Jurnalisme, sekali lagi, perlu diselamatkan. Kali ini barangkali ia cukup dengan menggunakan sekoci darurat. Namun, setelah pandemi ini berakhir, penyelamatan terhadapnya butuh pertolongan lebih dari itu.
Oleh
Roy Thaniago
·5 menit baca
Ancaman atas keberlangsungan bisnis pers di Indonesia terjadi bukan sekadar karena adanya pandemi Covid-19. Jauh sebelumnya, peralihan teknologi cetak ke digital telah membuat kemampuan ekonomi banyak perusahaan pers menjadi oleng, dan tak sedikit pula yang akhirnya berhenti terbit.
Ini tentu bukan problem di Indonesia saja, juga di negara lain. Selain karena kegagapan banyak perusahaan pers beradaptasi dalam ekosistem digital, dominasi Google dan Facebook atas perolehan kue iklan digital juga dianggap menjadi penyebab menurunnya pendapatan bisnis media. Karena itu, harapan agar pemerintah memberikan insentif ekonomi bagi bisnis media sangat bisa dimengerti.
Beberapa waktu lalu Dewan Pers bersama Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media mengajukan tujuh bentuk insentif demi menolong keberlangsungan bisnis media di tengah pandemi Covid-19. Namun, visi dari permintaan insentif tersebut sifatnya jangka pendek, seolah penyelamatan bisnisnyalah yang menjadi tujuan, bukan jurnalisme itu sendiri—meski tentu dalam kondisi sekarang hal ini bisa dipahami.
Jurnalisme memang perlu diselamatkan, tapi dengan pendekatan lebih visioner, dan itu tak bisa menggunakan sekoci berupa insentif jangka pendek. Beberapa orang meyakini bisnis jurnalisme cukup dikelola dalam logika pasar. Artinya, jurnalisme akan bertahan dan tumbuh kalau pasar menghendaki, atau stagnan dan mati kalau pasar tak berselera lagi.
Cara pikir demikian tak melihat posisi jurnalisme sebagai barang publik (public goods), padahal perannya vital dan belum tergantikan bagi demokrasi. Ketika jurnalisme lenyap, demokrasi berjalan dalam gelap. Keadaan ini membuat kekuasaan tak bisa diakses dan diperiksa, sebagaimana hal itu biasa diperankan oleh jurnalisme. Tanpa pengawasan, kekuasaan (ekonomi, politik, sosial, atau budaya) bisa sewenang-wenang.
Kerja jurnalismelah yang memastikan tiap warga mendapat asupan informasi yang memadai agar bisa berpartisipasi menyuarakan penyimpangan kekuasaan, dan ini dibutuhkan bagi demokrasi. Jurnalisme yang terancam mati perlu diselamatkan. Negara dituntut punya peran karena negara punya kepentingan dan kewajiban pada sehatnya demokrasi dan tersedianya barang publik. Negara perlu menjamin ekosistem yang membuat jurnalisme tetap ada dan relevan.
Pembiayaan pers yang disokong negara bukan hal baru. Model pembiayaan TVRI, RRI, atau BBC di Inggris contohnya. Tentu model ini tak sempurna, karena itu butuh disempurnakan. Namun, model pembiayaan publik semacam ini membuat jurnalisme bisa dikelola bukan sebagai komoditas semata, melainkan barang publik. Perlu imajinasi yang melampaui model pembiayaan jurnalisme komersial.
Menyelamatkan jurnalisme
Dengan melihat pengalaman negara lain, tulisan ini mengajukan beberapa gagasan yang bisa menjadi dasar bagi negara membantu jurnalisme. Pertama, perusahaan pers yang ingin dibantu perlu mengubah entitasnya dari berorientasi laba jadi nirlaba. Status nirlaba tentu tak berarti membuat perusahaan pers tak boleh mencari pendapatan.
Perbedaannya, pendapatannya itu terutama harus dipakai untuk mengongkosi kerja jurnalisme, bukan untuk memperkaya pemilik semata. The Salt Lake Tribune, harian di Utah, melakukan hal ini pada 2019. Status barunya ini kemudian membuat Tribune bisa menerima donasi dari pembayar pajak. Apalagi, di AS ada aturan di mana pembayar pajak akan mendapatkan keringanan kalau memberikan sumbangan pada badan-badan nirlaba.
Kedua, perusahaan pers yang ingin mendapat bantuan perlu mengubah struktur kepemilikan, tak boleh ada kepemilikan tunggal atau saham mayoritas. Struktur kepemilikan barunya, misalnya, bisa melibatkan unsur serikat buruh media dan pembaca. Ini dilakukan, selain sebagai syarat pengelolaan barang publik, juga untuk menjamin demokratisasi di tubuh organisasi media sendiri.
Di Ohio, ada majalah seni dan budaya bernama The Devil Strip yang pada 2019 struktur kepemilikannya berubah menjadi berbasis komunitas. Warga yang merasa kebutuhan informasinya dipenuhi oleh media ini bisa berkontribusi dengan berdonasi. Dengan berdonasi, pembaca menjadi bagian dari struktur kepemilikan The Devil Strip dan mereka diberi peran dalam menentukan editorial majalah. Model kepemilikan semacam ini selain membantu napas media, juga menghasilkan bonus: dampak pada tingkat partisipasi warga.
Ketiga, perlu didirikan badan independen yang mengelola dana bagi jurnalisme. Badan ini perlu melibatkan publik beragam, terutama dari kelompok marjinal, sebagai dewan pengawas. Selain menjamin ketepatan dan keadilan penentuan distribusi bantuan, cara ini juga untuk mengatasi independensi media terhadap pemerintah. Lewat skema ini, dana tidak diberikan pemerintah sehingga media penerima dana tak perlu mengurangi sikap kritisnya demi mendapatkan bantuan.
Finlandia memiliki lembaga semacam ini, yang tugasnya mengelola pajak publik untuk kemudian didistribusikan kepada media publik mereka bernama Yle. Di New Jersey ada Civic Information Consortium yang pada 2018 menyiapkan dana 2 juta dollar AS untuk memastikan warga New Jersey mendapatkan informasi bermutu tentang komunitas mereka. Di Kanada ada Local Journalism Initiative—meski lembaga ini dikritik karena bantuan lebih banyak diberikan kepada perusahaan media besar.
Keempat, bantuan dari negara tak harus selalu berupa uang tunai. Memberi insentif pengurangan pajak bagi individu wartawan, seperti di Perancis, atau menyediakan dana hibah bagi pelatihan wartawan, seperti di Austria, bisa jadi contoh. Poin penting di sini adalah perlunya negara menjamin adanya ekosistem yang bisa merawat keberlangsungan bisnis pers yang sehat dan bermutu.
Karena itu, bentuk bantuan negara bisa juga berupa jaminan kesejahteraan wartawan, pendidikan publik mengenai kerja pers, atau mengoreksi dominasi Google dan Facebook serta sentralisasi kepemilikan media.
Tantangan di Indonesia
Tantangan apa yang ada, jika gagasan ini hendak dijalankan? Pertama, saat ini belum ada data komprehensif yang bisa digunakan untuk memetakan dan memahami bisnis media di Indonesia. Data ini diperlukan untuk bisa menentukan perusahaan media mana yang perlu lebih mendapatkan bantuan, metode apa yang terbaik dalam membantu, dan sebagainya.
Kedua, perlu ada perbaikan profesionalisme kerja jurnalisme, terutama jurnalisme daring yang mutunya sering dikeluhkan. Bagaimana publik mau mendukung pers kalau bisnisnya ini tak berorientasi melayani warga dengan menyediakan informasi bermutu yang mengemansipasi posisi warga?
Ketiga, adanya dominasi perusahaan media besar di Jakarta yang lebih berpotensi mendapatkan keistimewaan untuk mengakses bantuan. Hal ini juga terkait dengan konglomerasi media yang praktiknya sudah harus dikoreksi segera.
Keempat, adanya kecenderungan (pejabat) pemerintah yang kerap berpikir bahwa lembaga atau individu yang dibiayai negara harus memiliki posisi politik yang sama dengan pemerintah. Mental paternalistik semacam ini kerap tergambar misalnya lewat ungkapan pejabat publik yang ingin mengontrol individu penerima beasiswa negara yang punya pandangan berbeda dengan pemerintah.
Jurnalisme, sekali lagi, perlu diselamatkan. Kali ini barangkali ia cukup dengan menggunakan sekoci darurat. Namun, setelah pandemi ini berakhir, penyelamatan terhadapnya butuh pertolongan lebih dari itu.