Ada wacana bahwa vaksin Covid-19 seharusnya dapat segera diproduksi dan dimanfaatkan tanpa harus menunggu diberikannya paten atas vaksin tersebut.
Undang-Undang Paten (UU Nomor 13 Tahun 2016) mengatur tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah untuk menanggulangi penyakit yang dapat mengakibatkan kematian mendadak dalam jumlah banyak.
Masalahnya, saat ini vaksin Covid-19 belum ditemukan sehingga dengan sendirinya belum bisa diajukan permohonan paten, apalagi diberi hak paten. Secara normatif, inventor, penemu, atau pemegang paten dari vaksin yang diberi paten mendapat hak eksklusif 20 tahun untuk memproduksi temuannya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakan.
Pemberian persetujuan itu ada imbalannya berupa royalti. Besaran royalti ini tidak kecil karena biaya riset yang mahal. Timbul kritik terhadap sistem paten yang dianggap membuat harga vaksin mahal. Solusinya apa?
Solusi yang kedengarannya mudah adalah menjadikan temuan vaksin Covid 19 menjadi domain publik sehingga vaksin dapat diproduksi massal tanpa harus membayar royalti kepada inventor atau pemegang paten.
Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Jika riset untuk menghasilkan vaksin dibiayai oleh negara, mungkin saja negara selaku pemegang hak eksklusif temuan itu melepas haknya dan menjadikannya domain publik.
Sebaliknya, jika riset dibiayai oleh perusahaan farmasi swasta, persoalan hak paten atas vaksin yang ditemukan menjadi tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja. Biaya risetnya bisa mencapai jutaan dollar AS sehingga perlu upaya untuk mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan dengan keuntungan yang wajar.
Hak paten akan diupayakan untuk diperoleh terlebih dahulu atau setidak-tidaknya permohonan paten perlu diajukan sebelum produksi dan distribusi massal.
Dalam situasi pandemi yang cakupannya global seperti sekarang, mau tidak mau WHO dan pemerintah sejumlah negara harus turun tangan menjadikan temuan vaksin Covid-19 sebagai domain publik atau melaksanakan sendiri paten yang dimiliki oleh perusahaan farmasi swasta dengan imbalan yang wajar.
Gunawan S
Konsultan HKI, Pondok Indah, Jakarta
Mohon Penjelasan
Pada lembar halaman 5, harian Kompas edisi Rabu (10/6/2020), pada laman ”Pendidikan & Kebudayaan”, ada tulisan berjudul ”Covid-19 Renggut Masa Depan Anak”. Dalam tulisan tersebut, terdapat sebuah alinea yang cukup mengganggu.
Disebutkan, ”mengutip hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, ada 31,8 juta anak usia SD sampai SLTA di 15 provinsi dengan kasus positif korona terbanyak”.
Mohon klarifikasi atas pernyataan ini, mengingat sepengetahuan kita semua, kasus pandemi Covid-19 baru resmi muncul di Indonesia pada awal Maret 2020, tepatnya setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama, 2 Maret 2020.
Budi Sartono Soetiardjo
Cilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat
Catatan Redaksi:
Terima kasih atas kesetiaan dan ketelitian Anda dalam membaca berita-berita yang disajikan Kompas.
Pada tulisan tersebut, alinea lengkapnya adalah sebagai berikut: Mengutip Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, ada 31,8 juta anak usia SD sampai SLTA di 15 provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak. Namun, 19,4 juta anak atau 61 persen tidak memiliki akses internet di rumahnya.
Sebenarnya, maksud tulisan tersebut adalah data 31,8 juta siswa SD-SLTA itu diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018. Jumlah siswa sebanyak itu berasal dari 15 provinsi yang pada tahun 2020 memiliki kasus positif Covid-19 terbanyak. Data akses internet juga dikutip dari Susenas 2018.
Semoga menjadi jelas.