Kematian George Floyd menandai kuatnya diskriminasi rasial di AS. Mereka yang dulu selalu berharap melalui mitos "American Dream", kini berteriak, menjerit. "American Dream" menjadi "American Scream!"
Oleh
Manuel Kaisiepo
·4 menit baca
Dalam epilog bukunya yang terkenal itu, Political Tribes: Group Instinc and the Faith of Nations (2018), Amy Chua mengutip puisi lama dari penyair Afro-Amerika, Langston Hughes. Puisi berjudul "Let America be America Again" diciptakan Hughes tahun 1935 di atas kereta yang tengah melaju dari New York menuju Ohio.
Let America be the dream the dreamers dreamed-
Let it be that great strong land of love
(but then a second voice enters:)
It never was America to me
(the first voice replies:)
Say, who are you that mumble in the dark?
(and the second answers:)
I am the poor white, fooled and pushed apart,
I am the Negro bearing slavery\'s scars.
I am the red man driven from the Land,
I am the immigrant clutching the hope I seek-
And finding only the same old stupid plan
Of dog eat dog, of mighty crush the weak.
Tentu ada alasan kuat Amy Chua mengutip kembali puisi itu. Sebab "dream are not real, but they can be made so. The American Dream is a promise of freedom and hope for every individual on the these shores. But it is also a call on all of us to make true the myths we tell ourselves about what America has always been", kata Amy Chua.
Tapi sebelum Amy Chua, puisi Hughes juga pernah digunakan Senator John Kerry dari Partai Demokrat sebagai slogan kampanye presiden tahun 2004: "Let America be America Again!".
Juga Senator Rick Santorum dari Partai Republik pernah menggunakan varian kalimat yang sama dari puisi dalam kampanye politiknya: "berjuang untuk menjadi Amerika lagi!"
Kini, saat membaca kembali puisi yang ditulis 85 tahun lalu itu, rasanya seperti membaca puisi yang baru ditulis beberapa hari lalu. Ada teriakan kesakitan, ada jeritan penderitaan dari kaumnya "the Negro bearing slavery\'s scars". Juga jeritan dari kaum "the red man driven from the Land" dan "the immigrant".
Mereka ini yang dulu selalu berharap melalui mitos "American Dream", kini berteriak, menjerit. "American Dream" menjadi "American Scream!"
Itulah realitas Amerika beberapa hari terakhir ini. Peristiwa tewasnya pemuda kulit hitam George Floyd karena aksi brutal polisi kulit putih di Minneapolis, Senin 25 Mei lalu, menandai bangkitnya kembali praktik rasialisme dan diskriminasi di negeri yang dulu dijadikan simbol kampiun demokrasi itu.
Peristiwa 25 Mei 2020 itu dalam waktu singkat telah memicu gelombang demonstrasi disertai aksi kekerasan di berbagai kota, bahkan sampai ke depan Gedung Putih.
Amerika bersedih! Bukan semata karena kematian George Floyd. Tapi terutama karena meredupnya spirit dan roh dari negara yang dulu selalu menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, mengagungkan prinsip kesetaraan, dan menentang semua bentuk rasialisme dan diskriminasi.
Para tokoh dan pemimpin di Amerika sendiri mulai mempertanyakan seberapa jauh negeri itu masih dipandu oleh spirit "The American Dream", spirit tentang kebebasan dan kesetaraan.
Bahkan mantan Presiden AS Barack Obama menitikan air mata, ketika dia mengomentari aksi brutal rasialis dari polisi dan juga diskriminasi yang masih dihadapi warga kulit hitam, para migran, serta kaum minoritas lainnya di Amerika.
Obama masih berharap, seperti bunyi puisi Hughes, "let America be America again!". Maka Obama pun menulis sebuah esai yang menggugah: "How to Make this Moment the Turning Point for Real Change".
Sesungguh praktik diskriminasi rasialis di Amerika bukan barang baru, bukan baru bermula pada saat tewasnya Geoge Floyd. Praktik ini sudah ada jauh sebelum, terselubung atau terang-terangan.
Namun praktik negatif yang mencederai kemanusiaan sekaligus mencederai "nilai-nilai Amerika" itu baru tampak menguat kembali justru saat Donald Trump menghuni Gedung Putih. Lihatlah reaksinya menghadapi gelombang protes rakyatnya atas diskriminasi dan kekerasan rasialis aparat kepolisian.
Di bawah Trump-lah fenomena "political tribes" seperti dimaksud Amy Chua semakin tumbuh di Amerika. Tentu pemimpin Amerika yang berseberangan dengan Trump, masih banyak. Berarti spirit "The American Dream" masih belum pudar.
Seperti puisi Langston Hughes. Setelah nada-nada sendu pada bait-bait awal, Hughes menutup puisinya dengan "doa", secercah harapan:
O, let America be America again
The Land that never has been yet
And yet music be---the land where every man is free...