Pesan Kuat Presiden Xi Jinping
Pertumbuhan ekonomi yang melambat membuat China gugup. Presiden China Xi Jinping pun memanggil bawahannya. Pesannya, para pejabat ikut bertanggung jawab jika lengah dan membiarkan potensi bahaya menjadi ancaman nyata.
Partai komunis China memiliki sejarah yang kompleks dan selalu berusaha menjaga kesinambungan dan konsistensi. Ini terlihat dalam pemikirannya tentang dunia dan bagaimana agar China tetap eksis. China memahami bagaimana sejarah telah membentuk dirinya dan ingin mengubah masa lalu dengan belajar dari sejarah, termasuk kesalahan-kesalahannya.
Di balik semua itu penyetelan sistem ekonomi adalah salah satu hal yang konstan dilakukan, bagian dari upaya untuk menjaga kesinambungan. Bahkan, bisa terjadi rencana ekonomi berubah mendadak, menikung atau secara drastis bergeser arah.
Era Mao Zedong memperlihatkan itu meski dengan segala galat (error)-nya. Penyetelan sistem ekonomi yang benar-benar bisa memulai pembangunan baru terjadi pada era Deng Xiaoping pada 1978, seperti dituliskan di buku China\'s Economic Reform: A Study with Documents oleh Christopher Howe, YY Kueh, dan Robert Ash, terbitan 2003.
Saat memulai, sudah ada rasa gamang. Menjalankan ekonomi pasar di tengah masih bercokolnya antek-antek Mao sangatlah tidak mudah. Untuk meyakinkan para pelaku, Deng meluncurkan kalimat, ”Entah itu kucing putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus.” Mandarinnya, ”Buguan hei mao bai mao, zhuo dao laoshu jiu shi hao mao.”
Saat semangat reformasi mulai berakar kuat, pembangunan ekonomi tidak lagi bisa dihentikan. China melesat menjadi dapur manufaktur. Program ekonomi berjalan seperti melewati jalur tol.
Kemudian muncul tuduhan hak asasi manusia tak dihargai di pabrik-pabrik. Ini bagian dari evolusi ekonomi yang sebenarnya tidak hanya terjadi di China. Riset ekonom AS Simon Kuznets, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 1971, menunjukkan, di tahap awal pembangunan ada nuansa ketimpangan yang jika tidak diatasi akan menjadi hambatan dalam pembangunan.
China merespons ini dengan memperbaiki program. Fokus pada ekspor dengan kualitas bagus tidak selamanya berefek baik pada negara. Dunia makmur, tetapi di dalam negeri hanya ada deretan pabrik dengan infrastruktur lengkap untuk melayani asing. Produk Apple yang relatif mahal, misalnya, adalah buatan China dengan biaya relatif murah. Nilai tambah diraih pihak asing.
Baca juga: ”Tao Guang Yang Hui” Tak Berlaku Lagi?
Fokus diarahkan pada perbaikan ekonomi domestik, menumbuhkan konsumsi domestik dan tingkat upah serta perbaikan hak-hak pekerja, seperti dituliskan oleh Zhang Jun, Dekan Fakultas Ekonomi di Fudan University dan Direktur China Centre for Economic Studies, sebuah think tank di Shanghai. Tentu ini tidak bertujuan memutuskan mata rantai produksi global dengan China.
Di samping itu muncul keluhan domestik lainnya. Ada keluhan soal korupsi dan tuntutan perbaikan layanan aparat. Ini diakomodasi pada era Presiden Hu Jintao pada 2012. Karena itu, pengikisan korupsi dengan alasan penguatan basis Partai Komunis menjadi fokus. Korupsi adalah musuh alami, lambat atau cepat, bagi kelangsungan partai. Hu juga menyerukan nada demokratis dalam pelayanan kepada masyarakat.
Presiden Xi Jinping yang berkuasa sejak 2013 melanjutkan, termasuk dengan pengentasan warga di wilayah perdesaan dari kemiskinan.
China terus beranjak ke iklim perekonomian yang lebih baik demi kepentingan warga. Status sebagai basis manufaktur dengan etos tinggi para tenaga kerja membuat perekonomian tumbuh 10 persen selama 30 tahun. ”Perekonomian penuh dinamisme dan warga menggunakan imaginasi dan kreativitas mereka,” demikian ekonom AS, Edmund Phelps, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2006, tentang antusiasme China pada 2016.
Modernisasi perekonomian didukung lewat pengiriman para mahasiswa ke seberang, ditambah pemanfaatan nasihat para pakar luar negeri. Ini terus membuat China menancapkan pijakan secara ekonomi di tingkat dunia. Pada 2017, China memiliki 865.000 mahasiswa di luar negeri, lebih banyak dari total mahasiswa 8 negara yang belajar di luar negeri. Data terbaru menunjukkan jumlah mahasiswa China di seberang 928.090 orang.
China hendak menghindari jebakan kelas menengah (middle income trap), sebutan bagi negara yang tidak bisa beranjak lebih maju karena lupa mengembangkan basis perekonomian.
Kelas menengah
Alhasil kinerja ekonomi China terus mencengangkan. Tidak lagi mengandalkan ekspor, tetapi sudah memiliki basis perekonomian dengan mengandalkan warga domestik. Perusahaan konsultan McKinsey & Company memperkirakan jumlah kelas menengah China akan mencapai 550 juta jiwa pada 2022 atau 75 persen dari total rumah tangga di perkotaan. Pada 2017, jumlah penduduk China yang tinggal di perkotaan sudah melampaui jumlah warga di perdesaan.
Pada 2018 saja, jumlah kelas menengah China sudah lebih dari 400 juta jiwa dari total 1,4 miliar penduduk, seperti dikatakan He Lifeng, Direktur National Development and Reform Commission (NDRC). China menjadi negara dengan kelas menengah terbanyak di dunia. He menambahkan jumlah kelas menengah ini masih akan bertambah.
Pendapatan per kapita China pada 2018 sebesar 9.700 dollar AS berdasarkan harga berlaku. Sejak reformasi ekonomi 1978, sudah 850 juta warga terlepas dari kemiskinan. Dan hanya 373 juta warga yang hidup di bawah level kelas menengah atau dengan pengeluaran 5,5 dollar AS per hari, menurut laporan Bank Dunia pada 23 April 2020.
Pada 2019, China sudah ada di urutan nomor satu dari segi besaran ekonomi dengan total produk domestik bruto (PDB) 27,3 triliun dollar AS berdasarkan purchasing power parity (PPP–keseimbangan daya beli) pada harga berlaku. PDB China berdasarkan harga konstan non-PPP sebesar 6,110 triliun dollar AS.
Gugup
Lalu pada 2016 muncul kejutan baru. Kapasitas produksi industri berlebihan. Ada 6 juta pegawai negeri yang bekerja di sektor industri yang sedang jenuh. Negara tersentak saat pertumbuhan ekonomi melambat. Pada 2015 pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen, terendah sejak 1990. China gugup, seperti dituliskan di situs Fortune pada 2015 yang bermitra dengan Time. China semakin gugup akan prospek India.
Pada 2016, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, ekonomi India akan melampaui China. ”China tidak mengerti makna sebuah perekonomian yang dinamis,” kata Phelps pada 22 Maret 2016. Kegugupan China, tidak tahu persis ke arah mana ekonomi akan menuju.
Gugupnya China bukan semata-mata karena takut akan pemudaran pamor secara ekonomi. Saat bersamaan ada gelembung di sektor properti dengan kredit macet akibat kejenuhan. China masih kurang kompetitif pada ekonomi modern berbasis teknologi informasi.
Karena itu, dipikirkan saksama alternatif pertumbuhan ekonomi baru. Pilihannya adalah beralih dari sektor industri ke sektor jasa, termasuk mendorong badan usaha milik negara (BUMN) bergerak ke sektor jasa. Pada 2013, Perdana Menteri Premier Li Keqiang sebenarnya sudah menyerukan program ”Made in China 2025”, yang disusun Kementerian Industri dan Teknologi Informasi.
Hanya program ini tidak berjalan cepat. Rasa gugup membuat program tersebut dipercepat. Serangan Presiden AS Donald Trump juga membuat kegugupan meningkat. China ingin haluan baru ekonomi bisa tercapai secara pasti.
”Mereka ingin segalanya ditata untuk mereka dan ingin diberi kalimat bahwa arahnya sudah tepat dan pasti akan tercapai. Tentu saja ini tidak mungkin,” kata Phelps yang juga menasihati China soal inovasi. ”Saya merasa sangat bersimpati pada kepemimpinan (China) yang harus mengatasi segala kegugupan dan gangguan ini,” kata Phelps.
Akan tetapi, Phelps mengatakan, reformasi China berada pada arah tepat. ”Saya tidak ingin menyetujui setiap langkah mereka, tetapi saya kira mereka secara umum memahami poin besar bahwa ada kapasitas yang sangat berlebihan pada industri tradisional,” lanjut Phelps.
Di tengah kegugupan, China menyusun strategi Investasi yang akan menjadi masa depan ekonomi. Sejumlah industri dikembangkan dengan penekanan pada kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Segitiga emas
Hal inilah yang membuat China seperti dituliskan Prof Zhang Jun, memulai abad sekarang dengan konstruksi infrastruktur informasi dan komunikasi skala besar. China mendorong perusahaan swasta berinovasi di sektor teknologi seperti pembayaran mobile, e-commerce, benda-benda internet, dan manufaktur cerdas (smart manufacturing).
Pengembangan kawasan segitiga emas ditancapkan. Misalnya dikembangkan kawasan ekonomi Xiongan, melibatkan segitiga emas Beijing-Tianjin-Hebei. Juga dikembangkan kawasan pantai Guangdong-Hong Kong-Makau. Ditancapkan pula kolaborasi Sabuk Sungai Yangtze (Yangtze River Belt) yang melibatkan 16 kota, Shanghai termasuk di dalamnya.
Di wilayah tenggara, China mendorong kawasan urban Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan dan Chongqing, kota utama di hulu Sungai Yangtze. Kolaborasi Chengdu dan Chongqing dieratkan.
Saat bersamaan China tidak melupakan globalisasi. Ke dunia, China mengembangkan jalur kereta menuju Eropa dan tenggara, serta jalur baru kelautan ke selatan. Ini akan mendorong ekonomi daratan China serta memantapkan jaringan pasokan global (global supply chains).
Prof Zhang Jun mengatakan, perubahan ini bukan dadakan dan bukan akibat rasa gugup. Dia mengatakan, China sejak awal reformasi memang selalu adaptif dan sudah sejak dekade 1980-an melakukan perencanaan adaptif.
Meski demikian, rasa gugup tidak sirna hingga 2019. Hingga The New York Times pada 25 Februari 2019 menuliskan ”2019 Is a Sensitive Year for China. Xi Is Nervous”. Tulisan ini dikaitkan dengan tindakan Presiden Xi Jinping, yang mendadak memanggil para pejabat.
Pesan Presiden Xi, para pejabat bertanggung jawab jika lengah dan membiarkan potensi bahaya menjadi ancaman nyata. ”Beijing sedang mencoba mengatasi tekanan internasional yang menambah kesulitan atas persoalan domestik,” demikian Elizabeth C Economy, peneliti senior dari Council on Foreign Relations di New York, penulis buku The Third Revolution.
Dan dipesankan, risiko itu tidak hanya ada di pundak Presiden Xi, tetapi juga pada pundak para bawahan, kata Wu Qiang, seorang analis politik di Beijing. Para pejabat harus menjalankan apik semua program. Itulah penekanan Presiden Xi.
Pada 2018, Presiden Xi mengonsolidasikan kekuasaan dengan mengakhiri batasan maksimum 10 tahun jabatan seorang presiden.