WHO menyatakan, cara terbaik untuk mengendalikan Covid-19 adalah melakukan tes sebanyak-banyaknya. Memang uji cepat ada kekurangannya, tetapi paling tidak bisa membantu menapis dan memetakan penularan. Hasil uji cepat yang reaktif dikonfirmasi dengan tes PCR.
Indonesia saat ini baru melakukan tes pada 0,75 orang per 1.000 penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat 38,00 orang per 1.000 penduduk, Singapura 42,09; Malaysia 14,28; Filipina 2,23; Thailand 4,10; Vietnam 2,83; bahkan India sudah 1,74.
Kalau pemerintah tidak mampu melakukan uji cepat dengan cepat dan banyak, mengapa tidak sekalian saja keran impor kit uji cepat dibuka sehingga kit tersebut dapat dijual bebas seperti di Eropa, Amerika Serikat, Afrika, dan beberapa negara di Asia.
Terus terang saya ingin sekali membeli kit uji cepat tersebut dalam jumlah besar, untuk dibagikan kepada banyak saudara, teman, relasi, karyawan, tetangga, dan orang-orang yang saya kenal. Karena saya pun ingin tahu apakah mereka memang benar-benar sehat, walaupun saya dengar dan lihat, mereka sehat-sehat saja.
Saya yakin, banyak perusahaan juga ingin menguji karyawannya secara mandiri. Demikian juga banyak lembaga swasta yang ingin uji cepat mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Menurut saya, terlalu mewah kalau pemerintah mengatasi sendiri persoalan korona ini, terlebih kit uji cepat yang sekarang malah jadi ajang bisnis beberapa rumah sakit, padahal tidak dijual bebas. Aneh.
Biarkan rakyat Indonesia secara mandiri dan dengan kesadaran sendiri terlibat aktif dalam hal uji cepat. Tak perlu dikendalikan, untuk apa? Dengan demikian, Covid-19 ini segera teratasi dan terpetakan dengan benar.
Indragung Priyambodo
Bumi Sentosa RT 008 RW 009, Cibinong, Bogor
Covid-19 dan Danau Toba
Sulit untuk tidak menghubungkan pandemi Covid-19 dengan kerusakan ekologi planet Bumi. Joan Damaiko Udo dalam tulisannya, “Covid-19 dan Pertobatan Ekologis” (Kompas, 19/5/2020), mengajak kita kembali hidup harmoni dengan alam.
Jika alam terus dieksploitasi, bencana ekologi dan munculnya virus-virus baru akan menjadi ancaman nyata ke depan. Dalam skala kecil, ancaman itu dapat dialamatkan ke kerusakan ekologi di Kawasan Danau Toba (KDT).
Menurut Joan, pertobatan ekologi artinya mengakui bahwa kerusakan lingkungan adalah kejahatan kemanusiaan. Dari pengakuan, muncul tindakan dan komitmen untuk merawat, memelihara, dan menyembuhkan alam.
Demikian juga terhadap kerusakan ekologi di sekitar Danau Toba. Eksploitasi lingkungan KDT telah berlangsung 35 tahun terakhir. Merusak harmoni di daratan dan perairan, termasuk sosial-budaya masyarakatnya.
Harian Kompas sudah berkali-kali memberitakan, tingkat pencemaran Danau Toba sudah sangat berbahaya. Laporan akhir penelitian Bank Dunia mengonfirmasi bahwa Danau Toba telah tercemar parah akibat limbah keramba jaring apung (KJA), dan peternakan perusahaan besar di darat. Tetapi sampai kini pemerintah diam saja.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhir, tindakan praktis dan konkret mendesak dilakukan. Tidak cukup hanya dengan slogan dan pernyataan. Lakukan tindakan nyata agar kita dapat memelihara kelangsungan hidup ke depan.
Pemerintah perlu bertindak tegas untuk mengakhiri pencemaran Danau Toba agar cadangan air tawarnya dapat optimal dimanfaatkan dan status KDT sebagai tujuan wisata internasional menjadi layak.
Sesungguhnya, saat ini merupakan momentum yang tepat karena Covid-19 memberi kita peringatan. Jangan lagi merusak alam karena alam akan berupaya memulihkan diri dengan cara yang tidak biasa.
Karmel Simatupang
Pengajar FISIP, Universitas Pelita Harapan