Virus korona terus bermutasi untuk pertahankan hidupnya, sementara manusia juga harus bertahan hidup dengan sistem imunnya yang sangat supercanggih. TI jsalah satu tulang punggung penanggulangan Covid-19.
Oleh
Djoko Santoso
·4 menit baca
Sudah lebih dari tiga bulan kita bergelut seru dengan pandemi supervirus Covid-19. Kurva infeksi dan kematian belum juga terlihat puncaknya. Makin luas sektor kehidupan kita yang kena dampak buruk. Kita makin dipaksa untuk bertahan sampai suatu saat nanti ditemukan vaksin dan obat penangkalnya. Kita dipaksa makin hari bisa menerima kehadiran virus ini sebagai suatu kenyataan meski sangat membahayakan.
Inilah ”tatanan” dunia baru gara-gara Covid-19. Bidang kesehatan, ekonomi, pergaulan sosial, proses politik, budaya kerja, semua berubah dan memformat ulang aturan mainnya. Format baru itu bisa jadi akan jangka panjang, bahkan permanen. Sebab, diperkirakan, supervirus ini tak akan bisa musnah sama sekali. Kemampuannya menyebar, bermutasi, dan beradaptasi dengan inang barunya sangat gesit.
Virus korona terus bermutasi untuk pertahankan hidupnya, sementara manusia juga harus tetap bertahan hidup dengan sistem imunnya yang pada dasarnya sangat supercanggih. Karena itu, muncul semacam ajakan agar kita mulai membiasakan diri hidup dengan virus korona, sang ”parasit licik dan bengis” tak kasatmata ini.
Presiden Joko Widodo menggaungkan pula agar kita ”berdamai” dengan korona. Yang kontra akan mengatakan, untuk apa sekarang mengajak berdamai, sementara tiga bulan lalu Presiden justru mencanangkan perang. Muncul anggapan Presiden sudah tak sanggup mengatasi wabah korona dan karena itu mulai menyerah, dengan mengajak ”berdamai”.
Sementara pihak yang pro melihat ajakan Presiden ini lebih sebagai ajakan untuk bersama-sama menyesuaikan diri. Ajakan ”berdamai” dimaknai agar kita bisa menerima kenyataan adanya virus korona, tetapi tetap berupaya mengatasinya, melanjutkan hidup, dan membangun negara.
Mau tak mau kita memang harus menyesuaikan diri dan, syukurlah, itu sangat terbantu dengan teknologi informasi digital (TI). Dalam keterbatasan gerak, kita kian akrab dengan e-meeting, e-shopping, e-lecturing, e-schooling, e-teaching, e-medical, e-health, e-doctor, e-mentoring, e-tutorial, e-silaturahmi, e-salaman, e-sungkeman, dan terus berkembang. Rumah kembali menjadi pusat dunia. Dari sana, segenap anggota keluarga terkoneksi dengan dunia luar. Memang, mengalami dan merasakan sentuhan langsung dalam bekerja dan beraktivitas dalam interaksi nyata banyak keunggulannya, tetapi setidaknya dunia kita tak berhenti berkat TI.
TI juga jadi tulang punggung penanggulangan Covid-19. Yang termasuk menonjol adalah pemanfaatan biometrik digital. Sistem biometrik digital menyebar dan sangat dominan di semua sektor kehidupan, seperti yang terlihat di Korea Selatan, Jepang, Singapura, Taiwan, dan China, juga di Eropa dan Amerika Serikat.
Di sektor tanggap kesehatan, warga yang mendatangi layanan kesehatan ataupun dikunjungi petugas kesehatan, tak lepas dari koneksi internet dan sistem aplikasi. Dengan proses ini, akan terkumpul secara massal data biometrik atau informasi pokok kesehatan individu yang bisa terkoneksi secara digital. Dari sini, sangat mudah melacak dan memetakan keberadaan pasien secara akurat.
Perangkat sensor dan sistem algoritma juga dominan digunakan untuk media interaksi, baik dalam tatanan pengawasan, evaluasi, komunikasi, maupun promosi kesehatan. Pekerjaan dokter untuk memeriksa wajah pasien guna meyakini apakah pasien sakit atau sehat, sekarang bisa diambil alih oleh kamera dengan kemampuan mengenali wajah, suhu badan, dan tekanan darah, serta denyut nadi dengan selanjutnya bergantung pada kebutuhan.
Dengan perangkat berteknologi TI, menjadi lebih mudah untuk mengetahui kondisi pasien, mengidentifikasi suspect (tersangka) pembawa virus korona, melacak perjalanannya, mengidentifikasi siapa saja yang berhubungan dengannya dalam rentang waktu tertentu. Analisis digital bisa digunakan untuk memperingatkan warga tentang bahayanya berdekatan dengan pasien yang terinfeksi korona.
Sekarang ini pemakaian gelang biometrik makin biasa. Pada pemakai gelang ini, bisa diketahui suhu tubuh dan denyut nadi jantungnya kapan saja, datanya bisa langsung disimpan dan kemudian dianalisis oleh mesin algoritma. Penanganan awal pasien korona sangat terbantu oleh bantuan mesin cerdas algoritma ini. Demikian juga, TI sangat membantu memetakan perkembangan terbaru pasien di setiap wilayah secara lebih detail dan akurat, yang pada akhirnya akan membantu upaya mengatasi penyebaran dan penanganannya.
Di sisi lain, kemajuan TI ini tak hanya bisa digunakan pemerintah untuk mengontrol warganya. Tapi, sebaliknya, juga bisa digunakan warga untuk mengontrol pemerintahnya.
Warga bisa menciptakan aplikasi yang mengumpulkan data pasien positif, orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), jumlah kematian terverifikasi karena korona, jumlah pemakaman dengan protokol korona yang belum dilaporkan pemerintah, mengontrol distribusi alat pelindung diri (APD) serta memetakan kelangkaannya, dan sebagainya. Dengan demikian, warga bisa meminta pemerintah memberikan laporan yang jujur, dengan cara menyajikan hasil laporan warga yang kredibel.
(Djoko Santoso Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam, FK Universitas Airlangga)