Lazimnya sebuah krisis, kata ”new” itu merujuk pada sebuah fase yang sedang bergulat menuju ke tahap baru. Sebuah fase yang menuntut kita beradaptasi dengan kebiasaan baru dan taat pada protokol kesehatan.
Oleh
Jaleswari Pramodhawardani
·6 menit baca
Ada satu istilah yang populer di tengah pandemi Covid-19: new normal. Dalam bahasa Indonesia ada yang mengartikannya sebagai kenormalan baru atau normal baru. Lazimnya sebuah krisis, kata new itu merujuk pada sebuah fase yang sedang bergulat menuju ke tahap baru. Sebuah fase yang menuntut kita beradaptasi dengan kebiasaan baru dan taat pada protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus korona itu di tengah kegiatan warga.
Dalam menuju tatanan normal baru, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan tiga kriteria penting. Pertama, adalah perhitungan epidemiologi bahwa tingkat penularan harus di bawah 1. Pelonggaran dapat dilakukan jika penularan di bawah 1 telah berlangsung selama dua pekan.
Kedua, sistem kesehatan, dengan indikator jumlah kasus baru yang butuh perawatan rumah sakit harus lebih kecil dari maksimal kapasitas tempat tidur. Perbandingan jumlah kasus Covid-19 tak boleh melebihi 60 persen infrastruktur kesehatan. Ketiga, surveilans, dengan jumlah tes yang cukup dibandingkan dengan jumlah penduduk suatu negara atau daerah.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 3 Juni 2020 mencatat, 27.549 kasus positif virus korona di Indonesia. Tiga kasus tertinggi berada di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Namun, Indonesia adalah bentangan kepulauan yang sangat luas, jarak Sabang sampai Merauke setara dengan Inggris sampai Iran. Riuh rendah penyebaran virus juga beragam, tidak semua seperti di Jawa atau di Bali.
Data resmi itu juga menyebutkan, masih ada 99 kabupaten dan kota atau 19,3 persen kabupaten dan kota nasional yang tidak terkena virus korona. Masih ada 110 kabupaten dan kota atau 21,4 persen kabupaten dan kota nasional yang, walaupun telah terpapar virus korona, masih berada dalam klasifikasi risiko rendah.
Apa artinya? Masih ada 209 daerah atau 40,7 persen yang tidak terdampak virus atau berada dalam klasifikasi risiko rendah. Gugus Tugas juga mengatakan, pada akhir Mei lalu ada 102 daerah yang mendapat izin berkegiatan dalam normal baru.
Persiapan regulasi
Pemerintah saat ini tengah mempersiapkan regulasi menyambut tatanan normal baru. Sejalan dengan itu, sejumlah kementerian telah mengeluarkan produk hukum, baik yang mengatur internal maupun imbauan kepada publik terkait dengan kebijakan normal baru, contohnya oleh Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).
Kepala Bappenas, sesuai arahan Presiden, menyampaikan, untuk tahap awal ada 4 provinsi serta 25 kabupaten dan kota yang akan menjadi percobaan normal baru. Di antaranya DKI Jakarta, Gorontalo, dan Jawa Barat. Harus dicatat, sejumlah tahapan yang akan diambil adalah proses baru, dan pasti tidak akan sempurna.
Akan tetapi, Indonesia tidak sendiri. Ratusan negara di dunia menghadapi tantangan yang sama mencoba menaklukan Covid-19. Terbuka berbagai kemungkinan penyelesaian, dan jika hasilnya tak seperti harapan, kita harus berani kembali ke proses awal, atau menyesuaikan langkah berdasarkan situasi yang ada.
Hingga saat ini, belum ada satu cara atau praktik definitif terkait dengan arah kebijakan normal baru. Semua negara saat ini sedang belajar bersama. Ada pelajaran menarik dari tiga negara, yaitu Brasil, Kosta Rika, dan Korea Selatan. Tiga negara itu tak sepenuhnya mewakili kasus sukses atau gagal. Saya mengambilnya untuk memberi gambaran terkait dengan situasi yang akan datang.
Saat ini Brasil menduduki peringkat kedua berdasarkan jumlah kasus dengan angka 833.000 lebih dan 42.000 lebih korban jiwa. Dengan kondisi seperti saat ini, Brasil tetap memutuskan masuk ke tatanan normal baru. Kondisi miris ini tidak terlepas dari berbagai konflik politik di tingkat pusat serta antara pusat dan daerah yang muncul sebelum wabah merebak di sana.
Rangkaian konflik itu telah melumpuhkan respons pemerintah. Ia menimbulkan aksi protes berskala besar, termasuk protes bersenjata dan membuat pemerintah galau dalam penerapan kebijakan. Dalam kekacauan itu, warga Brasil berinisiatif mengatur diri mereka sendiri. Mereka membentuk sistem pemantauan berdasarkan mekanisme mirip RT/RW. Walaupun inisiatif warga bisa dihargai, kita berharap hal seperti itu tak perlu terjadi di Indonesia.
Seperti Indonesia, Kosta Rika menerapkan jaga jarak pada pertengahan Maret lalu. Negara itu juga memiliki berbagai keterbatasan dalam kapasitas. Bank Dunia pada 2015, misalnya, menyatakan, jumlah tempat tidur rumah sakit di Indonesia dan Kosta Rika berada di tingkat 1,2 per 1.000 orang. Pada awal April, di seluruh Kosta Rika hanya ada 140 ICU untuk sekitar 5 juta warga. Seperti Indonesia, Kosta Rika melakukan segala cara untuk melawan Covid-19.
Kosta Rika juga menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau partial lockdown, membangun rumah sakit darurat, dan menutup berbagai tempat kerumunan. Seperti Indonesia, Kosta Rika juga sangat terdampak oleh virus korona dalam berbagai aspek lain, selain kesehatan.
Sektor pariwisata yang menyerap 18 persen angkatan kerja dan menyumbang 5 persen produk domestik bruto (PDB) nasional terpaksa ditutup. Untuk menangani dampak Covid-19, pemerintah terpaksa memperbesar defisit fiskal yang mencapai 8,6 persen PDB nasional.
Dengan segala pertimbangan, pada 16 Mei, Kosta Rika memutuskan masuk ke tatanan normal baru. Negara itu menerapkan kebijakan PSBB secara bertahap dan berkala. Forum Ekonomi Dunia dan WHO menilai Kosta Rika, dengan segala keterbatasannya, sukses mengendalikan virus korona. Menurut WHO, keberhasilan itu akibat semua sektor pemerintahan terlibat.
Warga negara itu juga punya komitmen tinggi melawan virus. Sejauh ini ada 1,157 kasus Covid-19 di Kosta Rika dan hanya 10 korban jiwa. Di tatanan normal baru, kasus baru di sana ditangani dengan pembatasan lokal.
Korea Selatan kerap dikutip sebagai contoh hampir sempurna dalam penanganan virus korona. Negara itu merancang matang antisipasi mereka melawan virus korona. Jumlah tes polymerase chain reaction (PCR) masif yang dilakukan sudah melebihi 950.000 untuk 51 juta warga. Pelacakan agresif didukung teknologi tinggi serta sumber daya ekonomi, tingkat kedisiplinan warga, serta efektivitas pemerintahan.
Korea Selatan kerap dikutip sebagai contoh hampir sempurna dalam penanganan virus korona.
Maka, pada awal Mei lalu Korea Selatan masuk ke tatanan normal baru. Sekolah dan rumah ibadah mulai dibuka, aktivitas olahraga serta kerumunan di tempat publik kembali diperbolehkan. Namun, pada 28 Mei, kluster kasus baru muncul. Akibatnya, jumlah kasus baru meledak dan tercatat tertinggi dalam kurun waktu dua bulan. Korea Selatan kini harus kembali bersabar. Mereka kembali menerapkan pembatasan sosial, termasuk menutup sekolah.
Tiga pelajaran penting
Dari kasus di negara lain itu, kita bisa mengambil tiga pelajaran penting. Pertama, stabilitas dan kondusivitas nasional menjadi penting untuk menjamin berhasilnya pelaksanaan normal baru.
Kedua, semua komponen bangsa berperan aktif dan persatuan warga ini bisa melampaui keterbatasan apa pun. Kesabaran, solidaritas, dan optimisme penting untuk dipelihara. Ketiga, tidak ada negara yang mampu melewati proses ini dengan sempurna.
Jika segala tahapan ternyata tidak membuahkan hasil yang baik, kita harus berani mengambil jalan memutar atau menyesuaikan langkah kita kembali. Seluruh dunia kini sedang bergulat dalam sebuah ”seni” menaklukkan virus korona.
Jaleswari Pramodhawardani
Deputi V Bidang Polhukamham dan Koordinator II Dalops Gugus Tugas