Dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara dalam kontraksi hebat dan pengaruh masyarakat terdampak kian terasa, maka langkah-langkah pengawasan berjenjang menjadi begitu menentukan.
Oleh
M Mas’ud Said
·5 menit baca
Dalam situasi ketidakmenentuan kapan Covid-19 akan berakhir, bantuan pemerintah kepada masyarakat terdampak akan menjadi kunci dari fungsi hadirnya negara.
Di tengah usaha pemerintah mengucurkan dana dan beberapa skema bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat terdampak, ada diskursus menarik tentang politisasi dan potensi penyalahgunaan bansos. Johermansyah Johan dari Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta (Kompas, 13/5) bahkan mengusulkan Kemendagri menerbitkan surat edaran untuk menjaga kemurnian tujuan bansos dan mengawasi penyaluran bantuan agar terlepas dari kepentingan politik kepala daerah dan atau pihak lain terkait implementasi di lapangan.
Rawan penyalahgunaan
Setiap kebijakan yang sifatnya masif dan diputuskan dalam waktu relatif cepat dan dalam setting desakan situasi (external pressures), pasti mengundang kelemahan. Lebih mudah merancang program besar di atas tataran makro ketimbang melaksanakannya. Butuh kecepatan, ketepatan, dan kejelasan aturan, baik dalam tataran prosedur kebijakan sebagai pegangan maupun tataran implementasi di lapangan.
Bansos sebagai instrumen strategis yang menyasar empat elemen besar sektor terdampak sebagaimana diatur dalam Perppu No 1/2020 dan diimplementasikan ke 82.000-an desa di seluruh Indonesia diharapkan bersih dari kepentingan politik jangka pendek dan penyalahgunaan wewenang atau iktikad menguntungkan diri sendiri dan kelompok. Jika bansos ditarik-tarik ke ranah politik praktis, akan mengundang sengkarut pelaksanaan yang tidak menguntungkan banyak pihak, terutama mereka yang terdampak.
Untuk distribusi bansos tunai dan bantuan nontunai dari Kementerian Sosial dan Kementerian Desa, misalnya, relatif aman karena disalurkan melalui basis data terpadu Kemensos dengan jasa perbankan Himpunan Bank Negara (Himbara), dan jasa keuangan untuk menyalurkannya. Namun, untuk bantuan natura berupa bahan kebutuhan pokok dan kontrak kerja dengan penyedia alat-alat kesehatan yang bersertifikasi dan distribusi yang melibatkan pihak swasta dan masyarakat umum di daerah, akan cukup rawan penyalahgunaan.
Penyalahgunaan bansos untuk memperoleh dukungan politik, berbahaya. Pertama, ini bukan hanya bansos, tetapi juga bantuan untuk atasi bencana kemanusiaan. Ini ikhtiar suci dengan mengorbankan beberapa kepentingan pembangunan sektor lain. Kedua, kebijakan strategis ini harus terhindar dari penyalahgunaan, salah kelola dan kepentingan politik jangka pendek karena akan mendegradasi fungsi luhurnya. Ketiga, penyalurannya rawan penyalahgunaan. Politisasi bansos tak hanya dilakukan elite politik dan pemerintahan, khususnya di 270 daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak tahun ini. Politisasi juga dilakukan aktor politik di luar pemerintahan dan masyarakat akar bawah (political grass root). Keterlambatan pemerintah mengambil langkah di awal pandemi menjadi topik jamak di media arus utama maupun medsos.
Penentuan kebijakan mana yang mau diambil, lockdown atau PSBB di DKI, keterbatasan alat pelindung diri bagi tenaga medis, pembagian alkes, pembangunan sarana rumah sakit infeksi, dan transparansi laporan harian jumlah pasien terkonfirmasi Covid-19, tenaga kerja asing yang hadir pada masa pandemi, kartu prakerja, jadi topik di arena debat yang hangat.
Pengawasan
Dalam kaitan beban pemerintah yang berat, penting dilakukan penguatan pengawasan terhadap proses dan mekanisme bantuan sampai ke sasaran. Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan jajaran kabinet dan pimpinan lembaga negara selalu menekankan asas ketepatan, ketertiban, dan keamanan distribusi bantuan serta pencegahan agar bansos tak jadi alat politik kepala daerah atau calon untuk menarik simpati masyarakat.
Untuk tujuan itu, setelah dikeluarkannya Perppu No 1/2020 yang mengatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani Covid-19, sejumlah kementerian terkait, lembaga negara dan gubernur/bupati/wali kota menerbitkan peraturan pelaksanaannya.
Dalam rangka percepatan pelaksanaan dan jaminan hukum kepada pengambil keputusan, Pasal 27 Ayat 1, 2, dan 3 perppu ini menjamin pejabat negara terkait pelaksanaan perppu ini tak dapat dituntut perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas dengan iktikad baik karena alasan kondisi sekarang adalah kondisi kritis yang membutuhkan keputusan yang cepat. Pengertian iktikad baik adalah keadaan di mana mereka dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun, apabila terdapat fakta sebaliknya lalu ditemukan iktikad tak baik dan bukti formal kuat, hukuman diperberat dengan alasan dalam masa pandemi seperti ini obyektivitas dan kehati-hatian perlu dijaga bersama. Pemerintah telah memiliki persetujuan DPR yang mengesahkan perppu jadi UU. Bansos bukan hanya dilihat sebagai komitmen pemerintah mengatasi Covid-19 dan dampaknya, melainkan juga peranti strategis keamanan negara dalam arti luas agar tak terjadi kepanikan massa dan gejolak sosial sekaligus menjawab persoalan pelik di bidang sosial, ketenagakerjaan, dampak ekonomi yang muncul di desa dan di kota.
Para kritikus pemerintah mempertanyakan transparansi, keabsahan jumlah penerima bantuan, data yang belum terintegrasi, tumpang tindihnya penerima bantuan dan terlantarnya orang miskin terdampak yang belum tercatat dan keterlambatan pemerintah menangani pandemi. Di level daerah, untuk beberapa kasus di daerah, beberapa kelompok masyarakat juga menggunakan momentum penyaluran bantuan ini sebagai bahan serangan kepada lawan-lawan politiknya.
Untuk beberapa kasus di daerah, beberapa kelompok masyarakat juga menggunakan momentum penyaluran bantuan ini sebagai bahan serangan kepada lawan-lawan politiknya.
Instrumen hukum percepatan implementasi kebijakan dan jaminan keamanan dari ancaman jerat hukum dikeluarkan untuk memastikan distribusi bantuan berjalan lancar, sekaligus melindungi pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah, dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua KPK No 8/2020 untuk mencegah penyalahgunaan wewenang penggunaan anggaran untuk pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.
Dalam kondisi ekonomi dan keuangan negara dalam kontraksi hebat dan pengaruh masyarakat terdampak kian terasa, maka langkah-langkah pengawasan berjenjang menjadi begitu menentukan.
M Mas’ud Said, Guru Besar Ilmu Pemerintahan dan Direktur Pascasarjana Universitas Islam Malang