BJ Habibie memiliki prinsip bahwa sebuah negara maju itu memiliki ”hi tech & hi touch”, yaitu teknologi canggih dan budaya serta karya seni yang tinggi. Beliau bukan hanya seorang teknokrat, tetapi juga tokoh literasi.
Oleh
Ananda Sukarlan
·6 menit baca
Saya baru bertatap muka secara langsung dengan Prof Dr Bacharuddin Jusuf Habibie di tahun 2013, 14 tahun setelah beliau pensiun jadi Presiden RI, yang berarti juga pensiun dari dunia politik. Itu sebabnya saya, berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia, melihatnya bukan sebagai seorang teknokrat, tapi sebagai tokoh literasi (”a man of letters”). Obrolan panjang kami saja selalu terjadi di perpustakaannya yang menurut saya adalah salah satu tempat paling spektakuler dalam arsitektur Indonesia modern.
Perpustakaan Habibie-Ainun di Patra Kuningan yang menempel dengan kediaman almarhum itu bukan suatu pencitraan. BJH tidak memiliki tim relasi publik dan marketing untuk itu. Bahkan, menurut saya, perpustakaan itu justru harus lebih dikenal oleh publik.
Perpustakaan itu adalah benar-benar untuk menyimpan buku-buku Bapak yang jumlahnya ribuan, dan saya yakin mayoritas sudah dibaca oleh beliau (tidak seperti saya yang antara lain punya tetralogi Pramoedya sejak bertahun-tahun, tapi baru kelar baca seluruhnya karena PSBB gara-gara Covid 19!). Pendeknya, perpustakaan itu memang tempat nongkrongnya Bapak.
Pendeknya, perpustakaan itu memang tempat nongkrongnya Bapak.
BJH memiliki prinsip bahwa sebuah negara maju itu memiliki ”hi tech & hi touch”, yaitu teknologi canggih dan budaya serta karya seni yang tinggi. Dengan terbentuknya Yayasan Habibie-Ainun (YHA) yang kini diketuai oleh putranya, Ilham A Habibie, ia membuktikan dunia seni memiliki derajat yang sama dengan dunia teknologi di hatinya.
YHA mendedikasikan produktivitasnya saat ini di dunia perfilman, fotografi, sastra, dan musik. Dengan yang terakhir inilah saya merasa terhormat telah dipercayai untuk membuat empat simfoni kamar (artinya bukan untuk orkes besar, tapi untuk sekelompok kecil musisi, yang sebetulnya saya telah desain formatnya dengan BJH untuk dapat dipergelarkan di perpustakaannya, yaitu format yang berkisar 10-12 musisi) sejak simfoni no. 1 diperdanakan tahun 2014.
Pesannya mutlak: BJH meminta saya untuk memilih musikus terbaik Indonesia, dan milenial atau bahkan lebih muda. ”Musik itu seperti pesawat terbang”, katanya, ”pesawat sehebat apa pun jika pilot serta mekaniknya tidak andal tidak akan bisa terbang dan mendarat dengan baik. Nah, sang komponis bisa bikin sebuah mahakarya, tapi jika para pemainnya tidak cerdas, tinggi nilai artistiknya dan teknik permainannya, musik itu tidak akan ekspresif dan berkualitas.
Ini ”versi Habibie” dari proses kreatif musik yang universal: seorang komponis adalah seniman yang membutuhkan perantara (yaitu musikus, walaupun bisa jadi sang komponis sendiri yang bermain instrumen, seperti halnya saya dengan piano saya) untuk berkomunikasi dengan publiknya, berbeda dengan pelukis atau penulis yang bisa langsung berinteraksi dengan publiknya.
Jadi, tugas saya setiap tahun ada dua: membuat karya musik yang beridentitas Indonesia yang kuat serta komunikatif di dunia internasional yang akan dapat menjalani fungsinya dalam diplomasi kebudayaan, dan memetakan serta memilih para musikus terbaik Indonesia.
Pada tahun 2016, BJH memberikan beberapa tulisan dan puisinya untuk saya bikin musik. Simfoni saya yang ke-tiga itu berjudul ”An Ode to The Nation”, dengan format tetap 10 musisi, tapi ditambah seorang penyanyi tenor (Widhawan Aryo Pradhita, pemenang kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan) serta paduan suara anak-anak.
Pada tahun 2016, BJH memberikan beberapa tulisan dan puisinya untuk saya bikin musik.
Ternyata itu adalah semacam ”ujian” buat saya karena BJH ingin saya membuat opera. Referensinya jelas: opera Verdi, Puccini, Wagner, walaupun beliau masih belum terlalu mengenal genre ”opera biopic” yang dipelopori oleh komponis Amerika modern seperti Philip Glass dan John Adams yang saya ceritakan kepadanya saat itu.
Masalahnya, opera tentang BJH memang membutuhkan waktu lama bagi saya, bukan untuk menulisnya, melainkan lebih ke penelitiannya, walaupun BJH berjanji akan menyediakan waktu untuk bercerita dan memberi pengarahan tentang berbagai hal, seperti apa yang terjadi saat BJH dilantik menjadi Presiden. Sampai ia wafat, sayang sekali saya tidak bisa memenuhi permintaannya yang satu ini.
BJH tahu, krisis saat ini bukanlah hanya soal pengangguran, tapi soal para pekerja yang tidak memiliki kualitas hidup, baik dari segi intelektualitas maupun budaya. Itu berarti, pendidikan bukanlah semata-mata bertujuan supaya sang murid mendapatkan pekerjaan.
Manusia membutuhkan perasaan yang mampu memahami keindahan dan toleransi untuk menciptakan keadilan dan kedamaian; manusia membutuhkan hati yang tahu cara menghindari kehancuran dunia baik secara fisik, moral maupun intelektual yang justru dipicu oleh kemajuan ekonomi dan politik; manusia membutuhkan pikiran yang tajam untuk melestarikan apa yang tersisa, dan menjaga dunia agar tetap layak huni bagi manusia dan makhluk lainnya.
Dan ini semua didapatkan dari seni dan pendidikan seni bagi seluruh rakyat. Pemerintah yang tidak mengerti soal pendidikan yang menyeluruh adalah pemerintah yang harus balik ke sekolah menjalani pendidikan. Dan pendidikan itu bukan hanya ilmu eksakta. Kecerdasan itu bukan hanya logika dan intelektualitas, tapi juga kreativitas dan insting.
Itu sebabnya kesenian adalah musuh besar kaum ekstrimis dan radikal: ilmu pengetahuan membuat orang mengenal dan mengetahui, tapi seni membuat orang mengerti dan merasakan. Orang yang tahu masih bisa dipengaruhi, tapi orang yang merasakan dan mengerti secara mendalam akan sangat sulit dipengaruhi.
Lembaga pendidikan harusnya tidak diciptakan untuk melayani pasar. Pun bukan pengungkit kebijakan ekonomi atau memenuhi kebutuhan ideologi apa pun. Di masyarakat beradab, misi lembaga pendidikan bukan untuk memproduksi tenaga kerja bagi pengusaha. Pemenuhan kebutuhan ekonomi hanyalah separuh dari kualitas hidup rakyat. Bahkan di Alkitab ditulis bahwa manusia tidak hidup hanya dari roti saja.
Manusia membutuhkan sila ke-2 Pancasila untuk mengingatkan kita bagaimana menjadi manusia; kita membutuhkan sejarah, politik, filsafat, musik dan seni lainnya untuk menunjukkan yang terbaik dan terburuk yang dapat dilakukan manusia.
Pemenuhan kebutuhan ekonomi hanyalah separuh dari kualitas hidup rakyat.
Melalui pembelajaran sejarah, bahasa, etika, logika, estetika, tata bahasa, dan komposisi artistik visual serta aural, humaniora menunjukkan kepada kita bagaimana untuk berbuat lebih baik sebagai manusia—untuk berpikir lebih keras dan lebih cerdas (hard and smart), untuk melihat lebih jauh dan lebih dalam, untuk mengambil keputusan bagi diri kita sendiri, mempertimbangkannya dari berbagai sudut pandang; kombinasi ”tech and touch” ini menunjukkan kepada kita bagaimana membuat masyarakat yang lebih toleran dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah.
Saya pribadi lebih bisa mengerti sejarah lewat tulisan Shakespeare (yang belum tentu autentik secara historis); saya tidak merasa perlu mengetahui bahwa Julius Caesar dibunuh oleh Brutus, tapi saya perlu merasakan proses pengkhianatan dari teman terbaik. Dari Shakespeare, dan bukan dari buku sejarah, saya jadi tidak sembarangan memilih orang sebagai mitra kepercayaan saya.
Di perpustakaan Habibie-Ainun, buku dari semua elemen dan bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya ini tersimpan rapi. Bukan hanya buku soal mesin dan pesawat terbang, karena pada akhirnya, seorang pembuat pesawat terbang tidak hanya memikirkan mesin, badan dan mekanisme pesawat, tapi bagaimana pesawat itu dapat membuat kehidupan para penumpangnya menjadi lebih baik, bukan hanya sebagai alat transportasi.
Hari Kamis, 25 Juni ini, jika masih hidup, BJH akan berusia 84 tahun. Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru di bawah Kemedikbud telah mencanangkan semacam ”Hari Habibie”, yang dimulai dengan talkshow dengan Ilham Habibie dan Ahmad Mahendra (Direktur Direktorat PM&MB) pukul satu siang, dilanjutkan malamnya pukul 19.00 WIB dengan konser daring saya bersama 4 musikus muda unggul Bryant Gozali, Giovani Biga, pianis tunanetra & autis Michael Anthony serta Pepita Salim, soprano yang juga saya ”temukan” di kompetisi Tembang Puitik Ananda Sukarlan sebelum ia berangkat kuliah ke New England Conservatory dan kini baru saja lulus.
Kedua acara ini bisa ditonton lewat kanal Youtube @budayasaya , dari Direktorat Jenderal Kebudayaan.