Faktor pendekatan budaya akan sangat melekat dalam merancang kebijakan publik pada era normal baru pasca-Covid-19.
Oleh
ARI KUNCORO - REKTOR UNIVERSITAS INDONESIA
·5 menit baca
Ekspektasi pemulihan ekonomi akan terjadi dengan cepat ala huruf V setelah penguncian wilayah (lockdown) di Wuhan, China, dicabut, tampaknya tidak akan segera terwujud. Pembelajaran yang diperoleh, walaupun pertokoan, toko kelontong, restoran, dan lain-lain sudah buka, tetapi trauma dan ketakutan akan penularan Covid-19 menyebabkan masyarakat masih enggan melakukan aktivitas konsumsi.
Di sisi produksi, kerusakan pada rantai pasok tidak dapat segera diperbaiki sehingga pabrik-pabrik, bahkan rumah makan, tidak dapat segera beroperasi karena kekurangan bahan baku dan bahan mentah. Pertumbuhan China yang mengalami kontraksi 6,8 persen pada triwulan I-2020 juga menunjukkan Wuhan sebagai salah satu pusat rantai pasok manufaktur yang terkait dengan semua negara dan dunia.
Data pertumbuhan ekonomi terbaru menunjukkan, ada korelasi antara keketatan penguncian wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Amerika Serikat mencatat pertumbuhan negatif 4,8 persen di triwulan I-2020. Hal ini mendorong 16 pemerintah negara-negara bagian untuk mulai membuka perekonomian.
Sementara negara-negara di Eropa yang melakukan karantina wilayah ketat mengalami kontraksi ekonomi lebih dalam. Perancis dan Spanyol masing-masing mengalami pertumbuhan negatif 5,8 persen dan 5,2 persen serta Italia dengan minus 4,8 persen. Sebaliknya, negara-negara yang memilih karantina wilayah yang tidak terlalu ketat mencatat pertumbuhan lebih baik. Jerman dan Inggris mencatat pertumbuhan yang sama, yaitu minus 2,2 persen, sedangkan Swedia dan Belanda masing-masing tumbuh minus 0,3 dan dan minus 0,5 persen.
Jepang, salah satu negara pusat manufaktur dunia dengan perusahaan-perusahan subsider yang tersebar di seluruh dunia, barangkali merupakan negara yang paling sadar pentingnya menjaga rantai pasokan. Jepang yang dari awal memang secara terbuka tidak mendeklarasikan karantina wilayah, melainkan darurat kesehatan, mengalami pertumbuhan minus 1,8 persen. Berita terakhir melaporkan kondisi kedaruratan kesehatan untuk Osaka sudah dicabut, yang memberi sinyal proses pemulihan sudah dimulai.
Negara-negara yang disebutkan di atas mengklaim menggunakan data dan sains dalam mempertimbangkan pembukaan kembali ekonominya. Namun, waktu yang dipilih untuk melakukan relaksasi tampaknya juga dipengaruhi data pertumbuhan ekonomi yang memprihatinkan. Tidak tertutup kemungkinan mereka juga memperhatikan data solvabilitas dan likuiditas perusahaan-perusahaan terdampak. Salah satu yang sangat kompleks dalam relaksasi penguncian wilayah adalah menggiring ekspektasi masyarakat ke arah normal baru dengan menyeimbangkan kedaruratan kesehatan sekaligus menjaga perekonomian agar tetap berjalan.
Fase perlambatan
Di Indonesia, pencegahan penularan Covid-19 dilakukan dengan membatasi interaksi sisi permintaan dan produksi perekonomian melalui pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dirancang mempunyai fleksilibilitas dalam penyaluran logistik.
Kendati demikian, kondisi darurat kesehatan tetap berpengaruh pada keyakinan konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada April melemah dengan tajam ke 84,8 dari 113,8 pada bulan sebelumnya. Ekspektasi negatif ini konsisten dengan penurunan konsumsi barang-barang tahan lama, seperti elektronik, furnitur, dan perkakas rumah tangga. Akibatnya, pertumbuhan konsumsi masyarakat pada triwulan I-2020 hanya 2,84 persen secara tahunan, turun dari 5,02 persen pada triwulan sebelumnya.
Secara keseluruhan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) triwulan I-2020 sebesar 2,97 persen juga menunjukkan dampak dari Covid-19 sudah mulai dirasakan pada Februari di sektor transportasi dan pariwisata. Hal ini bisa dilihat dari penurunan jumlah wisatawan dari luar negeri yang merambat ke sektor perdagangan, hotel, dan restoran.
Masyarakat tampaknya memerlukan suasana baru, yang merupakan dilema tersendiri bagi berbagai pemerintah daerah.
Transportasi dan pergudangan menurun dari 5,45 persen ke 1,27 persen Sektor perdagangan melemah ke 1,97 persen dari 5,21 persen pada triwulan sebelumnya. Hotel dan restoran terpangkas dari 5,87 persen ke 1,95 persen. Berdasarkan pengalaman dari beberapa krisis sebelumnya di dalam negeri dan luar negeri, justru sektor-sektor ini yang akan pulih lebih dahulu. Potensinya sebagai jangkar pemulihan sangat besar, dengan syarat prosedur ketat pencegahan Covid-19 diterapkan dengan disiplin yang tinggi. Kuncinya, mencari keseimbangan yang tepat.
Daya beli masyarakat sebenarnya masih cukup besar setelah terkungkung di rumah sekian lama. Namun, tanpa penanganan kedaruratan kesehatan yang baik, risiko penularan akan tinggi. Hal ini terlihat dari kerumunan orang di pasar tradisional dan pasar malam kagetan yang semakin banyak, untuk berbelanja keperluan lebaran di tengah PSBB. Masyarakat tampaknya memerlukan suasana baru, yang merupakan dilema tersendiri bagi berbagai pemerintah daerah.
Fase flatliner
Fase ini akan berjalan di triwulan II dan III-2020. Awalnya ditandai dengan pertumbuhan yang sangat rendah, bahkan negatif, antara -1,1 persen dan dengan -0.3 persen pada triwulan II. Kemudian, disusul pertumbuhan rata (flat) pada triwulan III, yakni antara -0,1 dan 0,5 persen. Pola pemulihan akan berbentuk huruf U dengan pola bergerigi di pinggirnya seperti penampakan virus korona. Hal ini menunjukkan, walaupun sektor perdagangan, hotel dan restoran berpotensi mengikuti pola pemulihan cepat ala V, sektor manufaktur dengan porsi dalam produk domestik bruto (PDB) yang sekitar 22 persen, masih akan menjadi hambatan. Penyebabnya, masyarakat masih akan mengutamakan kebutuhan sandang-pangan, hiburan, dan rekreasi, tetapi masih menunda konsumsi barang tahan lama paling tidak sampai triwulan IV-2020.
Jika kelak terjadi percepatan pertumbuhan, manufaktur akan dimotori sub-industri makanan dan minuman. Pada fase ini, untuk mencegah kontraksi perekonomian yang lebih dalam, pemerintah melakukan beberapa kebijakan, di antaranya perluasan perlindungan sosial, meminimalkan resesi pada sektor-sektor terdampak, perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta relaksasi perbankan dan relaksasi fiskal.
Fase normal baru
Perilaku hidup sehat seperti pemakaian masker, penyanitasi tangan, menjaga jarak, dan penggunaan transaksi dalam jaringan akan menjadi prosedur operasi standar dalam kehidupan sehari-hari. Pengaturan antrean, pesanan ambil, dan pesanan tanpa singgah menjadi kebiasaan baru untuk restoran cepat saji. Meja-meja dibatasi dengan plastik tembus pandang untuk mencegah semburan droplet. Sarana transportasi dan pariwisata akan membatasi tingkat okupansi justru untuk menarik pelanggan.
Kebutuhan normal baru akan menjadi peluang bagi pertumbuhan industri logistik dan transportasi, pendidikan berbasis daring, kesehatan, dan lain-lain. Hal ini merupakan kesempatan untuk memperkuat kemandirian ekonomi, khususnya mengembangkan rantai pasokan dalam negeri dalam pertanian, industri. perdagangan, pariwisata, dan jasa-jasa umum. Jika skenario ini dapat tercapai, diperkirakan mulai terjadi percepatan di fase akhir pada triwulan IV-2020, dengan pertumbuhan 4-4,4 persen, yang momentumnya dapat dilanjutkan pada 2021.
Pada era normal baru, kebijakan menyelamatkan nyawa manusia akibat wabah Covid-19 akan seiring sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi. Seperti yang terlihat dalam suasana keramaian sekitar Lebaran yang baru lalu, meyakinkan masyarakat untuk kembali beraktivitas dengan memperhatikan protokol pencegahan Covid-19 yang ketat adalah yang paling sulit. Faktor pendekatan budaya akan sangat melekat dalam merancang kebijakan publik pada era normal baru pasca-Covid-19 ini.