Biasanya, hubungan antarmanusia berbeda apabila dilihat dari sudut bahasa, ekonomi, pertukaran budaya, hubungan cinta dan sebagainya, yang semuanya hadir dengan penuh kesadaran, dalam intensi melampaui perbedaan-perbedaan di antara orang-orang bersangkutan. Namun ada sudut lain, tak kalah menarik, justru karena hadir di bawah sadar, dan tak jarang menimbulkan masalah. Yang saya maksud di sini adalah ”gerak”, gestur sopan santun, ketika menyalami orang dari ruang budaya yang berbeda.
Kini kita berada di zaman pandemi Covid-19. Mungkin masih teringat, akhir Januari lalu, pemberitaan tentang Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ketika itu, dia melakukan kunjungan ke Beijing dan bertemu dengan Xi Jinping. Maklum, China adalah salah satu negara yang turut memilihnya untuk menduduki jabatan itu pada tahun 2017.
Yang menarik diperhatikan adalah foto pertemuan kedua tokoh dunia itu. Tedros difoto dalam postur reverence, yaitu membungkuk hormat ketika menghadap Xi Jinping. Begitu gestur khas itu tampak di siaran berita TV Amerika, sontak pers aliran kanan Amerika heboh. Tedros AG dituduh telah menjadi kacung Beijing: gesturnya menandakan bahwa dia tunduk pada kepentingan China. Menarik, kan?
Di sini saya meminta perhatian sebentar, terutama dari generasi tua, yang di Indonesia telah dewasa pada tahun 1998. Pada waktu itu terlihat juga satu gestur yang ditafsirkan amat menghina, dalam hal ini menghina Indonesia: gestur Ketua Dana Moneter Internasional (IMF) yang terlihat berdiri bersedekap di dekat—lebih atas—Presiden Soeharto ketika menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan IMF. Camdessus, Ketua IMF waktu itu, dituduh pers Indonesia telah menghina bangsa Indonesia karena ”menundukkan” Soeharto.
Jadi, cara Tedros AG bertakzim pada Xi Jinping dianggap mencirikannya sebagai orang yang tunduk kepada China, sedangkan cara Camdessus berdiri di samping Soeharto menandakan dia menghina Indonesia!
Pikirkan sejenak. Apa memang begitu kenyataannya?
Siapa Tedros AG? Dia adalah seorang warga Etiopia, yang hampir seluruh kariernya telah berlangsung di negara berdataran tinggi di hulu Sungai Nil di Afrika Timur itu. Apakah orang Etiopia memakai sistem kesantunan ala Barat-Amerika? Tidak!
Etiopia mempunyai kebudayaan yang sangat kuno. Sudah merupakan kerajaan Kristen Koptik sejak abad ke-3. Dikristenkan oleh biarawan-biarawan dari Mesir melalui jalur Sungai Nil. Maka saya bertanya: bukankah wajar jika Tedros sekali-kali, dalam gesturnya, tetap memakai tanda kehormatan yang berlaku di negeri asalnya. Apalagi dia tidak dididik sebagai seorang diplomat.
Demikian pula Camdessus. Ketika dia berpangku tangan, apakah dia mau menghina Indonesia? Tidak. Gestur itu umum di Perancis, dipakai di sekolah swasta zaman dulu, ketika murid-murid tengah menunggu sabar, berbaris rapi menanti isyarat masuk ke kelas dari guru. Lalu kerap juga dipakai orang Perancis ketika menunggu.
Lalu, bagaimana? Pikirkan bagaimana situasi antarbudaya. Bukankah, jika akan bertemu dengan orang dari kebudayaan yang berbeda, kita cenderung memperhatikan bahasa lisan saja. Kita tidak memperhatikan bahasa tubuh dan bahasa sopan santun terkait, yang sebagian besar terdiri dari postur dan gerak tubuh yang tidak disadari, tetapi menjadi bagian dari warisan kultural orang bersangkutan.
Di situlah sumber ketidakpahaman. Tidak ada bahasa tubuh yang betul-betul bersifat lintas bangsa. Memang! Ada protokol gestur diplomatik, tetapi protokol itu merupakan sesuatu yang relatif baru—dan merupakan warisan kolonial dari Barat. Apakah selalu berlaku? Tidak! Ada momen yang lolos dan di situ kerap terjadi ketersinggungan. Dalam dunia politik, ini bisa gawat.
Mengingat ini, jangan-jangan bahasa tubuh yang menjadi masalah presiden salah satu negara Barat yang sedang tenar sekarang. Kesantunan tubuh ala Barat pun dia tidak hormati. Bahasa tubuhnya tak jauh beda dengan bahasa tubuh jagoan desa yang sudah menua: misalnya dia pernah mengajak presiden negara sahabat beradu kekuatan tangan; dia pernah menyingkirkan dengan tangan tamu resmi ”negara kecil” yang dianggapnya menghalangi jalannya. Sementara bahasa lisannya lebih baik tidak dikutip.
Melihat sikap tersebut, dapat dipertanyakan apakah presiden ini betul-betul siap bertemu kembali dengan Xi Jinping di masa depan. Belum tentu. Xi Jinping tidak siap beradu kekuatan tangan. Juga tidak mungkin disuruh menyingkir.
Mungkinkah Xi Jinping masih berkenan berjabatan tangan dengan seorang jagoan desa?