Wajar omnibus law RUU Cipta kerja ditolak banyak kalangan karena dalam konteks pembangunan pangan nasional, kehadirannya justru melemahkan pertanian pangan dan UMKM pangan yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja.
Oleh
Idham Arsyad
·5 menit baca
Omnibus law RUU Cipta Kerja hadir pada saat bangsa Indonesia tengah berjibaku memutus ketergantungan pada produk-produk pertanian impor, khususnya pertanian pangan. Saat pembahasan RUU Cipta Kerja, Badan Pangan Dunia (FAO) mengeluarkan peringatan akan adanya ancaman krisis pangan global akibat pandemi Covid-19.
Di masa normal saja kondisi ketahanan kita tak aman. The Global Hunger Index (2019) menempatkan Indonesia di peringkat ke-130 dari 197 negara, dengan tingkat kelaparan ”serius”. Diperkirakan 8,3 persen populasi tak mendapat gizi cukup dan 32,7 persen anak balita mengalami tengkes.
Ancaman krisis pangan global seharusnya dijawab dengan memperkuat produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Namun, undang-undang sapu jagat justru datang dengan konstruksi hukum yang berlawanan.
Dengan merevisi ketentuan terkait penguatan produksi dalam negeri dan pengetatan impor pangan pokok yang tertuang dalam UU Pangan, UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan No 22/2019 dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No 19/2013, kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan Indonesia menjadi ambyar.
Ancaman krisis pangan global seharusnya dijawab dengan memperkuat produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional, sebagaimana ditegaskan dalam UU Pangan No 18/2012.
Di luar konteks
Omnibus law RUU Cipta Kerja memisahkan kluster pertanian dan pangan. UU Pangan justru tak masuk kluster pertanian, tetapi digabungkan dalam kluster kesehatan, obat, dan makanan. UU Pangan satu rombongan bus dengan UU Kesehatan No 36/2009, UU Rumah Sakit No 44/2009, UU Psikotropika No 5/1997, dan UU Narkotika No 35/2009.
Perubahan nomenklatur dari ”pangan” menjadi ”makanan” melahirkan pertanyaan terkait tujuan pembangunan hukum pangan seperti apa yang hendak dicapai. Konteks kelahiran UU Pangan No 18/2012 bukan sekadar menggantikan kebijakan pangan Orde Baru, UU Pangan No 7/1996 yang sudah tak sesuai dengan tantangan lingkungan strategis nasional dan internasional.
Beleid pangan yang baru ini mengusung ide pembaruan hukum (legal reform) di sektor pangan, yakni kedaulatan pangan, kemandirian pangan, ketahanan pangan, serta keamanan pangan menjadi landasan, kerangka hukum, dan strategi penyelenggaraan pembangunan pangan nasional. Hasil akhir yang hendak dicapai adalah terbentuk SDM Indonesia, baik sebagai kelompok maupun perseorangan yang sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Suryana dan Khalil, 2017).
Jelas bahwa kedaulatan pangan dan kemandirian pangan menjadi roh dalam UU Pangan. Karena itu, konstruksi hukum yang dibangun adalah pencapaian ketahanan pangan nasional melalui penguatan produksi dalam negeri dan bersumber dari cadangan pangan nasional.
Impor pangan tak dilarang, tetapi hanya pelengkap, bukan utama. Undang-undang sapu jagat yang merevisi ketentuan Pasal 1 Ayat (7) dan Pasal 15 sehingga impor pangan jadi sumber pangan utama seperti produk dalam negeri dan cadangan pangan nasional, serta menghapus ketentuan impor pangan sebagaimana diatur Pasal 39 UU Pangan dan Pasal 30 dan 101 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani No 19/2013 sebenarnya sedang menafikan dua kondisi subyektif pangan Indonesia selama ini.
Jelas bahwa kedaulatan pangan dan kemandirian pangan menjadi roh dalam UU Pangan.
Pertama, dengan luas lahan 570.000 km persegi sektor pertanian pangan kita belum menghasilkan kinerja yang baik. Berdasarkan data BPS, rendahnya kinerja pertumbuhan pertanian dipengaruhi subsektor pangan yang pada triwulan III-2019 minus 4,8 persen. Padahal, tanaman pangan menyumbang sekitar 30 persen total PDB pertanian.
Kondisi minus di atas salah satunya dipengaruhi kegiatan impor pangan yang menjadi pekerjaan rutin tahunan. Sejak 1960 sampai sekarang kita impor beras. Impor jagung dimulai sejak 1989 sampai sekarang.
Tahun ini direncanakan impor gula 781.828 ton. BPS menyebutkan sepanjang Januari 2020 impor bawang putih mencapai 1.508 ton senilai 1,8 juta dollar AS. Impor kedelai 1,31 juta ton dan kacang tanah 186.000 ton. Meski Indonesia memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia, impor garam mencapai angka 2,9 juta ton untuk 2020.
Kedua, dalam lima tahun terakhir, kinerja ekspor beberapa produk pertanian kita menunjukkan tren positif. Tahun 2019 Indonesia menjadi eksportir produk pertanian terbesar kelima. Total nilai ekspor komoditas pertanian meningkat dari Rp 403,8 triliun (2015) menjadi Rp 416,8 triliun (2018) atau sekitar 29,21 miliar dollar AS. Akumulasi nilai ekspor sejak 2015 hingga 2018 mencapai Rp 1.764 triliun atau terjadi peningkatan sebesar 29,7 persen.
Pada 2018, ekspor produk pertanian mencapai 42,5 juta ton. Namun, ini dipengaruhi kinerja komoditas sawit dengan produksi 32,02 juta ton. Menurut Investopedia, 50 persen sawit dunia diekspor dari Indonesia, senilai 17,89 miliar dollar AS. Semestinya omnibus law RUU Cipta kerja hadir untuk memulihkan Indonesia dari ketergantungan impor pangan, dan menguatkan ekspor pangan dengan memperkuat produksi dalam negeri yang lima tahun terakhir mulai bangkit.
Meski Indonesia memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia, impor garam mencapai angka 2,9 juta ton untuk 2020.
Petani dan UMKM
Proses penyingkiran petani dimulai dengan tidak melindungi lahan pertanian yang telah memiliki jaringan pengairan lengkap dengan menghapuskan ketentuan Pasal 19 Ayat (3) dan mengubah Ayat (4) UU No 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian. Penyingkiran petani juga terlihat dari perubahan Pasal 88 Ayat (1) dengan menghapus frasa ”petani, nelayan, dan pembudidaya ikan” sebagai aktor yang bisa terlibat dalam usaha pangan segar. Sangat jelas RUU ini mengesampingkan dan menafikan keberadaan petani, nelayan pembudidaya (rumah tangga) skala kecil yang mayoritas ada di Indonesia.
Menghapus dan merevisi sejumlah ketentuan dalam UU Hortikultura No 13/2010 semakin menunjukkan ketidakberpihakan pada petani dan sektor UMKM pangan. Misalnya: Mengubah Pasal 33 Ayat (1) yang mengutamakan penggunaan sarana hortikultura dalam negeri; menghapus Pasal 48 yang mengatur klasifikasi unit usaha budidaya hortikultura mulai dari mikro, kecil, sampai besar dan mengubah ketentuan yang mewajibkan pemodal asing dalam usaha hortikultura melakukan alih teknologi kepada pelaku usaha dalam negeri. Juga mengubah Pasal 56 Ayat (3) yang mewajibkan pelaku usaha besar melakukan kemitraan dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
Wajar omnibus law RUU Cipta kerja ditolak banyak kalangan karena dalam konteks pembangunan pangan nasional, kehadirannya justru melemahkan pertanian pangan dan UMKM pangan yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja, khususnya di perdesaan.
Sangat jelas RUU ini mengesampingkan dan menafikan keberadaan petani, nelayan pembudidaya (rumah tangga) skala kecil yang mayoritas ada di Indonesia.
(Idham Arsyad, Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria)