Aneksasi dan ”Sandyakalaning” Palestina
Apabila negara Palestina akhirnya tak terwujud, Jordania akan menanggung beban, ketempatan pengungsi selamanya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, langkah Israel harus dihambat oleh negara-negara yang cinta damai.
Andaikata pada tanggal 1 Juli ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu benar-benar nekat dan tidak peduli seruan dunia, dengan tetap menganeksasi wilayah Yudea dan Samaria (istilah ”biblis” untuk Tepi Barat) dan Lembah Yordan, akan ada konsekuensi.
Pertama, Israel melanggar hukum internasional. Kedua, Israel merusak perjanjian perdamaian dan hubungan dengan Jordania. Ketiga, kemungkinan bisa memicu konflik baru dan akan tetap menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai pusaran konflik dunia. Keempat, menaruh proses perdamaian di ujung tanduk. Kelima, ini yang akan menjadi persoalan besar, yaitu mengakhiri solusi dua negara; yang berarti sandyakala bagi negara Palestina.
Memang, proses perdamaian Timur Tengah seperti terlupakan selama satu dekade terakhir. Apalagi, setelah meletus Revolusi Musim Semi di sejumlah negara Timur Tengah, yang mengubah wajah Timur Tengah dan dampaknya terasa hingga sekarang. Tambahan lagi, pandemi Covid-19 sekarang telah membuat banyak pihak mengesampingkan masalah konflik Arab (Palestina)-Israel yang tidak kunjung selesai.
Baca juga : Aneksasi Tepi Barat, Kesalahan Sejarah
Akan tetapi, justru ketika semua mata dan hati masyarakat dunia mengarah pada bagaimana mengatasi pandemi Covid- 19, Netanyahu mencuri kesempatan dengan ingin merealisasikan cita-cita lamanya untuk mencaplok 30 persen wilayah pendudukan dan Lembah Yordan menjadi bagian Israel.
Memang, proses perdamaian Timur Tengah seperti terlupakan selama satu dekade terakhir.
Netanyahu yang berulang kali menyatakan tidak menyepakati berdirinya negara Palestina sudah lama berpendapat bahwa aneksasi, pencaplokan atas sebagian wilayah pendudukan di Tepi Barat, sebagai strategi untuk melindungi kontrol Israel atas wilayah itu. Oleh karena itu, dalam kampanye lalu, ia berjanji akan memperluas wilayah Israel ke luar batas yang ada saat ini.
Dua pilihan
Israel berpandangan bahwa kegagalan untuk menyelesaikan konflik menyodorkan dua pilihan atas wilayah pendudukan militer di wilayah Yudea dan Samaria. Kedua pilihan itu adalah melanjutkan penguasaan militer atas wilayah itu seperti sekarang atau memperpanjang kedaulatan Israel di wilayah tersebut yang berarti aneksasi.
Baca juga : Jelang Pemilu, Netanyahu Kembangkan Permukiman
Karena itu, sejak beberapa tahun lalu, Knesset (parlemen) mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang akan menjadi dasar hukum bagi orang Israel tinggal di Tepi Barat. Pada 12 Februari 2018, misalnya, Kementerian Kehakiman mengajukan RUU yang akan memperluas yurisdiksi pengadilan Israel atas Area C (kesepakatan Oslo), yang terdiri atas 60 persen dari Tepi Barat (Al Jazeera, 6/3/2018).
Bahkan, pada tahun 1980, Knesset mengesahkan UU yang disebut ”Maale Adumim Annexation Law”. UU ini mengatur penerapan penuh hukum Israel di permukiman Tepi Barat terbesar di Israel, serta di daerah 12 kilometer persegi yang berdekatan yang disebut ”Zona E1” (kesepakatan Oslo), salah satu dari sedikit tanah yang tersisa. Pada 6 Februari 2017, Knesset menerbitkan UU untuk pengaturan tanah di Yudea dan Samaria (Tepi Barat).
Baca juga : Indonesia Dorong OKI Solid Tolak Aneksasi Israel atas Wilayah Palestina
Akan tetapi, kalau pada akhirnya nanti setelah tanggal 1 Juli, aneksasi tidak jadi dilaksanakan, masyarakat dunia akan menyaksikan bahwa kekuatan militer akan tetap berkuasa atas wilayah Yudea dan Samaria. Alasannya, demi keamanan, kepentingan ekonomi, dan kemanusiaan (pembangunan permukiman baru).
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, berpendapat bahwa permukiman di Yudea dan Samaria (Tepi Barat), wilayah yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967, adalah ilegal. Sebaliknya, Israel berpendapat bahwa penguasaan wilayah tersebut didasarkan pada ikatan sejarah (ditarik ke masa lalu, bahkan ke zaman ketika wilayah itu dikuasai Romawi) politik, religius, dan juga keamanan.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, berpendapat bahwa permukiman di Yudea dan Samaria (Tepi Barat), wilayah yang direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967, adalah ilegal.
Sejak 1967
Dalam Perang 1967, Israel merebut dan kemudian menduduki wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza (sudah dilepas), Jerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan (milik Suriah tetapi dianeksasi pada 14 Desember 1981), dan Semenanjung Sinai (sudah dikembalikan kepada Israel). Setelah perang, PBB menerbitkan Resolusi 242/1967 yang menyerukan agar Israel menarik diri dari wilayah yang baru saja diduduki untuk mengamankan perdamaian yang adil dan abadi.
Israel mendukung resolusi itu karena menyerukan negara- negara Arab untuk menerima hak Israel ”untuk hidup damai dalam batas-batas yang aman dan diakui bebas dari ancaman atau tindakan kekerasan”. Masing-masing negara Arab akhirnya menerima (Mesir dan Jordania menerima resolusi sejak awal) karena klausulnya menyerukan Israel agar menarik diri dari ”wilayah yang diduduki dalam konflik baru-baru ini”. PLO menolak.
Meskipun tidak pernah sepenuhnya dilaksanakan, itu adalah dasar dari upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik Arab-Israel sampai Perjanjian Camp David dan tetap menjadi batu ujian penting dalam setiap resolusi yang dinegosiasikan untuk konflik Arab-Israel.
Israel memanfaatkan celah resolusi tersebut untuk mencaplok wilayah pendudukan. Karena, hingga kini ”negara-negara Arab (belum semua) menerima hak Israel untuk hidup damai dalam batas-batas yang aman dan diakui bebas dari ancaman atau tindakan kekerasan”. Itu perspektif Israel.
Tentu perspektif Israel tersebut bertentangan dengan perspektif sebagian besar negara-negara dunia, termasuk PBB. AS meski belum ada sikap resmi, tetapi Dubes AS untuk Israel, David Friedman, dalam wawancara dengan New York Times (8/6/2020) mengatakan, ”Israel memiliki hak untuk mempertahankan, tetapi tidak mungkin semua, Tepi Barat.”
Langkah Israel tersebut mendapat dukungan dari konsep perdamaian yang disodorkan Donald Trump, yang disebut ”Peace to Prosperity” atau ”Deal of the Century”. Di dalamnya antara lain disebutkan Israel akan mendapat 30 persen dari wilayah Tepi Barat yang sekarang diduduki meskipun Israel harus melepas sebagian kecil wilayah Negev dekat perbatasan Mesir-Gaza. Aneksasi yang direncanakan Netanyahu juga seluas 30 persen dari Tepi Barat.
Aneksasi yang direncanakan Netanyahu juga seluas 30 persen dari Tepi Barat.
Solusi dua negara
Itu berarti solusi dua negara (yang didukung Indonesia) adalah perdamaian diakhiri dengan pembentukan dua negara Israel dan Palestina tidak pernah terwujud. Sebab, solusi dua negara mensyaratkan antara lain, Israel menarik dari hampir seluruh Tepi Barat (Yudea Samaria) dan mencabut blokade atas Gaza; lalu negara Palestina baru di Tepi Barat, dengan memperoleh akses ke sumber air dan mendapatkan jalan penghubung yang aman antara Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Jika Israel mempertahankan bagian yang telah disepakati dari Tepi Barat, Palestina akan mendapatkan kompensasi tanah yang seukuran dan senilai dari Israel. Menurut rencana Netanyahu, Israel akan menganeksasi 30 persen wilayah Tepi Barat dan Lembah Yordan.
Dalam Kesepakatan Oslo, wilayah tersebut dibagi menjadi tiga: A, B, dan C. Wilayah A seluas 18 persen dari Tepi Barat (yang sekarang dikuasai Otoritas Palestina). Wilayah B seluas 22 persen Tepi Barat (juga dikuasai bersama Otoritas Palestina dan Israel). Adapun Wilayah C—termasuk Lembah Yordan dan Gurun Yudea—adalah bagian yang terbesar, yakni sekitar 60 persen Tepi Barat. Di wilayah ini, ada 250 permukiman ilegal Yahudi (berpenghuni 600.000-750.000 orang, termasuk Jerusalem Timur yang dianeksasi 1980), dan sekitar 65.000 orang Palestina.
”Sandyakalaning” Palestina
Tepi Barat adalah satu-satunya perbatasan internasional dengan Jordania. Karena itu, jika Israel menganeksasi Lembah Yordan—yang dihuni 65.000 orang Palestina dan 11.000 orang Israel serta merupakan sumber air dan daerah pertanian, dengan luas 30 persen dari Tepi Barat—maka seluruh Tepi Barat akan benar- benar dikepung Israel. Yang lebih penting lagi adalah bagi bangsa Palestina tidak akan ada negara Palestina tanpa Lembah Yordan. Wilayah mereka jelas berkurang.
Aneksasi juga akan memutus akses orang-orang Palestina ke sumber air dan pertanian karena dikuasai Israel. Akibatnya, para petani Palestina akan kesulitan air. Dengan kata lain, aneksasi atau pencaplokan atas Lembah Yordan (menurut peta Netanyahu, yang akan dicaplok seluas 95 persen wilayah Lembah Yordan yang berarti sekitar 22 persen Tepi Barat) akan secara fisik memutus orang-orang dari Sungai Yordan, yang menjadi sumber air tawar.
Aneksasi juga akan memutus akses orang-orang Palestina ke sumber air dan pertanian karena dikuasai Israel.
Apabila wilayah tersebut benar-benar dikuasai sepenuhnya oleh Israel, mereka akan lebih mudah dan leluasa membangun permukiman-permukiman baru lagi. Wilayah di Lembah Yordan yang akan dianeksasi Israel (menurut watchdog Peace Now dan Al Jazeera) seluas 1.236 kilometer persegi, lebih luas dibandingkan tawaran yang diajukan Trump dalam ”Deal of the Century”, yakni 964 kilometer persegi. Namun, dalam ”Deal of the Century”, Israel dibolehkan menganeksasi sebagian besar wilayah pendudukan dan hanya menyisakan 15 persen untuk Palestina.
Dengan kondisi seperti itu, sangat sulit dibayangkan akan menjadi seperti apa bangsa Palestina. Bukan tidak mungkin, ambruknya Otoritas Nasional Palestina—karena wilayahnya digerogoti, dicaplok—akan menimbulkan kondisi yang makin chaos dan memunculkan lebih banyak lagi ekstremisme di kawasan yang akan meluas ke mana-mana. Timur Tengah tetap menjadi pusaran konflik.
Jordania, yang pertama akan merasakan karena saat ini lebih dari 2 juta pengungsi Palestina tinggal di Jordania. Apabila negara mereka akhirnya tak terwujud, Jordania akan menanggung beban, ketempatan pengungsi selamanya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, langkah Israel harus dihambat oleh negara-negara yang mencintai kedamaian, termasuk Indonesia.
Trias Kuncahyono Peminat Masalah-masalah Internasional dari Middle East Institute, Jakarta.