Selama ribuan tahun, persoalan kelaparan, wabah, dan perang selalu saja menempati daftar tiga teratas sebagai faktor paling mengancam kehidupan manusia.
Oleh
EDITOR
·2 menit baca
Selama ribuan tahun, persoalan kelaparan, wabah, dan perang selalu saja menempati daftar tiga teratas sebagai faktor paling mengancam kehidupan manusia. Kini, kita semua sedang menghadapi salah satunya. Covid-19 yang semula mewabah di Wuhan, China, meluas ke sejumlah negara menjadi epidemi, dan mengglobal menjadi pandemi. Meski demikian, boleh jadi, masih banyak di antara kita yang cenderung menyepelekannya.
Ledakan wabah memang tidak semenggelegar ledakan dalam perang. Namun, sejarah mencatat justru bisa lebih mematikan ketimbang perang. Epidemi flu spanyol di awal abad ke-20 membuat sepertiga populasi global ambruk. Tidak sampai satu tahun, epidemi pun membunuh lebih dari 50 juta orang. Sementara itu, Perang Dunia Pertama 1914-1918 membunuh 40 juta orang untuk kurun waktu empat tahun.
Setelah tiga bulan ”berperang” melawan Covid-19, bangsa ini pun seakan kehilangan kesiapsiagaannya. Setelah mengurangi pembatasan sosial berskala besar demi menggerakkan ekonomi, DPR dan pemerintah bersepakat menggerakkan perhelatan politik berskala besar, yaitu pemilihan kepala daerah serentak di 270 daerah pada 9 Desember 2020.
Apakah pilkada semendesak pelonggaran kegiatan ekonomi guna memutus gelombang jutaan PHK?
Mulai Senin, 15 Juni, tahapan pilkada kembali berlanjut setelah sempat dihentikan. Pertanyaan yang muncul, apakah saat di tengah perang melawan Covid-19, kita tetap melaksanakan pilkada? Apakah pilkada semendesak pelonggaran kegiatan ekonomi guna memutus gelombang jutaan PHK? Penundaan pilkada memang akan berdampak pada banyaknya daerah dipimpin pelaksana tugas saat masa jabatan kepala daerah bersangkutan telah habis.
Seorang pelaksana tugas pun tidak memiliki legitimasi sekuat kepala daerah terpilih. Pada sisi lain, pilkada serentak justru menggerakkan massa sangat besar yang bisa memicu lonjakan kasus Covid-19. Sebanyak 105 juta pemilih di 270 daerah akan bergerak ke 311.978 tempat pemungutan suara. Belum lagi dinamika politik yang ditimbulkannya yang bisa menambah riuh.
Sebagai catatan, hingga Minggu, 14 Juni 2020, berdasarkan data di worldometers, total tes yang dilakukan di Indonesia baru 514.287 spesimen atau 1.881 per sejuta penduduk. Rasio itu sangat kecil dibandingkan dengan negara lain sehingga menempatkan Indonesia di urutan belakang, yaitu ke-162.
Jajak pendapat Kompas, 4-5 Juni, terhadap 6.712 responden menunjukkan, mayoritas warga (67,7 persen) justru khawatir jika pilkada diselenggarakan di tengah pandemi. Karena itu, keputusan menggelar pilkada di era pandemi jelas merupakan kehendak elite. Kita hanya bisa berharap Pilkada 2020 berjalan lancar dan melahirkan pemimpin yang mau mendengarkan aspirasi rakyatnya. Pilkada 2020 pun tidak melahirkan kluster baru Covid-19 yang malah menambah pilu.