Belajar dari pandemi Covid-19 dan krisis keuangan, sudah saatnya kita memiliki protokol manajemen krisis untuk berbagai sektor penting dan vital yang berpotensi mengganggu dan mengancam ketahanan nasional.
Oleh
Agus Sugiarto
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 yang melanda hampir semua negara di dunia telah berlangsung tiga bulan lebih dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Munculnya pandemi ini memberikan suatu pelajaran berharga bahwa ancaman bisa muncul tiba-tiba sehingga kita tak siap menghadapinya. Bahkan, negara-negara maju pun kewalahan dan belum bisa sepenuhnya mencari obat penawar. Kerusakan akibat pandemi ini sangat dahsyat. Pandemi ini ibarat senjata pemusnah massal yang telah melumpuhkan hampir semua aspek kehidupan manusia dan ekosistem pendukungnya.
Dampak luar biasa yang ditimbulkan Covid-19 sudah mengganggu ketahanan nasional kita. Dari sisi politik, pandemi ini telah mengubah kebijakan pemerintah untuk lebih fokus pada penanganan pandemi dengan mengerahkan semua sumber daya yang tersedia. Pemerintah harus melupakan target-target pembangunan lain yang sudah direncanakan sebelumnya karena penanganan pandemi ini sekarang jadi prioritas utama.
Dari aspek ekonomi, pandemi ini sudah menciptakan pengangguran dan turunnya aktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang negatif sudah tak bisa dihindari lagi dan resesi ekonomi sudah menanti di depan mata. Dari sisi sosial dan budaya, semakin banyak masyarakat yang jatuh miskin kehilangan pekerjaan. Perilaku sosial masyarakat menjadi berubah karena terganggu efek pembatasan sosial dan isolasi mandiri.
Jaminan sosial untuk warga miskin menjadi prioritas penting guna menjaga kelangsungan hidup dan rasa keadilan masyarakat. Dari sisi pertahanan dan keamanan, pandemi ini berpotensi meningkatkan angka kriminalitas dan gangguan keamanan lainnya.
Ujian terhadap ketahanan nasional sekarang ini sepertinya lebih berat dibandingkan dengan saat krisis ekonomi 1998 dan 2008. Efek multidimensi yang ditimbulkan pandemi ini sangat dahsyat sehingga memaksa kita hidup dalam tekanan dan menghadapi risiko yang tak jelas kapan berakhirnya.
Untuk itulah, ketahanan nasional perlu diperkuat dengan suatu protokol krisis guna mengantisipasi berbagai kemungkinan serangan terhadap bangsa dan negara Indonesia.
Dalam era modern sekarang ini, kemungkinan terjadinya serangan militer terhadap bangsa dan wilayah Indonesia sangat kecil. Hampir mustahil pada saat ini negara lain akan melakukan pendudukan atau pencaplokan wilayah Indonesia secara fisik dengan kekuatan militer. Justru ke depan gangguan dan ancaman terhadap ketahanan nasional kita akan lebih banyak bersifat nirmiliter.
Berbagai serangan nirmiliter itu antara lain gangguan narkoba yang terus-menerus, ancaman berita-berita hoaks dan post-truth yang mengganggu dan meresahkan masyarakat, munculnya kerusuhan SARA, serta ancaman terorisme yang setiap saat dapat terjadi. Ancaman dan gangguan nirmiliter juga bisa datang dari berbagai aspek kehidupan lainnya yang tak bisa kita perkirakan bentuk dan kapan datangnya.
Mungkin kita masih ingat kejadian matinya sistem kelistrikan di hampir seluruh daerah di Jawa dan Bali, Agustus 2019. Pemadaman listrik yang terjadi secara tiba-tiba selama 6-10 jam itu ternyata sangat dahsyat dampaknya bagi masyarakat. Rumah tangga terganggu, proses belajar di sekolah terhenti, pabrik terpaksa berhenti beroperasi, angkutan massal terhenti, dan sistem komunikasi terganggu. Tanpa adanya listrik, manusia tak dapat hidup normal karena listrik sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem kehidupan manusia.
Protokol krisis
Matinya listrik di Jawa dan Bali itu belum pernah terbayangkan akan terjadi sehingga kita tak siap melakukan tindakan mitigasi dan rehabilitasi dengan cepat. Belajar dari kasus listrik ini, ancaman terhadap ketahanan nasional juga bisa datang dari berbagai sumber lain. Untuk itu, perlu dibuatkan protokol krisis lainnya guna menghadapi ancaman yang dapat melumpuhkan ketahanan nasional.
Protokol krisis pangan perlu dibuat karena masalah pangan adalah kebutuhan utama manusia yang harus tersedia dalam jumlah cukup. Krisis pangan dapat terjadi karena musim kemarau panjang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain sehingga bahan pangan jadi barang langka dan mahal. Kemungkinan munculnya krisis energi, seperti BBM, juga bisa terjadi dan tentunya akan sangat mengganggu kehidupan manusia secara keseluruhan.
Protokol krisis pangan perlu dibuat karena masalah pangan adalah kebutuhan utama manusia yang harus tersedia dalam jumlah cukup.
Satu-satunya protokol yang sudah dibuat guna menghadapi krisis adalah protokol manajemen krisis keuangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Ketentuan ini dibuat berdasarkan pengalaman krisis keuangan 1998 dan 2008 sehingga kita sudah siap bertindak seandainya krisis keuangan kembali terjadi.
Belajar dari pandemi Covid-19 dan krisis keuangan, sudah saatnya kita memiliki protokol manajemen krisis untuk berbagai sektor penting dan vital yang berpotensi mengganggu dan mengancam ketahanan nasional. Tak ada salahnya sudah mulai dipikirkan sejak dini sehingga kita tidak lagi kalang kabut dan bingung jika ancaman tersebut benar-benar nyata dan datang secara tiba-tiba. Tujuan dari protokol manajemen krisis tersebut adalah untuk merespons secara cepat dengan cara-cara sistematis, terukur, dan komprehensif mengenai penyebab dan dampak dari suatu ancaman dan gangguan berskala besar yang muncul secara tiba-tiba.
Dalam protokol manajemen krisis itu diatur secara garis besar kebijakan dan strategi untuk menangani krisis, infrastruktur dan sumber daya pendukung yang disediakan, sumber dan alokasi anggaran yang dibutuhkan, mekanisme kerja lembaga dan badan pemerintah yang terlibat, mitigasi risiko dan pengukuran hasilnya. Dengan adanya protokol manajemen krisis, diharapkan potensi kerugian, kerusakan, dan kehancuran yang lebih besar bisa diminimalkan sedini mungkin.
Dengan adanya protokol manajemen krisis, diharapkan potensi kerugian, kerusakan, dan kehancuran yang lebih besar bisa diminimalkan sedini mungkin.