Pernyataan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi tentang rencana intervensi ke Libya mencemaskan. Penyelesaian dengan senjata, bukan solusi politik, pun menguat.
Oleh
Editor
·3 menit baca
Pernyataan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi tentang rencana intervensi ke Libya mencemaskan. Penyelesaian dengan senjata, bukan solusi politik, pun menguat.
Penyelesaian konflik dengan kekuatan senjata bukan cara ideal dan harapan semua pihak. Idealnya, pihak yang berkonflik bisa menyelesaikan perselisihan melalui perundingan, negosiasi, atau forum damai hingga tercapai solusi politik yang disepakati bersama.
Patut disayangkan, hal itu sulit terwujud di Libya. Perundingan demi perundingan guna mencari solusi politik atas konflik di Libya setelah tumbangnya rezim Moammar Khadafy digelar sejak tahun 2015 hingga, terakhir, pada Januari 2020 di Berlin, Jerman. Namun, tak satu pun menghasilkan solusi damai yang konkret.
Kekhawatiran banyak kalangan, Libya bakal menjadi ”Suriah” kedua pun kian mendekati kenyataan. Kedua kubu yang bertikai, yakni Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) pimpinan Perdana Menteri (PM) Fayez al-Sarraj di Tripoli (Libya barat) dan kubu Jenderal Khalifa Haftar di Tobruk (Libya timur), semakin sulit didamaikan.
Kekuatan asing masuk dan ambil bagian dalam berbagai front pertempuran. Turki memasok pasukan dan milisi untuk mendukung GNA pasca-kesepakatan kerja sama PM Sarraj dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istanbul, November 2019. Sarraj meminta bantuan militer Turki saat kewalahan mempertahankan Tripoli dari gempuran pasukan dan loyalis Haftar.
Setelah dibantu militer Turki, pasukan dan milisi loyalis GNA memukul mundur pasukan Haftar dari sekeliling Tripoli. Awal Juni lalu, GNA merebut kota Tarhouna, sekitar 90 kilometer tenggara Tripoli. Ladang minyak di Sharara juga jatuh ke tangan pasukan GNA.
Sebelum itu, pertengahan Mei lalu, pangkalan udara militer Al-Watiyah, sekitar 140 kilometer barat daya Tripoli, juga dikuasai milisi loyalis GNA. Pasukan Haftar terdesak ke timur, menciptakan front pertempuran berikutnya di sekitar Sirte, gerbang menuju jantung pertahanan kubu Haftar di Libya timur. Situasi di lapangan ini turut mendorong Rusia mengirim 14 pesawat tempurnya ke Jufra, selatan Sirte.
Dalam konteks di lapangan seperti itu muncul pernyataan Presiden Sisi tentang rencana intervensi militer Mesir ke Libya. Dalam konflik Libya, Mesir di kubu pendukung Haftar bersama Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Jordania. Sisi menetapkan Sirte dan Jufra sebagai garis merah yang, jika sampai dilewati pasukan dan loyalis GNA, bisa menjadi alasan sah intervensi militer ke Libya. Sementara Erdogan ingin GNA terus melaju ke timur, merebut ladang minyak hingga melewati Sirte dan menguasai pangkalan udara di Jufra.
Hingga di sini, bisa dibayangkan betapa sengit pertempuran yang bakal terjadi. Konflik di Libya, seperti di Suriah, kembali menyuguhkan kegagalan solusi politik dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah. Konflik di kawasan ini seolah hanya bisa diselesaikan dengan kekuatan senjata, bukan kekuatan negosiasi demi solusi damai. Sungguh mencemaskan.