Otoritas dan warga Palestina menentang upaya percepatan aneksasi yang dilakukan pemerintah Israel. Bagi Palestina, langkah itu berarti hilangnya tanah vital bagi masa depan mereka.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
PM Israel Benjamin Netanyahu mempercepat pencaplokan 30 persen Tepi Barat dari Palestina, diduga karena khawatir Donald Trump tak akan terpilih kembali.
Dugaan itu didasarkan pada beberapa ideolog sayap kanan yang pernah menjadi Perdana Menteri (PM) Israel, seperti Menachem Begin, Yitzhak Shamir, dan Ariel Sharon. Mereka mengambil pola kebijakan aneksasi dengan cara lambat dan halus. Setelah pendudukan Jerusalem Timur dan penerapan hukum Israel tahun 1967 dan aneksasi Dataran Tinggi Golan tahun 1981, mereka mengklaim, Israel hanya penjaga sementara. Dan, selama ini PM Benjamin Netanyahu mengikuti strategi para pendahulunya.
Namun, Netanyahu pernah mengungkapkan Amerika Serikat (AS) makin tak tertarik terhadap rencana pencaplokan. Belum lagi, Netanyahu khawatir dukungan AS terhadap pencaplokan akan berubah jika Trump tak terpilih kembali. Dalam beberapa jajak pendapat, Trump kalah dari Joe Biden, calon dari Partai Demokrat. Ditambah masalah penanganan Covid-19 dan pengungkapan sejumlah ”keanehan” perilakunya, memunculkan kekhawatiran Trump kalah dari Biden pada pemilu ini.
Sekitar 2,5 juta warga Arab Palestina tinggal di Tepi Barat, di bawah pemerintahan otonomi terbatas dan pemerintahan militer Israel. Namun, Tepi Barat (tidak termasuk Jerusalem Timur) juga merupakan rumah bagi sekitar 430.000 orang Yahudi Israel yang tinggal di 132 permukiman dan 124 pos kecil yang dibangun di bawah pendudukan Israel.
Sebagian besar komunitas internasional menilai permukiman ilegal di bawah hukum internasional, meskipun Israel dan AS di bawah administrasi Trump membantah interpretasi ini. Arsitek rencana perdamaian Trump, Jared Kushner, kurang sepakat dengan langkah Netanyahu. Ada sebuah laporan, Kushner khawatir, membiarkan Israel bergerak terlalu cepat akan semakin mengasingkan Palestina.
”Jika diimplementasikan, pencaplokan akan menjadi pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional, sangat merugikan prospek solusi dua negara dan melemahkan kemungkinan pembaruan perundingan,” ingat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres.
Namun, Netanyahu mengatakan, percepatan aneksasi itu berawal dari rencana perdamaian Trump untuk bisa menulis ”babak mulia dalam sejarah Zionisme”. Bagi warga Israel yang telah lama tinggal di wilayah yang disengketakan, percaya seluruh wilayah di Tepi Barat dan Lembah Jordania adalah milik Israel (Kompas, 29/6/2020).
Pencaplokan akan menjadi pelanggaran paling serius terhadap hukum internasional.
Otoritas dan warga Palestina menentang upaya percepatan aneksasi yang dijadwalkan 1 Juli 2020. Bagi mereka, langkah itu berarti hilangnya tanah vital bagi masa depan mereka dan pukulan maut bagi impian penentuan nasib sendiri. Kita sepakat dengan sikap Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, yang mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB bertindak.
”Siapa pun yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional harus dimintai pertanggungjawabannya di DK PBB. Tidak boleh ada standar ganda,” ujar Retno.