Lorong Gelap Kejahatan Transnasional di Sektor Perikanan
Rekaman pelarungan jenazah ABK WNI menyadarkan kita, pemberantasan ”illegal fishing” dan kejahatan perikanan harus dilakukan secara paralel karena jiwa manusia penting untuk diselamatkan.
Rekaman video yang diunggah oleh Jang Hansol tentang pembuangan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia di tengah Samudra Pasifik menuai reaksi khalayak Indonesia.
Terdapat empat kapal ikan berbendera China yang ditengarai terlibat dengan kejadian ini, yaitu 629, Long Xing 605, Long Xing 802, dan Tian Yu 8.
Rekaman itu telah menjadi keprihatinan mendalam karena terdapat tiga hal yang terlihat. Pertama, proses penguburan yang tampak tak normal dan manusiawi sebagaimana dilakukan di darat.
Kedua, dalam rekaman video juga terdapat praktik lain yang merupakan bagian dari modern slavery dan forced labour, yaitu jam kerja di luar kewajaran, perlakuan diskriminatif, eksploitasi tenaga kerja, serta dugaan cedera janji untuk menerima asuransi. Ketiga, dugaan illegal fishing oleh kapal ikan itu.
Dari informasi yang berhasil dihimpun, 18 ABK Indonesia menjadi korban. Dari jumlah itu, tiga dimakamkan di laut, satu meninggal di Busan, Korea Selatan. Peristiwa pelarungan jenazah ABK WNI ini perlu dilihat secara komprehensif dalam kerangka instrumen hukum. Apabila benar locus delicti berada di Samudra Pasifik, kapal ikan berbendera China itu dapat menggunakan Pasal 30, Seafarer’s Service Regulations, sebagai tindak lanjut The Seafarer Act yang mengatur pemakaman di laut (sea burial).
Dalam konteks Hukum Laut Internasional, apabila pelarungan dilakukan di high seas, yang berlaku adalah peraturan negara bendera kapal (flag state jurisdiction). Meski demikian, pelaksanaan peraturan ini juga harus merujuk perjanjian kontrak antara pemilik kapal dan para ABK.
Protokol pemakaman di laut juga dapat ditemukan di International Medical Guide for Ships sebagai instrumen internasional yang tidak mengikat. Buku ini memberikan panduan untuk melakukan diagnosis, merawat, dan mencegah masalah kesehatan pelaut di atas kapal.
Peristiwa pelarungan jenazah ABK WNI ini perlu dilihat secara komprehensif dalam kerangka instrumen hukum.
Keselamatan kerja ABK
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan, lebih dari 158 juta penduduk diperkirakan bekerja di sektor perikanan tangkap dan budidaya. Sekitar 15 juta orang di antaranya bekerja di kapal perikanan. Pekerjaan ini sangat berisiko dan rawan karena pada saat terluka atau sakit di laut, nelayan tidak memiliki akses yang memadai terhadap fasilitas medis.
Apabila berada di tengah laut dalam kondisi yang sangat parah, evakuasi medis menjadi hal yang hampir mustahil, terutama saat kapal nelayan itu merupakan armada kapal ikan yang beroperasi jauh. Keselamatan mereka menjadi taruhan.
ILO menjadi lembaga internasional yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pekerja di darat dan di laut. Salah satu instrumen yang mengatur mengenai keselamatan nelayan adalah Work in Fishing Convention, 2007 (Nomor 188) beserta Work in Fishing Recommendation, 2007 (Nomor 199). Konvensi ini menetapkan agar nelayan terjamin akomodasi dan makanan, memiliki perlindungan kerja dan keselamatan kerja, serta mendapatkan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
Konvensi ini mulai berlaku pada 16 November 2017 dengan 18 negara pihak, tidak termasuk Indonesia. Indonesia menjadi negara pihak pada Maritime Labour Convention 2006 yang mengatur perlindungan terhadap ABK, tetapi konvensi ini tidak mencakup ABK kapal perikanan.
Work in Fishing Convention, 2007 (Nomor 188) lebih menekankan pada langkah- langkah preventif sehingga tidak ada ketentuan mengenai pemakaman di laut. Apabila Indonesia menyatakan terikat dengan konvensi ini, ABK Indonesia bisa lebih terlindungi keselamatannya terutama di kapal perikanan yang berbendera sesama negara pihak konvensi.
Kejahatan perikanan
Forced labour dan modern slavery merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh kapal perikanan saat melakukan illegal fishing. Dua kejahatan perikanan itu juga umumnya transnasional. Kapal ikan tuna berbendera China itu melakukan illegal fishing karena dengan menangkap ikan hiu, kapal tersebut telah menyalahi ketentuan Regional Fisheries Management Organizations. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa illegal fishing dan kejahatan di bidang perikanan berjalan secara berdampingan, saling menyokong.
Terdapat tiga alasan yang membuat illegal fishing dan menurunnya stok ikan memperburuk kondisi para ABK yang bekerja di atas kapal ikan dan bisa berakibat munculnya forced labour dan modern slavery.
Forced labour dan modern slavery merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh kapal perikanan saat melakukan illegal fishing.
Pertama, pemilik kapal akan menekan pengeluaran dengan menerapkan standar keselamatan yang rendah bagi ABK. Kedua, stok ikan yang menurun membuat pengelolaan sumber daya ikan menjadi lebih ketat sehingga keselamatan ABK bisa terabaikan. Ketiga, illegal fishing yang transnasional dan semakin terorganisasi menempatkan ABK dalam posisi yang rawan.
Lorong gelap yang dihadapi ABK tidak berhenti di sana. Di lapangan, ABK kapal ikan sering menghadapi kesulitan bahasa karena para kru kapal berasal dari sejumlah negara. Banyak di antara mereka buta huruf dan merupakan tenaga kerja tidak terampil.
Kejahatan perikanan, terutama forced labour dan modern slavery, dapat diberantas dengan memperkuat instrumen hukum untuk menjamin keselamatan dan standar pekerja. Di samping instrumen hukum ILO, Organisasi Maritim Internasional juga berperan melalui The Cape Town Agreement of 2001 dan The Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Personnel 1995 (STCW-F 1995).
Kejahatan perikanan, terutama forced labour dan modern slavery, dapat diberantas dengan memperkuat instrumen hukum untuk menjamin keselamatan dan standar pekerja.
Indonesia telah meratifikasi STCW-F 1995 melalui Perpres No 18/2019, tetapi Indonesia perlu segera menyetujui untuk mengikatkan diri (consent to bound) dengan instrumen Work in Fishing Convention 2007 (Nomor 188) dan The Cape Town Agreement.
Rekaman pelarungan jenazah ABK WNI juga menyadarkan kita, pemberantasan illegal fishing dan kejahatan perikanan harus dilakukan secara paralel karena jiwa manusia juga penting untuk diselamatkan. Lorong gelap kejahatan perikanan harus segera diterangi demi jiwa anak bangsa yang bertarung di laut.
(Zaki Mubarok, PhD dari University of Wollongong dan Expert di Global Initiative Against Transnational Organized Crime)