehidupan ini. Tiada alasan bagi kita untuk menyalahkan dan mengumpat siapa pun dalam masa-masa pandemi Covid-19. Sebab, tiada sebuah kejadian yang diciptakan oleh Allah kecuali sebagai bahan refleksi agar kita selalu sadar diri.
(Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga)