Hiruk Pikuk Pendataan
Lewat pusat data nasional yang terintegrasi dan dinamis, urusan bantuan sosial tidak perlu lagi menimbulkan hiruk pikuk. Kita bergotong royong membangun data kependudukan yang inovatif dan berbasis teknologi.
Pandemi Covid-19 ini memberi banyak hikmah dalam segala kesulitan dan keterbatasan kita. Salah satunya adalah riuhnya bantuan sosial. Urusan pendataan ternyata belum juga rapi dalam usia republik yang menjelang 75 tahun.
Media memberitakan bagaimana menteri dan gubernur, bupati, serta DPRD saling silang pendapat. Akibat ketidaksiapan menghadapi pandemi, muncul situasi riuh.
Sebagai konsekuensi demokrasi, kita memang cenderung lebih ramai. Bahkan, Amerika Serikat pun menghadapi situasi yang sama. Namun, kita tidak bisa menjadikan situasi negara lain sebagai pembenaran guna menutupi kelemahan kita sendiri.
Maka, baiklah momen pandemi ini dijadikan ajang pembuktian semangat Pancasila dengan gotong royongnya. Pertama-tama dari jajaran pemerintahan sendiri, untuk fokus menata kembali kependudukan, sebelum kita bicara soal dana, yang juga tidak mudah untuk direalokasikan.
Pertama-tama dari jajaran pemerintahan sendiri, untuk fokus menata kembali kependudukan, sebelum kita bicara soal dana, yang juga tidak mudah untuk direalokasikan.
Integrasi data
Data kependudukan harus didesain secara terintegrasi dan dinamis. Semua variabel, termasuk data kemiskinan, harus terintegrasi pada satu pusat data dengan dukungan teknologi. Dengan adanya satu pusat data, setiap elemen pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat bisa secara berkala memutakhirkan data.
Tidak terintegrasinya data kependudukan serta lambannya pemutakhiran membuat pemerintah repot sendiri. Harian Kompas dalam artikel ”Penyaluran Terkendala Tumpang Tindih Data”, Rabu (6/5/2020), menggambarkan bagaimana Menteri Sosial kesulitan menyalurkan Rp 60 triliun bantuan sosial dalam masa pandemi karena terkendala data kependudukan.
Untuk itu, harus ada investasi pada pusat data yang terintegrasi dan terbuka untuk senantiasa dimutakhirkan.
Struktur pemerintahan kita sebenarnya baik dan rapi, dari Presiden hingga Rukun Tetangga dan warga. Ini adalah modal sosial yang mesti dioptimalkan. Dengan potensi jangkauan internet yang kini meluas, data kependudukan bisa bergerak dinamis setiap hari lewat laporan dari unit pemerintahan terkecil.
Sebagaimana disampaikan Johnny Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika, dalam rapat kerja bersama Komite I DPR, Selasa (5/5), cakupan seluler untuk 4G setidaknya telah menjangkau 87,44 persen wilayah desa dan kelurahan. Untuk layanan seluler 2G menjangkau 92,99 persen dan layanan seluler 3G mencapai 83,75 persen.
Berbasis wilayah
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, tercatat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa dan 8.444 kelurahan di Indonesia. Inilah modal integrasi dan pemutakhiran data kependudukan secara nasional.
Para pihak terkait data kependudukan mesti duduk bersama dan atas instruksi Presiden ditata kembali peran dan kewenangan masing-masing, dengan standar sama. Pendekatan ini mestinya juga berlaku untuk semua, tak hanya di kependudukan.
Para pihak terkait data kependudukan mesti duduk bersama dan atas instruksi Presiden ditata kembali peran dan kewenangan masing-masing, dengan standar sama.
Sudah saatnya basis data kependudukan kita terintegrasi dan dinamis sehingga selanjutnya mekanisme penyaluran bantuan sosial, seperti dalam situasi saat ini, dapat dirancang dan disalurkan dengan baik, adil, dan merata.
Sensus penduduk yang digelar BPS saat ini mestinya menjadi momentum untuk pendataan yang holistik sekaligus modal dalam pemetaan kemiskinan, jangkauan internet, ataupun akses perbankan penduduk. Dengan demikian, masalah data kependudukan dan mekanisme penyaluran bantuan sosial ke depan tak lagi jadi persoalan.
Saya mendorong pemerintah daerah untuk menempatkan urusan pendataan penduduk sebagai salah satu prioritas di wilayah masing-masing. Dengan demikian, masalah data kependudukan segera teratasi, dan data dikelola dengan baik dan benar.
Selanjutnya pemerintah pusat perlu merancang pusat data kependudukan yang terintegrasi dan bisa dimutakhirkan berdasarkan mekanisme pelaporan dari bawah. Dari data inilah, baik pemerintah pusat maupun daerah bisa berbagi peran dalam penyaluran bantuan sosial menurut ranah masing-masing.
Jaga netralitas
Kalau ini bisa dibereskan, selanjutnya tinggal memastikan penyaluran bantuan sosial dikelola secara baik, benar, dan adil oleh pemangku kepentingan. Termasuk memastikan agar bantuan sosial tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik perseorangan atau golongan, terutama dalam masa pilkada.
Urusan bantuan sosial itu, menurut hemat saya, memiliki tiga unsur utama: kesempatan, kecepatan, dan ketepatan.
Kesempatan terkait dengan rutinitas pemantauan kondisi warga yang bisa dilaporkan berkala. Misalnya, kematian dan kelahiran penduduk, pihak RT atau RW bisa melaporkan untuk pemutakhiran data ke desa atau kelurahan secara berjenjang, sampai ke instansi kependudukan.
Urusan bantuan sosial itu, menurut hemat saya, memiliki tiga unsur utama: kesempatan, kecepatan, dan ketepatan.
Kecepatan berkaitan dengan waktu penyaluran bantuan sosial yang tidak bertele-tele dan bisa seketika karena telah terintegrasi datanya. Artinya, bantuan sosial mesti dilakukan cepat dan tidak menunggu masyarakat bebannya bertambah berat.
Ketepatan adalah elemen penting yang terkait penerima bantuan. Agar bantuan tidak salah sasaran, pemutakhiran data mesti selalu dilakukan pada basis data yang ada. Data juga bisa dipublikasikan di tingkat desa/kelurahan hingga RT dan RW untuk memudahkan peran serta masyarakat.
Bergotong royong, mari kita membangun data kependudukan yang inovatif dan berbasis teknologi, mengingat data kependudukan memiliki dimensi luas terhadap beragam kepentingan lintas sektoral.
Lewat pusat data nasional yang terintegrasi dan dinamis, urusan bantuan sosial tidak perlu lagi menimbulkan hiruk pikuk. Bergotong royong kita mengabdi sebagai pemimpin daerah dengan benar.
(A Teras Narang, Ketua Komite I DPD RI; Gubernur Kalimantan Tengah Periode 2005-2015)