Bak makan buah simalakama, di tengah upaya penerapan normal baru, justru banyak yang abai protokol kesehatan. Kasus positif Covid-19 pun naik signifikan.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Bak makan buah simalakama, di tengah upaya penerapan normal baru, justru banyak yang abai protokol kesehatan. Kasus positif Covid-19 pun naik signifikan.
Asumsi pemerintah bahwa puncak penularan Covid-19 berlangsung pada bulan Mei ternyata harus direvisi. Hari-hari ini, penambahan angka kasus baru bahkan seperti berkejaran, ”berlomba” untuk memecahkan ”rekor”.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan, angka penambahan terendah, 415 kasus positif pada 26 Mei 2020, tak pernah tercapai lagi hingga saat ini. Bahkan, pada 9 Juni 2020 penambahan kasus menembus angka 1.000 dengan 1.042 kasus. Penambahan mencapai puncaknya pada 18 Juni 2020 dengan 1.331 kasus positif.
Sungguh suatu situasi yang memprihatinkan karena pertambahan kasus seiring dengan kenaikan jumlah korban yang meninggal. Kini, Covid-19 ditemukan di 439 kabupaten dan kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Hingga Senin (22/6/2020), jumlah kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 45.891 dengan penambahan 862 orang. Bersyukur jumlah pasien yang sembuh 18.404 kasus atau 40,1 persen dari yang terkonfirmasi. Namun, kasus meninggal masih 2.465 orang atau 5,4 persen, dua kali lipat dari rata-rata rasio kematian Covid-19 di ASEAN (2,7 persen).
Pemicu peningkatan kasus mengerucut pada dua hal: masyarakat yang tidak disiplin dan pemerintah yang tidak konsisten dan tidak tegas. Kita melihat, negara-negara yang berhasil menangani Covid-19 memiliki tingkat kedisiplinan tinggi dan tegas menegakkan aturan. Sebutlah di antaranya Jerman, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Karakteristik masyarakat Indonesia memang khas menghadapi bencana. Tatkala tsunami Aceh melanda 2004, misalnya, rakyat lebih mudah menerima kondisi karena menganggap itu bagian dari takdir. Mereka bisa cepat bangkit. Namun, di sisi lain, orang jadi tidak belajar dari bencana.
Politik identitas yang marak belakangan menambah ruwet persoalan. Banyak yang merasa benar sendiri sehingga muncullah perilaku mencuri jenazah, mengusir petugas kesehatan di lingkungannya, bahkan menolak tes massal. Padahal, kita tahu, hanya dengan surveilans, tes massal, dan penerapan protokol kesehatan secara ketat, kita bisa menekan angka penularan dan selamat dari Covid-19.
Beri sanksi mereka yang melanggar aturan.
Ketika tekanan ekonomi membuat orang yang berpenghasilan harian terpaksa keluar rumah, bisa jadi mereka berserah pada takdir. Namun, apakah takdir juga alasan mereka yang nekat berdesak-desakan di tempat wisata, hari bebas kendaraan bermotor, dan melanggar semua protokol kesehatan?
Ketahanan fisik, ekonomi, dan tata sosial kemasyarakatan kita benar-benar diuji belakangan ini. Pada titik inilah, baik pemerintah pusat maupun daerah harus tegas. Beri sanksi mereka yang melanggar aturan. Dalam hal ini, para pengambil keputusan sebaiknya melibatkan para ahli ilmu sosial agar semua kebijakan pas dengan kondisi sosial masyarakat.