Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah jua.” Sepandai-pandainya Nurhadi, be- kas Sekretaris Mahkamah Agung, kabur, akhirnya tertangkap juga.
Oleh
Editor Kompas
·3 menit baca
”Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah jua”. Sepandai-pandainya Nurhadi, bekas Sekretaris Mahkamah Agung, kabur, akhirnya tertangkap juga.
Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, diburu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekitar 110 hari. Keduanya disangka terlibat kasus suap pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016. Mereka ditangkap di rumah kontrakan di Simprug Golf, Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (1/6/2020) malam.
Tin Zuraida, istri Nurhadi, ikut diamankan KPK. Nurhadi, selama pelariannya, dikabarkan berpindah-pindah rumah dan kota. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Desember 2019. Tempat penangkapannya adalah lokasi ke-13 yang diperiksa KPK. Seorang tersangka lain, yaitu Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto, masih buron.
Nurhadi dan Rezky diduga menerima hadiah dalam pengurusan perkara perdata PT MIT melawan PT KBN (Persero) sekitar Rp 14 miliar. Mereka juga diduga menerima uang dalam perkara sengketa saham di PT MIT sekitar Rp 33,1 miliar dan gratifikasi terkait perkara di pengadilan sekitar Rp 12,9 miliar. Penangkapan Nurhadi pun diharapkan menjadi pintu masuk membongkar dugaan mafia peradilan (Kompas, 3/6/2020).
Penangkapan Nurhadi mengingatkan pada mitologi Yunani, Kotak Pandora. Meskipun dinamai kotak, sebenarnya yang diterima gadis Pandora adalah guci. Itu hadiah dari para dewa untuk pernikahan Pandora dengan Epimetheus, saudara Prometheus. Pandora tak boleh membuka guci itu.
Namun, sebagai manusia, ia penasaran akan isinya. Ia pun membukanya. Guci itu berisi beragam hal buruk bagi manusia, yaitu rasa sakit, kegilaan, wabah, dusta, pencurian, keserakahan, kedengkian, dan malapetaka lain. Hal buruk itu adalah hukuman dari Zeus, pemimpin dewa, bagi Prometheus, dewa yang mencuri api Olimpus. Guci terbuka. Hal-hal buruk pun berhamburan. Pandora menyesal. Namun, ada yang tersisa di dalam guci itu: harapan, yang tak bisa terbang.
Harapan itulah yang kini digantungkan publik kepada KPK. Nurhadi bak guci milik Pandora. Jika KPK bisa membukanya, dugaan mafia peradilan yang selama ini dibicarakan khalayak mungkin bisa terbuka. Sebagai (bekas) Sekretaris MA, Nurhadi diduga banyak mengetahui praktik tak terpuji di peradilan.
Inilah kesempatan bagi KPK dan Nurhadi membantu negeri ini menjadi lebih baik, lebih bersih.
Dari catatan Kompas, Nurhadi diklarifikasi KPK terkait 102 rekening liar di MA. Selain itu, ia pada 2012 disorot terkait transparansi anggaran MA dan juga dituding tak peka saat 2014 memberikan Ipod bagi undangan pada pernikahan putrinya. Kasus yang menjerat Nurhadi dan Rezky adalah pengembangan dari kasus suap (bekas) Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy Nasution, tahun 2016. Ia dikaitkan dengan kasus suap penundaan salinan putusan kasasi yang melibatkan Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna. Nurhadi membantahnya.
Peribahasa Melayu mengingatkan, ”hidup dikandung adat, mati dikandung tanah”. Selama kita hidup harus patuh pada hukum karena kita akan mempertanggungjawabkannya saat meninggal. Inilah kesempatan bagi KPK dan Nurhadi membantu negeri ini menjadi lebih baik, lebih bersih.