Berziarah ke Pikiran Bapak
”Tolong pergi ke Pura Dalem, matur sisip,” bisik bapak kepada Ibu. ”Bapak salah apa, Bu?” tanyaku lugu. ”Bapak telah menggadai nyawa untuk pertunjukan Calon Arang itu,” kata ibu. ”Sekarang nyawa itu harus ditebus.”
Semalam bapak datang. Ia mengenakan kaus oblong putih kesukaannya yang sobek di bagian punggung, celana panjang coklat dari kain drill yang usang, serta topi pandan satu-satunya.
Seperti biasa, bapak memanggul cangkul dan menenteng madik. Kau harus tahu, madik tak lain sabit panjang yang gunanya membersihkan rumput di sisi pematang. Dengan dresscode seperti ini, aku tahu bapak akan berangkat ke sawah, tetapi ini malam hari….
”Bangun, bangun temani bapak ke sawah,” katanya dengan suara yang serak dan berat. Aku yakin ia kebanyakan mengisap rokok klobot kesukaannya. Sebelum sempat menjawab apa-apa, bapak sudah melanjutkan, ”Sawah-sawah kita kering, padi sedang butuh air.”
Sebagai anak yang belum genap berusia 10 tahun, aku tidak bisa membantah walaupun besok pagi aku harus sekolah. Secepat kilat aku bangkit dan mengenakan kaus oblong serupa dengan bapak, ada bolong di beberapa bagiannya.
”Pakai topi ini, nanti banyak embun,” kata bapak. Topi pandan berbau apek keringat itu kebesaran untuk ukuran kepalaku.
Kami menyusur jalan berbatu yang berdebu. Musim kemarau tahun ini cukup panjang. Kelepak dedaunan seperti bayang-bayang raksasa di bawah samar cahaya bulan separuh. Setelah melewati rumah terakhir di tepi selokan yang kering, sebelum memasuki pematang menuju sawah kami, bapak menembang.
Sasi wimba hanenggata. Mesi banyu
Nda nasing suci nirmala. Mesi wulan
Iwa mangkana rakwa. Kiteng kadadin
Ringngambeki yoga. Kiteng sakala
Suara bapak pelan, timbul tenggelam diembus angin malam. Sesekali suara itu menjadi sayup ditingkahi suara burung hantu di kejauhan. Bulu kudukku berdiri walau tak mengerti tembang apa yang sedang dinyanyikan bapak. Aku hanya tahu, itu bahasa Kawi atau Jawa Kuno.
Bapak sering menembangkan ini saat kami melewati hari-hari di tengah sawah, entah itu ngambeng (mencari air untuk padi) atau mondok bersama bebek-bebek kami di desa-desa yang jauh. Suatu hari akan kuceritakan kepadamu soal mondok dan bebek-bebek itu….
Baca juga: Melunasi Kutang Masa Lalu
Setelah menginjak usia SMA aku mencoba mencari tahu tembang apa yang sering dinyanyikan bapak. Seorang guru memberi tahu bahwa itu Wirama Totaka, yang dipetik dari Kakawin Arjuna Wiwaha dan sering kali dinyanyikan sebagai mantra pemujaan.
Guru itu memberi tahu arti bebasnya, kira-kira begini: ”Seperti bayang bulan di atas air dalam periuk belanga/ Hanyalah pada air yang bening tanpa cemar bulan itu mengada/ Begitulah Tuhan akan selalu datang kepadamu/ Pada mereka yang menyembah-Nya, Tuhan selalu menjelma....”
Bapak melanjutkan ke bait-bait berikut, tetapi aku tidak begitu ingat. Kami sudah sampai di depan pelinggih Jro Keduwa, tempat suci untuk pemujaan Dewi Danu sebagai penguasa air.
Setelah mengajak berdoa, bapak minta diri untuk menyusuri selokan kecil yang berpangkal di saluran irigasi dekat jalan besar. Meski menggigil karena takut dan kedinginan, aku mencoba mengangguk.
”Jangan ke mana-mana. Tunggu airnya di sini,” kata bapak.
Padi-padi kami baru berumur 15 hari, sedang membutuhkan banyak air untuk tumbuh menjadi padi yang sehat agar bisa berbuah. Lama bapak tak kunjung datang.
Beberapa bayangan berkelebat-kelebat mendekati pelinggih, tetapi kemudian menjauh. Sesekali juga terdengar percakapan beberapa orang menyerupai dengung, tetapi kemudian lenyap dihanyutkan angin.
Baca juga: Misteri Masakan Ibu
”Bangun, bangun. Jangan tidur di sini…,” kata seseorang. Tubuhnya besar dan hitam. Aku benar-benar terbangun. Waktu menujukkan pukul 02.15. Tak ada bapak. Tak ada hamparan sawah. Tak air yang sampai ke selokan kami. Aku mendapati diriku tidur di kamar di rumah kami di Jakarta.
Bapak sudah lama pergi, tepatnya 25 Desember 2013. Ia cukup menderita setelah hampir sebulan dirawat di rumah sakit karena sesak napas. Mula-mula batuk kecil, lama-lama berdahak dan kemudian divonis TBC.
Kata dokter yang merawatnya, paru-parunya sudah lebih dari 80 persen membatu. Setelah ia beberapa hari dirawat di sebuah rumah sakit di Denpasar, aku pulang dari Jakarta.
Ketika melihat aku datang, bapak memberi isyarat agar aku mendekat. Ia berbisik dengan suaranya yang lirih, ”Tolong nyanyikan Wirama Totaka…,” katanya patah-patah.
Aku mencoba menembangkan bait-bait awal sebelum sampai pada Wirama Totaka, yakni Wirama Komala. ” //Om sembah ninganata/ tinghalana detri loka sarana/ wahya dyatmika sembahin ulun/ ijeng ta tan hana waneh/ sang luwir agni sakeng tahen/ kadi minyak sakeng dadya kita/ sang saksat metu/ yan hana wang amuter tutur pina hayu/....”
Aku harus minta maaf kepadamu, ini adalah mantra suci yang selalu dinyanyikan saat-saat bersembahyang memuja Tuhan Yang Mahaesa beserta para dewa dan para leluhur. Karena ini mantra pemujaan, mungkin aku tak akan menerjemahkannya, yang jelas saat umat Hindu duduk bersila dalam sikap semadi, dan menghaturkan Panca Sembah, mantra inilah yang selalu dikumandangkan untuk memuja kebesaran Tuhan.
Baca juga: Tangan Terulur Hati yang Memeluk
Selain petani, bapak dipercaya sebagai pemangku di pura keluarga. Pemangku tak lain adalah orang yang dipercaya menjalani laku pendeta, yang memimpin umat saat-saat melakukan persembahyangan.
Belakangan, bapak juga menjadi tetua di desa yang selalu dimintai pendapat tentang dewasa ayu, hari-hari baik untuk melakukan upacara atau aktivitas kultural lainnya.
Aku tak tahu persisnya, kapan bapak belajar menghafal mantra-mantra dan kapan belajar wariga, ilmu astronomi tradisional, yang membutuhkan ketekunan dan kecermatan. Bahkan, kira-kira 5 tahun sebelum bapak berpulang, sekali dua kali ada saja warga datang untuk berobat.
”Bapak jadi balian?” tanyaku tentang laku penyembuh yang dijalani bapak.
”Tidak boleh menolak orang yang minta tolong,’” ujar bapak santai.
”Banyak musuh kalau jadi balian,” kataku.
”Musuh utama itu ada dalam dirimu,” jawab bapak.
Musuh dalam diri itu, kata bapak menjelaskan, bisa berupa kama (keinginan), lobha (keserakahan), krodha (kemarahan), mada (kemabukan), matsarya (dengki dan iri hati), dan moha (kebimbangan).
Enam musuh dalam diri sendiri itu, tambahnya, bernama Sad Ripu, enam sifat buruk yang akan selalu menyertai hidup manusia. Bahkan, sifat-sifat itu terbawa oleh karma di masa lalunya.
Baca juga: Jalan Keluar Virtual
”Bagaimana cara mengendalikan musuh dalam diri?” tanyaku lagi.
”Laku dharma,” kata bapak singkat.
Percakapan kami terhenti karena tiba-tiba seorang suami muda terbirit-terbirit datang sembari menggendong anak perempuannya. Istrinya berteriak-teriak minta tolong sambil berlari di belakangnya.
”Pak tolong anak saya sawan,” kata suami tergesa-gesa.
Bapak segera meminta agar anak perempuan yang kira-kira berusia 3-5 tahun itu dibaringkan di balai-balai beralas tikar di beranda rumah kami. Ia kemudian mengambil minyak kelapa yang telah diramu rempah-rempah dalam sebuah botol kecil.
Kira-kira tak lebih dari 5 menit, setelah bapak memijat sekujur tubuh anak perempuan itu, ia tiba-tiba menangis kencang. Itu pertanda anak itu mulai merespons rasa sakitnya.
”Dia step karena demamnya terlalu tinggi,” kata bapak kemudian. ”Tolong nanti ditempeli daun dadap sebelum tidur.”
Dengan rasa syukur dan terima kasih yang disertai perasaan takzim, pasangan suami istri itu kemudian mohon diri. Bapak cuma tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Baca juga: Nyepi Menghentikan Waktu
Suatu hari desa kami menggelar pertunjukan drama gong. Sebagai salah satu pemuka desa, bapak terlibat secara penuh. Ia bahkan menjadi penggambar poster kisah Calong Arang. Aku ingat, poster-poster bapak berisi rangda dengan taring dan lidahnya yang menjulur.
Poster-poster itu lalu dipasang di berbagai sudut penting kota kami. Rombongan drama gong dari Desa Yeh Kuning itu memang terkenal berani memainkan lakon Calon Arang yang seram dan menegangkan.
Pada salah satu adegannya, para pemain drama mengundang para leak (siluman) yang ada di seantero Bali. Jika berani silakan datang dan makan kami, begitu biasanya tantangannya. Beberapa sisia (murid) biasanya mulai kesurupan roh leak dan kemudian mengakui nama dan alamatnya. Inilah bagian terseram, tapi seru dari kisah lakon Calon Arang.
Ketegangan akan mencapai puncaknya pada sesi ngurek, di mana puluhan pemain menusuk rangda sebagai representasi dari Calon Arang dengan keris. Di sini, sebelumnya para penonton diwanti-wanti untuk tidak meninggalkan arena pertunjukan. ”Jika pergi nanti risiko sendiri,” kata salah seorang balian dari atas pentas.
Tak lama setelah pertunjukan yang sukses itu, bapak sakit keras. Ia hampir-hampir tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sudah beberapa dokter dan balian yang mencoba mengobatinya, bapak tetap tak bisa bangun. Kira-kira dua mingguan sejak bapak sakit, ia memanggil ibu.
”Tolong pergi ke Pura Dalem, matur sisip,” bisik bapak. Bapak ingin ibu bersembahyang di Pura Dalem untuk memohon maaf kepada Dewa Siwa dan Btari Durga atas kesalahan yang telah ia lakukan.
”Bapak salah apa, Bu?” tanyaku lugu.
”Bapak telah menggadai nyawa untuk pertunjukan Calon Arang itu,” kata ibu.
Aku belum sepenuhnya paham. Ibu kemudian menjelaskan, ketika adegan mengundang leak dari seluruh Bali itu, para kawanan leak dari Sanur yang terkenal seram dan sakti benar-benar datang ke arena pertunjukan. Para balian sakti yang secara batin menjaga para aktor dan awak pertunjukan kewalahan menangkis serangan dari Sanur.
”Bapakmu minta tolong kepada Btari Durga dengan menjaminkan nyawanya,” tegas ibu. ”Sekarang nyawa itu harus ditebus.”
Lakon Calon Arang di Bali bukan sekadar pertunjukan biasa. Ia berupa teater total, yang melibatkan ritus kepercayaan kepada Btari Durga, sebagai penguasa alam kubur (kegelapan).
Apa yang tampak di panggung sebenarnya sebuah pelakonan terhadap kepercayaan masyarakat lokal, yang begitu menghormati keberadaan Btari Durga. Di situlah absurditas itu bekerja. Para leak yang dianggap melakoni ilmu hitam juga mendapatkan ”anugerah” kesaktian dari Btari Durga.
Kepercayaan menjelaskan absurditas itu dalam kisah ruwatan Gandamayu sebagaimana yang pernah aku tulis dalam sebuah novel. Bahwa Btari Durga adalah wujud menyeramkan dari Dewa Uma, yang dikutuk suaminya karena dianggap tidak setia.
Tak lama setelah matur sisip di Pura Dalem, bapak berangsur sehat. Kau boleh percaya atau tidak, tetapi itulah yang kucatat dalam ingatanku sampai kini. Bapak kembali menjalani laku sebagai petani, pemangku, balian, dan orang biasa yang terkadang memasak lawar sendiri di dapur.
Ia terbiasa mengikuti hati nuraninya untuk berperan sebagai penjamin hidup dengan bekerja sebagai petani; menjalani laku spiritual dengan menjadi pemangku; dan menyelaraskan kehidupan sosial dengan menjadi balian. Pada hari-hari biasa bapak berperan sebagai kakek dari cucu-cucunya, yang bisa berenang bersama di Pantai Baluk Rening, tak jauh dari rumah kami.
Peran-peran inilah yang menyadarkanku tentang laku di jalan dharma. Bahwa hidup harus dipahami sebagai karunia, yang mesti dijalankan dengan penuh rasa takzim, apa pun kondisinya. Baik buruk, susah senang, kaya miskin, semuanya karunia yang disebut rwa binneda. ”Perbedaan yang harus disyukuri,” kata bapak. Ah, tiba-tiba aku merindukan kehadiran bapak….